Jejak Khilafah Di Tatar Sunda (4)

Mengenai riwayat Sayyid Jamaluddin al-Akbar sebagai berikut:

 

Jamaluddin Agung (Al-Akbar) Maulana Al-Husain yang pertama menetap di Indonesia dari keturunan Imam Ahmad Almuhajir, wafat di tanah Bugis. Dilahirkan di tanah Kamboja. Ayahnya, yaitu Maulana Ahmad Syah, datang dari India. Ia dilahirkan di Nasrabad, dari keluarga Arab, keturunan Rasulullah saw. bermukim di India.  Sayyid Jamaluddin datang di Indonesia dengan keluarga dan sanak kerabatnya dan cucu-cucunya laki-laki dan perempuan. Putranya yang bemama Sayyid Ibrahim Zainul-Akbar ia tinggalkan di Aceh untuk menyebarkan ilmu-ilmu Islam, kemudian datang di Surabaya. Akhirnya, ia terkenal dengan nama Ibrahim Asmoro (= Ibrahim al-Asmar) dan sebutan Sunan Nggesik (Tuban).1

 

Hubungan India dengan Abbasiyyah terjalin kuat sejak lama hingga pada aspek politik dan pemerintahan melalui pengakuan dan baiat Sultan di India kepada Khalifah Abbasiyyah. Di antaranya Sultan Ghiyatsuddin Delhi (abad 13 M), Sultan Tughlaq Syah dan Sultan Fairuz Syah Tughlaq (abad 14 M), Sultan A’zham Syah Benggal (abad 14/15 M), serta para Sultan: Muzhafar Syah Gujarat, Muhammad Benggal dan Mahmud Khilji (abad 15 M).

Berkaitan dengan Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah, terdapat beberapa perbedaan dalam rincian nasab dan asal-usulnya. Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati merupakan tokoh sentral islamisasi Tatar Sunda terutama melalui Cirebon, Banten (dibantu putranya, Maulana Hasanuddin Sebakingkin, 1526), Sundakalapa – Jayakarta (dibantu menantunya, Tubagus Pase Ki Fadhilah, 1527), Sumedang (dibantu muridnya, Pangeran Santri Kusumadinata, 1530) dan Sagalaherang – Subang (dibantu muridnya, Raden Arya Wangsa Goparana, 1530).

Secara umum, berbagai sumber saling melengkapi, tidak saling bertentangan. Namun, terdapat ikhtilaf yang perlu dikompromikan terkait dari mana asal-usul Sunan Gunung Djati. Menurut semua sumber Cirebon, semisal Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda, Carub Kandha, Babad Cirebon dan lainnya beliau dari Mesir, bahkan trah “Sultan Mesir”. Sumber Bani ‘Alawiyyin menolak riwayat tersebut. Bahkan sebagiannya menetapkan beliau berasal dari Champa.

Berdasarkan kajian riwayat dapat dipahami bahwa asal-usul Syarif Hidayatullah dari Mesir merupakan riwayat masyhur yang talaqqi bi al-qabul setidaknya di masyarakat Cirebon. Apalagi diperkuat dengan riwayat dari para trah Cirebon yang bisa dianggap nasab mereka sebagai sanad-nya. Artinya, riwayat tersebut bisa termasuk riwayah maqbulah, setidaknya dapat dianggap hasan menurut ilmu riwayat. Dengan demikian, jika tidak ada riwayat yang lebih kuat, maka beritanya dapat diterima.

Adapun kritik Bani ‘Alawiyyin kembali pada kaidah Istishhab, bahwa Syaikh Jamaluddin al-Akbar dan keturunannya telah keluar dari India dan mukim ke Champa sehingga Syarif Hidayatullah dianggap lahir di Champa. Mereka tidak menerima riwayat Cirebon bahwa Syarif Abdullah mukim dan menjadi sultan di Mesir. Artinya, Bani ‘Alawiyyin hanya menolak riwayat secara dirayah tanpa menyampaikan riwayat lain yang lebih kuat. Adapun adanya fakta bahwa penguasa Mesir adalah Khilafah Abbasiyyah yang didukung Mamluk, ungkapan “Sultan Mesir” bisa dimaknai sebagai “pemimpin daerah tertentu di wilayah Mesir”, diduga kuat setingkat ‘Imalah (kabupaten). Hubungan Syarif Abdullah dengan kekuasaan Mesir diduga kuat terjalin melalui hubungan erat para Sultan India dengan Abbasiyyah dan Mamluk di Mesir; karena Sayyid Abdul Malik ibn ‘Alwi al-Husaini dan keturunannya memiliki pengaruh kuat di kalangan Sultan India, khususnya di Gujarat.

Oleh karena itu, tuduhan bahwa cerita asal-usul tersebut adalah buatan/riwayat palsu para penulis Cirebon cukup sulit diterima karena pada umumnya naskah -naskah Cirebon disusun abad ke-18 M (tahun 1700-an), yang berarti sudah masuk Masa Khilafah Utsmaniyyah. Artinya, era Makkah – Mesir sudah tidak relevan untuk legitimasi politik dan budaya; tergantikan Makkah – Rum (Istanbul). Mungkin saja, dalam naskah-naskah Cirebon terdapat salah kutip atau sisipan cerita, namun tidak dengan rekayasa/pemalsuan riwayat, terutama bagi riwayat masyhur yang disepakati semua naskah.

Dengan demikian dapat disimpulkan:

  • Sayyid Ahmad al-Muhajir ibn Isa ibn Muhammad al-Husaini adalah Naqib dari Khilafah Abbasiyyah di Baghdad, Irak. Demikian pula ayah dan kakeknya.
  • Sayyid Ahmad ibn Abdul Malik al-Husaini, ayah dari Sayyid Jamaluddin al-Akbar, berkaitan erat dengan para Sultan India yang tunduk pada Khilafah Abbasiyyah di Irak ataupun Mesir.
  • Syarif Abdullah ibn Ali Nurul Alam sebagai “pemimpin daerah” di Mesir, negeri pusat Khilafah Abbasiyyah – Mamluk.
  • Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah keturunan dari para tokoh tersebut.

 

Pada prinsipnya, penetapan nasab tersebut bertujuan untuk menjaga kesinambungan nasab  karena hukum mengingkari nasab adalah haram, sebagaimana pula haram mengakui nasab yang bukan miliknya. Di antara ulama yang sependapat ialah Sayyid ‘Alawi ibn Thahir al-Haddad, 2 Sayyid Ahmad as-Saqqaf, 3 Syaikh Tubagus Ahmad Bakri ibn Saida as-Samfuri, 4 dan Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadani.5

Adapula sebagian ulama yang menetapkan dengan ungkapan tamrîdh, semisal Syaikh Abu al-Fadhl ibn Abdussyukur as-Sainuri at-Tubani (حكي والله اعلم بصحته), dihikayatkan dan wallâhu ‘alam mengenai keshahihannya. 6

Syaikh Abdullah ibn Nuh menjelaskan:

 

Demikian itu semua sudah sering kita baca dalam kitab-kitab sejarah Indonesia yang terbit dalam bahasa Belanda, atau terjemahannya, atau sadurannya dalam bahasa Indonesia atau daerah mengenai silsilah nasabnya. Semua kitab-kitab sejarah yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah telah seia sekata bahwa Sunan Gunung Jati itu adalah keturunan dari Rasulullah saw. Hanya saja, di antara sekian banyaknya kitab-kitab daerah itu terdapat silsilah-silsilah yang bersimpang-siur, yang menunjukkan ketidakasliannya. Adapun silsilah nasabnya yang asli termaktub dalam sejarah yang pada hemat kami, sah dan mu’tamad. 7

 

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai nasab ini, jika pun penisbahan tersebut tidak dinilai sahih, pada faktanya menunjukkan adanya pengaruh dari Sayyid Ahmad ibn Isa al-Muhajir dan keturunannya. Artinya, ditinjau dari silsilah keilmuan dapat menjadi bukti bahwa Wali Songo merupakan perintis mazhab Imamuna Syafii di Nusantara, termasuk Tatar Sunda. Syaikh Abdullah ibn Nuh menjelaskan, “Perhatikan: Kaum Muslim India dan Pakistan adalah bermazhab Hanafi, tetapi leluhur Sunan Gunung Jati adalah bermazhab Syafii. Rupanya itulah sebabnya para tokoh Islam (termasuk Wali Songo) adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bermazhab Syafii hingga kini Mazhab Syafii masih mazhab kaum Muslim Indonesia, Malaysia dan sekitarnya.” 8

Ada bukti lain yang dapat menjelaskan aliran pemikiran yang diajarkan Wali Songo, yakni Primbon Sunan Bonang atau Het Van Bonang. Syaikh Abdullah ibn Nuh menjelaskan sebagai berikut:

 

Meskipun yang sudah dapat ditetapkan  ‘sahih’-nya dari wejangan Wali Songo itu baru milik Sunan Bonang, justru Sunan Bonanglah yang paling representatif menggambarkan bagaimana corak ajaran Wali Songo sebagai ajaran Islam yang tersebar untuk pertama kalinya di Jawa khusus, dan di Indonesia pada umumnya. Hal ini berdasarkan alasan-alasan: (1) Sunan Bonang, yang berjuluk Prabu Hanjakrawati yang berkuasa dalam “sesuluking ngelmi lan agami” adalah seperti “mufti” di soal-soal agama dan ilmu; (2) Sunan Bonang adalah murid dan putra dari Sunan Ampel bersama-sama Sunan Drajat sehingga ajaran Sunan Bonang dapat sedikit banyak mewakili ajaran Sunan Ampel dan Sunan Draiat; (3) Sunan Bonang adalah juga seperguruan dengan Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati, sama-sama berguru pada Maulana Iskak di Pasei; (4) Sunan Bonang konon adalah juga guru-pertama dari Sunan Kalijaga, pengukir kebudayaan dan keruhanian Islam di Jawa Tengah … Fikih Tauhid (dan) Tasawwuf lengkap dan tersusun rapi dalam primbon Sunan Bonang itu menurut ajaran ‘Aqaid AhIi Sunnah wal Jama’ah dengan Mazhab Syafi’i. Primbon itu disamping mengajak kepada tauhid, juga mencegah pembacanya dari berbuat musyrik. 9

 

Sanad keilmuan tersebut dapat ditinjau pula dari hubungan Sunan Gunung Djati dengan Maulana Ishaq yang berdakwah dan mengajar di Pasai. al-‘Allamah Ibn Bathuthah yang dikenal sebagai Ahli Geografi saat berkunjung ke Nusantara mendeskripsikan penguasa Jawah sebagai berikut:

 

Sultan Jawah adalah al-Malik azh-Zhahir dari kalangan penguasa yang utama nan mulia. Syafii mazhabnya, dicintai di kalangan fuqaha. Mereka hadir di majelisnya untuk qira‘ah dan mudzakarah. Dia banyak berjihad dan perang. Seorang yang tawadhu, datang ke (tempat) Shalat Jumat dengan berjalan kaki. Penduduk negerinya adalah Syafiiyyah, mencintai jihad, keluar (berperang) bersamanya secara sukarela. Mereka menang atas kaum kafir dan kaum kafir memberikan al-Jizyah kepada mereka berdasarkan perjanjian/damai. 10

 

Sultan al-Malik azh-Zahir, yakni Muhammad Malik azh-Zahir ibn Meurah Silu Malik ash-Shalih, pemimpin Samudera (Sumatera) Pasai. Nama gelar yang dia gunakan sama dengan gelar pemimpin di Mesir era Khilafah Abbasiyyah, yakni Sultan Ghiyatsuddin Ghazi al-Ayyubi dan Sultan Ruknuddin Baybars al-Mamluki.

Jadi, hingga masa Khilafah Abbasiyyah terdapat hubungan kultural Khilafah dengan islamisasi di Tatar Sunda. Hal demikian karena salah satu fungsi Khilafah ialah menyebarkan Islam ke berbagai negeri, baik melalui dakwah maupun jihad. [Bagian Keempat-Bersambung]

[Abdurrahman Al-Khaddami dan Wirahadi Geusan Ulin ; (Tim Penulis Naskah Film Jejak Khilafah di Tatar Sunda)]

Catatan kaki:

1        Ibn Nuh, Ringkasan Sejarah Wali Songo, hlm. 26

2        Alwi al-Haddad, ‘Uqûd al-Almâs, hlm 129

3        Ahmad as-Saqqaf, Tarikh Banten, hlm. 10, dikutip Abdullah ibn Nuh, Ringkasan Sejarah Wali Songo, hlm. 15

4        Ahmad as-Samfuri, Tanbîh al-Muftarîn, hlm. 23

5        Yasin al-Fadani, al-‘Iqd al-Farîd, hlm. 58, 61, 83, 103, 109; dengan menyebutkan laqab as-Sayyid terhadap Syaikh Tubagus Ahmad Bakri

6        Abu al-Fadhl as-Sainuri, Ahla al-Musâmirah, hlm. 3

7        Abdullah ibn Nuh, Ringkasan Sejarah Wali Songo, hlm. 13 – 14

8        Abdullah ibn Nuh, Ringkasan Sejarah Wali Songo, hlm. 16

9        Abdullah ibn Nuh, Ringkasan Sejarah Wali Songo, hlm. 7 – 8

10      Ibn Bathuthah, ar-Rihlah, 2/479

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi