Jejak Khilafah Di Tatar Sunda (6)

Ketiga: Bukti penerapan syariah Islam di Kesultanan Cirebon.

Dalam aspek pemerintahan, Kesultanan Islam di Tatar Sunda juga menggunakan hukum Islam atau syariah Islam. Ini sebagaimana hukum yang diterapkan oleh Khilafah Utsmaniyah.

Kesultanan Cirebon, misalnya. Ketika Sunan Gunung Djati diangkat menjadi pemimpin di tanah Cirebon, Wali Songo menganugerahi gelar kepada beliau sebagai Panetep Panatagama Rat Sunda I Bhumi Jawa Kulwan. Panetep panatagama memiliki makna penguasa dan pelaksana agama. Sebagai penguasa, Sunan Gunung Djati mengamalkan mandatnya menerapkan ajaran Islam untuk wilayah yang dia kuasai.

 

Keempat: Bukti penerapan syariah Islam di Kesultanan Banten.

Dalam naskah yang bersumber dari Babad Sajarah Banten, disebutkan bahwa Maulana Hasanuddin adalah pelaksana hukum Islam. Wilayah kekuasaannya menjadi sejahtera karena mengikuti syariah Islam.

Apa yang dilakukan oleh Maulana Hasanuddin juga diteruskan anak cucunya. Termasuk Maulana Yusuf dan Maulana Muhammad. Pemerintahan dengan tata aturan Islam yang dirintis kakeknya terus dilanjutkan. Demikian pula dengan keinginannya untuk melakukan Jihad Fii Sabilillah.

Keturunan di generasi berikutnya juga terus menjaga pelaksanaan syariah Islam ini. Termasuk dalam pengaturan ekonomi dan peradilan. Dalam waktu tertentu, bahkan Sultan turun menyelesaikan konflik masyarakat (atau Khusumat) yang tak dapat diselesaikan oleh Qadhi. Adapun terkait Mazhalim yang dilakukan pejabat maka langsung ditangani oleh Sultan.

Dalam naskah Sajarah (Babad) Banten diriwayatkan tentang pemerintahan Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir al-Bantani, yang menunjukkan adanya penerapan syariah Islam sebagai wakil Khalifah di daerah.1

Tersebutlah yang sedang menghadap, lengkap semua para nayaka, semua para ponggawa, Ki Mas Ali imam itu, imam muda dan yang tua, namanya, Kiai Danudara. Dan yang lainnya lagi yang namanya, Kiai Rangga Sutika, dan juga temannya, dipanggil Ki Barjasawara, ada yang berkelahi, Pangeran Papatih, yang mendengar hal itu. Semua perkelahian yang buruk, dan Pangeran Danuraja, Kiai Jaksa namanya, ponggawa semua duduk di pabean, timur itu namanya, yang disebut dalam cerita, Ki Senapati Ngalaga, Namanya Ki Raksagati, tinggalnya di pelabuhan timur, demikian Baginda, jika ia diseba, di Madhe Gayam, berbicara sekehendaknya, ada arti yang kurang.2

Jika dikunjungi di sitinggil, dan di alun – alun, Baginda itu banyak kemauannya, yang dikatakan (kepada), para mentri ponggawa, (mereka) mencatat segala yang diinginkannya, menanyakan keselamatan, yang pertama ditanyakan, berapa banyak rakyat ponggawanya, juga semua mantrinya, berapa banyak (padi) yang diperoleh, setiap harinya, dan berapa besar lumbungnya, (kemudian) semuanya disuruh pindah, lumbung sudah pasti pindah, (pasti) ditempati lumbung yang satu, yang dipakai untuk makan sehari – hari, sedangkan lumbung yang satu, digunakan untuk persediaan jika ada pekerjaan, barangkali persiapan pekerjaan besar, semua disuruh bersiap – siap.3

Sudah selesai seperti itu, (Baginda) bertanya tentang keadaan pasar, diperhatikan baik – buruknya, senangnya penjual dan pembeli, jika merusak, kesenangannya digulung, pacuwan membetulkan adat, sudah diberitahu jika baik, lalu bertanya hal pabean, para pedagang banyak yang senang, tingkah laku penduduk desa, jika tidak selamat, dicari salahnya, sesudah kesulitan para pedagang, lalu ditanyakan (tentang) berita, jika ada berita dari Makasar, lalu ke semua desa di sebelah barat, sampai ke Jambi, Palembang, Johor, dan Malaka, dan berhenti di Aceh, sudah habis semua negara (ditanyakan), lalu dipanggil lagi, ditanyakan berita tentang Mataram, segala macam beritanya, baik atau seperti yang lalu, sesudah dilaporkan selamat, lalu dipanggil lagi yang diceritakan, tentang kekuatan Jaketra, karena Baginda, merasakan kuatnya (Jaketra), karena dilawan, oleh Mataram itu, lagi pula sering mendekati, si Kapitan sering memberi hadiah, dan memberi banyak kesanggupan.4

Pada tiap – tiap seperti itu, jika Kanjeng Sultan diseba, pasti bertanya begitu, lalu bertanya kepada Ki Imam, masalah tentang hukum, semua orang yang berkelahi, soal agama dan kejahatan, sopan Ki Imam memberitahu, tentang arti kekalahan dalam pertengkaran, akan artinya (yang) selalu (demikian), semuanya sudah disampaikan, arti sudah disepakati, dan keadaan yang begitu, demikian jika berkelahinya lama, tidak dapat diselesaikan oleh Ali, hal itu disampaikan kepada Sultan, Kanjeng Sultan sendiri yang menghukumnya, perkelahian semua ponggawa, Kanjeng Sultan yang memutuskan, dengan menanyakan hal itu, kepada Pangeran Papatih.5

Berdasarkan nukilan di atas dapat dipahami bahwa Sultan Abu al-Mafakhir melakukan ri‘ayah terhadap pertanian dan perdagangan rakyat, mengamati berbagai kondisi politik di luar Banten dan mengatur Qadha’ (peradilan) untuk khusumat dan mazhalim. Beliau melanjutkan apa yang ditempuh para pendahulunya, sebagaimana dinukil naskah Sajarah (Babad) Banten:

 

Kelima: Panembahan Maulana Hasanuddin sebagai muthabbiq al-ahkam (pelaksana sistem hukum).6

Sesudah demikian itu ceritanya, Panembahan Surasaji, sudah diperbolehkan pulang, ke Banten Girang, bersama dengan permaisurinya, (tidak) diceritakan di jalan, sudah tiba di dalam istana, sesudah lama tinggal di Banten Girang, sejahteralah negaranya, (karena) mengikuti syariat, senang semua ponggawa, orang gunung banyak yang datang, semua menghaturkan, Ki Jong Jo yang mengatur.

Tersebutlah sudah diduduki, Banten Girang oleh Molana yang mulia, lalu sekarang rakyatnya diajar, (tentang) aturan – aturan Islam, lalu Molana yang agung membangun Pakuan, Kangjeng Molana berkata kepada semua ajar.

Ki Jong Jo dan Ki Ajar, Ki Santri senantiasa berhati–hati, mereka semua menjalankan dengan hati–hati, tata–aturan syariat, dan semua orang Banten Girang ikut, sudah berhenti Carang Waraksa, Ki Durma yang menggantikan

Panembahan Maulana Muhammad sebagai Umara sekaligus Ulama dan Mujahid.7

Biarkan dahulu yang meninggal, maka tersebutlah putranya (yang bernama), Kanjeng Molana Muhammad, sekarang menjadi raja, menggantikan kedudukannya, semua diserahkan kepadanya, sekarang pemerin-tahannya, dijalankan sama seperti ayahnya, tidak ada aturan yang diubah, peraturan pemerintah, tidak berubah dari yang dulu, beliau itu, disucikan (dengan) kesalehan dan ilmu, dan mengamalkan hadis, dan Kuran yang suci itu, tafsir fiqih yang mulia, dan semua kitab suci, semuanya dijadikannya sebagai wakaf.

Kanjeng Pangeran Ratu itu, berkata kepada Pangeran Mas, “Hai Kanda dahulu, ketika aku masih anak – anak, di sini ada kapal, yang datang dari Perenggi, dan dikalahkan, oleh Patih Mangkubumi, dan para ponggawa, mereka semua sabilullah, menjalankan amarullah, hamba ini kanda, ingin sabilullah besar, dimanakah ada orang Kafir.”

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami hubungan Khilafah Utsmaniyah dan Tatar Sunda berlangsung secara struktural dengan bukti-bukti adanya pemberian gelar Sultan dari Khilafah Utsmaniyah melalui Syarif Makkah sebagai Wali Khilafah. Ini menunjukkan adanya pelimpahan Imarah ‘Ammah ‘ala al-Bilad kepada para Sultan untuk mewakili Khalifah dalam penerapan syariah Islam dan melaksanakan ri`ayah asy-syu`un (pengaturan urusan) kaum muslimin di daerah kekuasaannya. Hubungan Khilafah dan Tatar Sunda tidak hanya sebatas ikatan dan gelar pengakuan. Dengan adanya bukti-bukti penerapan syariah Islam di Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten semakin memperjelas bahwa Risalah Islam yang kini mengakar di Tatar Sunda merupakan perwujudan dari perjuangan para perintis Kesultanan Islam yang ada di bawah naungan Khilafah Islamiyyah.  [Bagian Keenam-Habis]

[Abdurrahman Al-Khaddami dan Wirahadi Geusan Ulin ; (Tim Penulis Naskah Film Jejak Khilafah di Tatar Sunda)]

 

Catatan kaki:

1        Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 369 – 370

2        Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 369 – 370.

3        Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 369 – 370.

4        Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 369 – 370.

5        Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 369 – 370.

6        Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten

7        Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi