Jejak Khilafah Di Tatar Sunda (5)

Masa Khilafah Utsmaniyah

Khilafah Utsmaniyah dimulai sejak pembaiatan Sultan Salim ibn Bayazid ibn Muhammad al-Fatih sebagai khalifah, yang diakui oleh Abbasiyah dan Mamluk di Mesir setelah kekalahan mereka dan Syarif Mekkah di Hijaz, diikuti oleh para Sultan di Jazirah Arab, Syam dan Irak.

Dalam perubahan situasi tersebut hubungan Khilafah dengan Tatar Sunda terdapat dalam pengurusan ibadah haji dan umrah karena merupakan tanggung jawab Syarif Makkah sebagai Wali Khilafah Utsmaniyah di Hijaz.

Terdapat beberapa data sekitar abad 16 – 19 M antara Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam di Tatar Sunda dengan berbagai bentuknya selain dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah sebagai berikut:

Pertama, keterlibatan Pasukan Turki Utsmani dalam Futuhat Sunda Kalapa. Teknologi mutakhir militer Angkatan Darat pada abad 15-16 M itu adalah artileri berat berupa meriam tempur. Yang paling terkemuka pada abad tersebut adalah Turki Utsmani. Apalagi sejak mereka memproduksi supergun dardanellas pada ekspedisi penaklukan Konstantinopel 1453 M pada masa kuasa Fatih Sultan Mehmed Han.

Diriwayatkan saat Fatahillah berhaji, beliau berinteraksi juga dengan para perwira Arab dan Turki karena Fatahillah (Fadhilah Azmat Khan) juga adalah perwira militer Samudera Passe. Saat interaksi itulah Fatahillah mendapat ilmu berupa teknologi meriam tempur. Sepulang dari berhaji, Fatahillah tidak kembali ke Passe karena sejak 1521 M sudah jatuh ke tangan Portugis.  Beliau terus berlayar ke Demak. Berikutnya menjadi panglima Perang Demak saat kuasa Sultan Pati Unus & Sultan Trenggono.

Pada 1521 M itu pula, Demak menyerang untuk kedua kalinya Portugis di Malaka, dengan mengerahkan sekira 375 kapal perang dengan meriam tempur terbaru alih teknologi tersebut. Dengan teknologi meriam terbarukan itu, benteng-benteng Portugis di Malaka jebol. Pertahanan mereka pun berantakan. Pasukan Demak yang dikomando langsung oleh Pati Unus merasa di atas angin untuk merebut Malaka. Kapal-kapal pun dikerahkan merapat ke pelabuhan.

Namun, kemenangan yang diharapkan Demak tersebut justru berbalik arah. Ternyata semua meriam Portugis sengaja diarahkan kepada satu target, yakni kapal yang dinahkodai Pati Unus. Akhirnya, saat pasukan Alfonso de Alberqueque nyaris binasa, mereka justru berhasil menjebol lambung kapal Pati Unus hingga tenggelam di Selat Malaka. Fatahillah yang menyaksikan hal tersebut segera mengambil alih komando. Ia memerintahkan pasukan menyelamatkan Pati Unus & menarik mundur pasukan kembali ke Demak.

Ekspedisi Demak yang belum berhasil merebut Malaka dari Portugis tersebut dievaluasi. Mereka pun beraliansi dengan kekuatan Islam d Cirebon. Apalagi Fatahillah juga merupakan menantu dari Syaikh Syarif Hidayatullah. Pada saat yang sama juga, Kerajaan Padjadjaran (Pakuan & Galuh) menjalin kontak niaga dengan Portugis. Mereka berencana membangun kantor niaga di pelabuhan Sunda Kalapa saat Sang Surawisesa berdiplomasi dengan Alberqueque.

Pada 22 Juni 1527 M terjadi perang. Fatahillah yang mewakili kuasa Demak dan membawa armada laut Cirebon menghancurkan Portugis di lautan Sunda Kalapa. Pertanyaannya adalah soal teknologi meriam tempurnya itu darimana?

Diriwayatkan teknologinya itu didapati Fatahillah saat berinteraksi dengan para perwira militer Arab dan Turki saat beliau berhaji di Tanah Suci. Jadi Turki Utsmani tidak terlibat langsung dalam perang antara Demak vs Portugis, ataupun antara Cirebon vs Portugis di Sunda Kalapa, tetapi sebatas alih teknologi berupa ilmu militer saja.

Turki Utsmani baru terlibat secara langsung dengan bantuan militer ke Nusantara pada 1566 M saat Sultan Selim II bin Suleyman al-Qanuny mengirimkan 300 perwira militer Utsmani ke Aceh. Mereka membangun akademi militer Baytul Maqdis di Kesultanan Aceh Darussalam, sekaligus memperkuat artilerinya dengan meriam-meriam tempur terbaik.

Berikutnya, 20 ahli persenjataan Khilafah Utsmani pun terlibat dalam pengusiran Portugis dari Ternate. Khilafah Utsmani membantu Sultan Babullah merebut kembali kuasanya atas Ternate, sekaligus membalaskan pembunuhan ayahandanya Sultan Hairun oleh Portugis.

Pada 1579 M juga, sekira 20 ahli persenjataan Khilafah Utsmani ikut serta dalam penaklukkan Keraton Pakuan Padjadjaran di Bogor oleh Maulana Yusuf dari Banten.

Di antara para sejarahwan berbeda pendapat soal 20 orang yang mengoperasikan meriam tempur tersebut. Ada yang berpendapat bahwa ke-20 orang tersebut berasal dari Turki Utsmani. Ada yang berpendapat mereka adalah para mualaf Portugis. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang Cina Dinasti Ming.

Dalam perang tersebut, pasukan Maulana Yusuf menggunakan meriam tempur yang dioperasikan kurang lebih oleh 20 orang pasukan dari Turki. Perlu diketahui bahwa masa sebelum pemerintahan Maulana Yusuf, Khalifah Salim II ibn Sulaiman al-Qanuni pernah mengirimkan bantuan militer kepada Kesultanan Aceh Darussalam sekaligus terjadinya penetapan bahwa wilayah yang dipimpin Aceh adalah bagian dari Utsmaniyah. Di antara bentuk peninggalannya ialah Akademi Baitul Maqdis yang merupakan pusat pelatihan militer dan teknologinya yang dikelola para tentara Utsmaniyah.

Kedua, Gelar Sultan dari Khilafah Utsmaniyah melalui Syarif Makkah untuk Sultan Banten (1048 H / 1638 M) dan Sultan Mataram Islam (1051 H / 1641 M)

Sesuai informasi dalam naskah Sajarah (Babad) Banten, ditulis oleh Sandisastra atas riwayat Sandimaya, yang diterima secara talaqqi bil qabul di kalangan masyarakat Banten, dibuktikan hingga banyaknya salinan hingga 20-an naskah, dan di antara isi naskah tersebut yang disepakati para peneliti semisal Prof. Husein Jayadiningrat, Prof. Titik Pujiastuti, Mufti Ali, Ph.D, Tb. Najib al-Bantani dan Lutfi Abdul Ghani bahwa Sultan Abdul Qadir ibn Muhammad ibn Yusuf ibn Hasanuddin al-Bantani pernah mengirim 3 utusan kepada Syarif Makkah. Kemudian para utusan yang pulang kembali, yakni H. Jayasanta dan H. Wangsaraja, pulang ke Banten dengan menyampaikan pemberian gelar Sultan Abu al-Mafakhir yakni “penguasa yang memiliki kebanggaan/kemuliaan” kepada Sultan Abdul Qadir dari Syarif Jahid. Ia merupakan Wali Khilafah Utsmaniyah di Hijaz. Nama Syarif Jahid terkonfirmasi dalam Khulashah al-Kalam karya Sayyid Ibn Zaini Dahlan al-Hasani asy-Syafi’i rahimahullah, meskipun dengan sedikit koreksi, yakni Syarif Zaid ibn Mushin al-Hasani rahimahullah. Dengan demikian terbukti adanya kesesuaian antara masa utusan Banten ke Mekkah dengan masa kepemimpinan Syarif Zaid di Hijaz.

Selain itu, keduanya juga membawa kitab – kitab karya Imam Ibn ‘Allan asy-Syafi’i, Ulama Hijaz, penulis syarh Riyadh ash-Shalihin, yang merupakan jawaban beberapa pertanyaan yang diajukan Sultan Banten. Di antaranya merupakan syarh/penjelasan atas bagian dari kitab Nashihah al-Muluk karya Imam al-Ghazali asy-Syafi’i, yakni kitab Al-Mawahib ar-Rabbaniyyah ‘an al-As`ilah al-Jawiyyah, yang bisa dipahami sebagai panduan resmi dari Khilafah untuk Sultan Banten dalam menjalankan politik dan pemerintahan. Di antara salinannya tersimpan di Museum Perpustakaan Negara Republik Indonesia (PNRI). Peristiwa kepulangan kedua utusan dan pengumuman atas gelar tersebut masyhur karena ditandai dengan awal dimulainya peringatan “resmi” Maulid Nabi oleh Kesultanan Banten. Pemberian gelar ini menunjukkan adanya hubungan struktural dengan segala keterbatasan yang ada antara Khilafah Utsmaniyah melalui Syarif Mekkah, wakilnya di Hijaz dengan salah satu pemimpin di Tatar Sunda, yakni Sultan Banten.

Sesuai informasi dalam naskah Babad Diponegoro, ditulis oleh Pangeran Diponegoro di Manado dan riwayat masyhur dari Mataram Islam tentang bendera Kyai Tunggul Wulung, bahwa setelah Sultan Abdul Qadir mendapat gelar Sultan dari Syarif Makkah. Lalu Susuhunan Agung Hanyokrokusumo juga mengirim utusan ke Makkah dan berhasil mendapatkan gelar Sultan dari Syarif Mekkah, dalam versi Jawa: Sultan Ngabdulrahman Sayidin Panatagami ing Mentaram, adapun berdasarkan sumber dari Dr. H.J. De Graaf dalam bukunya Puncak Kekuasaan Mataram yakni Sultan Abdullah Muhammad Maulana Al Matarami, sehingga selanjutnya beliau dikenal sebagai Sultan Agung.

Pada masa tersebut sebagian Tatar Sunda, yakni wilayah yang dipimpin Cirebon, Sumedang Larang dan Galuh menjadi bagian wilayah Kesultanan Mataram Islam. Dengan pemberian gelar tadi maka terbukti adanya hubungan struktural antara Khilafah Utsmaniyah dengan Cirebon dan Priangan melalui Sultan Agung Mataram. Sejak saat itu hingga wafatnya Sultan Agung (sekitar 5 tahunan) seluruh Tatar Sunda merupakan wilayah resmi bagi Khilafah Utsmaniyah dengan akad Wilayah ‘Ammah yang diberikan oleh Syarif Makkah sebagai wakil Khalifah di Istanbul.

Dengan demikian dapat disimpulkan:

Pertama, Syarif Makkah merupakan pemimpin Hijaz yang mewakili Khilafah Utsmaniyah sejak masa Khalifah Salim ibn Bayazid ibn Muhammad al-Fatih, yakni sejak masa Syarif Abu Numay ibn Barakat al-Hasani dan ayahnya.

Kedua, Syarif Zaid ibn Muhsin al-Hasani, memimpin Hijaz sebagai Wali Khilafah pada 1632 – 1667 M sesuai dengan riwayat Sultan Sarip Jahed yang memberikan gelar pada Sultan Agung Banten (1638 M) dan Sultan Agung Mataram (1641 M). Pada saat itu merupakan masa Khalifah Murad ibn Ahmad (1032 – 1049 H/ 1623 – 1639 M).

Ketiga, Tatar Sunda bagian Barat, yakni Banten, Jayakarta, Pakuan (Bogor), dan Tanggeran(g) serta sebagian Karawang pada 1638 M dan setelahnya termasuk wilayah Banten Surosowan.

Keempat, Tatar Sunda bagian Tengah dan Timur, yakni Priangan terdiri atas sebagian Karawang (termasuk Sagalaherang – Subang), Ukur (Bandung), Sumedang, Sukapura (Tasikmalaya) serta Cirebon, Dermayu, Luragung, Kuningan, Talaga, Sindangkasih (Majalengka) dan Galuh (Ciamis), juga Sukabumi, Cianjur dan Limbangan (Garut) saat ini pada 1641 M, termasuk wilayah Pakungwati Cerbon atau Sumedanglarang yang mengikuti Mataram Islam.

Kelima, Tatar Sunda pernah secara total pada 1641 – 1645/46 M menjadi bagian resmi Khilafah Utsmaniyah melalui akad Wilayah ‘Ammah dari Syarif Mekkah sebagai Wali Khilafah di Hijaz kepada Sultan di Banten dan Mataram, selanjutnya Banten terus bertahan hingga 1683 M, sedangkan Mataram – Cirebon – Sumedang terputus sejak 1645/46 M, lalu Cirebon kembali bergabung 1650 karena mengikuti Banten. [Bagian Kelima-Bersambung] [Abdurrahman Al-Khaddami dan Wirahadi Geusan Ulin ; (Tim Penulis Naskah Film Jejak Khilafah di Tatar Sunda)]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi