Khilafah: Romantisme vs Trauma Sejarah

Oleh. Ustaz Abu Zaid

Khilafah memang seksi, selalu menarik. Rasanya tokoh apa saja belum “plong” kalo belum menyinggung khilafah. Dari ulama, seniman, wartawan, budayawan, pengusaha, intelektual, mahasiswa, pelajar, ASN apalagi politisi. Pokoknya belum “maknyuss,” deh, kalau tak ngomong khilafah.

Khilafah kembali berdendang. Gara-gara ada orang yang menyatakan khilafah tak mungkin berdiri lagi. Ada sederet alasan pembenar tentu saja.

Di sisi lain, para pejuang Khilafah yang alhamdulillah berhasil membawa tema Khilafah seseksi saat ini, tetap tak bergeming bagai batu karang. Khilafah wajib pasti berdiri kembali. Masih pakai dalam waktu dekat insyaallah. Bagaimana tam bikin kuping yang kontra jadi “ijo”?

Sobat, bicara Khilafah pastinya bicara ajaran Islam. Bicara ajaran Islam pastinya bicara dalil. Baik Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma sahabat, dan qiyas. Artinya pula, bicara Khilafah disamping bicara hukum, juga bicara keyakinan. Mengapa? Karena di samping hukumnya wajib, Khilafah juga dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi klop, wajib dan janji Allah.
Maka wajar dan harus kalau pejuang Khilafah di samping yakin, juga harus optimis.

Di sisi lain, ada aspek sejarah yang bicara. Bahwa ketika Khilafah masih eksis sekitar 13 abad dan dalam abad abad keemasan menjadi negara super power tanpa pesaing, maka yang kontra Khilafah adalah negara-negara Kristen Eropa. Yang kemudian mengobarkan Perang Salib selama kurang lebih dua abad untuk menghancurkan Khilafah.

Ketakutan mereka yang begitu traumatis mencapai puncak saat pasukan Utsmani menggedor pintu gerbang Kota Wina, Austria. Hal itu menyadarkan raja-raja Kristen bahwa mereka harus bersatu melawan Khilafah Utsmani. Maka pada abad 18, seiring mundurnya Khilafah, negara-negara Kristen Eropa menjelma menjadi komunitas internasional kemudian menjadi Liga Bangsa-Bangsa. Mereka sudah melihat musuh besar menjadi the sick man. Maka pasca-Perang Dunia Pertama, tepatnya 1924, Khilafah itu pun berhasil dihancurkan melalui antek mereka, Mustafa Kamal. Sementara wilayah peninggalan Khilafah dibagi bagi sesuai penjajian Sykes-Picot.

Negara-negara Kristen Eropa itu setelah Perang Dunia Kedua menjadi PBB. Melanjutkan penjajahan dunia khususnya di negeri-negeri muslim, baik Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, Afrika Utara, maupun Asia Tenggara. Tanpa penghalang lagi karena Khilafah sudah runtuh.

Artinya, sejarah yang panjang itu menegaskan satu hal. Perebutan kekuasaan dan pengaruh untuk menguasai dunia dengan kekuatan. Meski karakter Islam yang rahmatan lil alamin telah menaungi semua manusia apa pun ragam etnis dan agamanya dengan syariat Islam. Sedangkan kekuasan Kristen Eropa penuh dengan genangan darah bangsa-bangsa jajahannya.

Tak lama kemudian, kesadaran umat Islam mulai tumbuh. Bahwa Barat bisa leluasa menjajah negri mereka karena ketiadaan Khilafah. Maka perjuangan menegakkan kembali Khilafah perlahan namun pasti merebak dan menyebar ke seluruh dunia. Hingga para penguasa kapitalis di London dan Washington pun ikut ketakutan karenanya.

Peradaban kapitalisme jelmaan dari negara-negara Kristen Eropa yang saat ini menguasai dunia tentu saja tak ingin kehilangan kekuasaannya. Maka dengan segala cara, mereka membuat proyek untuk menghadang kembalinya Khilafah. Melalui antek-anteknya yang berkuasa di negeri-negeri Islam, mereka menularkan traumanya itu dengan proyek antiradikalisme. Bahkan war on terrorisme. Bahkan melalui kajian-kajian intelektual yang berporos ke Barat, maraklah di kampus-kampus Islam dan kajian-kajian antiradikalisme, termasuk yang anti-Khilafah. Motornya adalah para intelektual properadaban Barat.

Bagaimana ujung dari pertarungan dua peradaban besar ini? Sebenarnya bagi Amerika sendiri sudah jelas bahwa tegaknya Khilafah tinggal menunggu waktu. Mereka sudah memprediksi Khilafah akan kembali kemungkinan pada dekade ketiga abad 21. Sudah dekat bukan? Sementara para intelektual muslim pro-Barat malah sering berteriak bahwa Khilafah tak mungkin berdiri lagi.

Bagi seorang muslim, apalagi para pejuang Khilafah, maka hanya soal waktu. Khilafah pasti berdiri karena Allah dan Rasul-Nya sudah menjanjikannya. Apalagi memang wajib. Hingga sangat aneh dan musykil kalau ada intelektual muslim malah mengatakan bahwa Khilafah tak mungkin berdiri lagi. Karena berbagai persoalan yang menghadang. Lupakah dia bahwa Allah telah berfirman:

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللّهَ مُبْتَلِيكُم بِنَهَرٍ فَمَن شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَن لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلاَّ مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ فَشَرِبُواْ مِنْهُ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ قَالُواْ لاَ طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو اللّهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللّهِ وَاللّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku”. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 243)

Apakah mereka lupa bahwa Nabi Muhammad saw., Nabi mereka juga pernah bersabda bahwa, “Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam.” (HR. Imam Ahmad)

Di satu sisi, ada peradaban Islam yang merindukan kembali kejayaan Khilafah. Di sisi lain, ada peradaban kapitalis yang ingin mempertahankan kekuasaan. Anda berpihak ke siapa? Atau berpihak yang mana?

Jadi, jika para pejuang Khilafah oleh mereka yang tak suka disebut hanya mimpi karena romatisme sejarah. Bukankah layak jika mereka yang tak suka Khilafah disebut menderita trauma sejarah? Wallaahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi