Oleh: Ustazah Zaili Fitria
(Co Founder Sirah Institute)
Jauh sebelum lahirnya paham feminisme di abad 18 Masehi, di abad 7 Masehi, Islam telah mengangkat derajat wanita yang belum pernah terjadi di peradaban mana pun. Menariknya, untuk memuliakan derajat wanita, Islam sama sekali tak mengenyampingkan fitrah wanita.
Lain halnya dengan feminisme, perjuangannya untuk mengangkat derajat wanita justru memberi permasalahan baru bagi wanita yang bisa menghilangkan sisi fitrah kewanitaannya. Hal ini disebabkan tuntutan feminisme yang memaknai kemuliaan dengan standar yang yang tak sesuai fitrah wanita. Yakni agar pekerjaan lelaki, juga bisa dikerjakan wanita. Begitu juga sebaliknya.
Berbeda dengan para sahabiyah. Dengan kematangan mereka berpikir dan pemahamannya yang mendalam pada agama Islam, mereka tak menjadikan lelaki sebagai standar kemuliaan, sehingga harus setara dalam pekerjaan. Standar kemuliaan bagi muslimah ialah dapat mulia di sisi Rabb-nya yang menghantarkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Oleh sebab itu, yang para sahabiyah tuntut untuk setara ialah pahala, bukan pekerjaan. Hal ini terekam dalam buku 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam karya Dr. Bassam Muhammad Hamami.
Asma binti Yazid, sahabiyah Anshar, orator muslimah pertama di dunia ini mewakili aspirasi suara para sahabiyah dihadapan Rasul ﷺ. Ia menyampaikan hasil diskusi para sahabat wanita itu. Bahwa jika suaminya berjihad, para istri di rumah menjaga rumah dan anak-anaknya. Lalu apakah pekerjaan yang mereka lakukan akan mendapatkan pahala yang sama dengan lelaki yang berjihad?
Menariknya, Rasulullah ﷺ sama sekali tak mencerca tuntutan para sahabiyah itu. Justru beliau ﷺ memuji dan mewujudkan tuntutan mereka yang menunjukkan pemahaman mendalam mereka akan agamanya.
Begitulah kecerdasan para wanita mukminah. Mereka tak menuntut untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan lelaki. Karena, mereka paham bahwa setiap yang Allah ﷻ ciptakan memiliki “spek” (fitrah) berbeda satu sama lain yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan.
Perbedaan “bawaan” yang Allah ﷻ beri pun bukan berarti membuat para wanita terbelakang dari pria. Banyak sahabiyah yang tercatat dalam sejarah mampu mengembangkan potensi dirinya, baik di dalam rumah ataupun di luar rumah, dengan cara-cara yang Allah ﷻ sukai.
Ya, dari para sahabiyah yang telah mendapat jaminan masuk surga. Kita belajar makna kebahagiaan bagi wanita yang menghantarkan dirinya pada kemuliaan dunia dan akhirat. Yakni dengan menjadikan standar kemuliaan berdasarkan standar Sang Ilahi, Yang Mahamulia. Maka wajarlah, para sahabiyah namanya harum ke seluruh jagad raya.
Sumber: telegram GenSa