Jejak Khilafah Di Sulawesi: Menyibak Jalinan Politik & Spiritual yang Dilupakan (7)

Menurut sumber arsip Aceh yang tersimpan di Istanbul, permintaan Sultan ‘Alauddin Riayat Syah al-Qahhar dikabulkan Sultan Salim II, selaku Khalifah ‘Utsmaniyah pengganti Sulaiman al-Qanuni, dengan mengirim Koca Sinan Pasa, gubernur ‘Utsmaniyah di Mesir, ke bandar Aceh. Koca Sinan Pasa kemudian “mengakui sultan di setiap negeri (di Pulau Sumatera) atas kesultanannya terhadap penduduk negeri itu” (al-Marhûm Hadhrat al-Wazîr al-A’zham Sinân Bâsyâ qarrara sulthân kulla iqlîmin ‘alâ sulthânatihi fî ahl iqlîmihi).

Hasil akhirnya, menurut sumber Aceh ini, setiap negeri di Pulau Sumatra memiliki seorang gubernur yang berada di bawah otoritas ‘Utsmaniyah (wa li kulli iqlîmin wâliyun man tahta ad-Dawlah al-‘Aliyyah al-‘Utsmaniyyah). Setiap gubernur itu digelari sultan dan raja (sulthân[an] wa malik[an]) dengan cara mereka masing-masing (bi hasabi uslûbihim).1

Pernyataan-pernyataan tersebut memberi kita salah satu model pentahbisan seorang sultan di negeri Jawi yang dikukuhkan oleh otoritas tertinggi Dunia Islam, Khilafah, entah langsung maupun diwakilkan. Lantas, bagaimana dengan Sulawesi?

Sebelum karaeng-karaeng Gowa dan Tallo’ diislamkan dan diberi gelar sultan, rupanya satu kekuasaan di ujung Sulawesi Tenggara sudah mendahului mereka dalam instrumen pengangkatan sultan oleh Khalifah. Di negeri Wolio alias Buton, seorang ulama yang paling dikenang jasanya di pulau ini, Syaikh ‘Abdul Wahid bin Syarif Sulayman, dikatakan datang dari Pattani menuju Buton pada 1511. Beliau berdakwah di sana hingga berhasil memikat hati banyak orang termasuk Raja Buton ke-6 yang berkuasa, Raja Mulae. Beberapa tahun setelah Syaikh ‘Abdul Wahid menguatkan Islam di Buton, Raja Mulae menginginkan perubahan bentuk tata negara kerajaannya menjadi sebuah kesultanan. Untuk itu, Raja Mulae meminta Syaikh ‘Abdul Wahid pergi ke Istanbul demi mendapat restu Khalifah ‘Utsmaniyah. Syaikh dari Pattani tersebut akhirnya berangkat pada 1523 dan terus berada di negeri Rum selama 15 tahun. Ketika dia kembali lagi ke Buton, ternyata Raja Mulae sudah wafat dan kekuasaan kini dipegang menantunya, La Kilaponto (berkuasa 1538-1584). Akhirnya, berbekal legitimasi dari Istanbul, Syaikh ‘Abdul Wahid melantik La Kilaponto dengan gelar Sultan Muhammad Qa’imuddin, “yang menegakkan agama”.2

Bagaimana dengan Trio Datu’ Minangkabau yang mengislamkan Sulawesi Selatan? Siapa yang mengirim mereka? Bagaimana mereka bisa punya wewenang untuk melantik Datu’ Luwu’, Karaeng Tallo’ dan Gowa menjadi sultan? Apakah mereka punya kaitan dengan Khalifah ‘Utsmaniyah yang berhak menggelari penguasa-penguasa Muslim–sebagaimana konsep hierarki al-Ghazali–sebagai “sultan”?

 

  1. Jalur Aceh.

Sumber-sumber Lontara’ dengan terang menyebutkan bahwa asal-usul Trio Datu’ adalah dari Koto Tangah di Minangkabau (Isilang Marangkaboya ampasadaki Kota Tanga arenna).3

Sejak zaman Sultan ‘Alauddin Riayat Syah al-Qahhar di abad ke-16, daerah Minangkabau sudah berada di bawah kuasa Aceh dengan penempatan salah seorang putranya, Tuanku Mughal, sebagai raja muda (wakil sultan) Aceh di Pariaman.4

Ketika Syaikh ‘Abdul Ma’mur, Sulayman dan ‘Abdul Jawad pergi ke Sulawesi di tahun 1012/1603, yang menjadi penguasa Aceh adalah Sultan ‘Alauddin bin Firman Syah. Ia terkenal dengan julukan Sultan Sayyid al-Mukammil (berkuasa 1589-1604).

Sebelum Sultan ‘Alauddin Sayyid al-Mukammil naik takhta pada 1589, Kesultanan Aceh menikmati hubungan hangat dengan Khilafah ‘Utsmaniyah berkat usaha diplomasi yang diinisiasi oleh Sultan ‘Alauddin Riayat Syah al-Qahhar. Setelah beliau wafat pada 1571, takhta sultan dijabat oleh anak keduanya, Husain. Disinyalir kuat bahwa Husayi inilah yang sebelumnya dikirim Sultan al-Qahhar ke Istanbul membawa surat ayahnya untuk diberikan kepada Khalifah.5

Husain ditabalkan dengan gelar Sultan ‘Ali Riayat Syah (berkuasa 1571-1579), namun masa pemerintahannya menyaksikan perseteruan dia sendiri dengan saudara-saudaranya. Sepanjang tahun 1579 khalayak Aceh melihat empat sultan yang berganti-gantian menduduki takhta. Barulah kemelut internal tersebut dapat selesai ketika Manshur Syah, seorang pangeran Kesultanan Perak (Malaysia), menjabat sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan ‘Alauddin Manshur Syah (berkuasa 1579-1586). Bustan as-Salathin menyebut dia sebagai Sultan ‘Ala’uddin Perak, anak Sultan Ahmad.

Setelah Kesultanan Aceh menyerbu Perak, janda dari Sultan Ahmad dengan anaknya, Manshur Syah, dibawa ke Aceh. Ketika dewasa sang anak mengawini salah satu putri Sultan Aceh.6

Pada masa Sultan ‘Ala’uddin Manshur Syah Perak inilah, sampai ke masa Sultan ‘Ala’uddin Sayyid al-Mukammil nanti, kita dapat melihat pola yang terhubung antara para ulama pengislam Sulawesi Selatan (Trio Datu’ Minangkabau), Sultan Aceh dan Khalifah ‘Utsmaniyah.

Era Sultan Manshur Syah Perak dipuji oleh sumber-sumber sejarah sebagai periode yang cukup stabil. Sang Sultan dikenal sebagai pribadi yang shalih, bertakwa dan adil. Dia memerintahkan rakyat Aceh untuk menaati syariah Islam sepenuh hati. Para hulubalang istana bahkan diwajibkan untuk memakai pakaian-pakaian Arab. Banyak ulama dari wilayah ‘Utsmaniyah seperti Makkah dan Yaman datang ke Aceh. Di antaranya Syaikh Abu’l-Khayr bin Hajar al-Makki yang ahli tasawuf dan fikih, juga  Syaikh Muhammad al-Yamani yang pandai ilmu ushul fikih. Begitu pula Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Ulama dari kota Rander di India ini datang pertama kali ke Aceh pada masa Sultan Manshur Syah Perak. Lebih menarik lagi, kita mendapat keterangan dari pihak Portugis bahwa El Rey do Achem Rayamançor (yakni, Raja Manshur/Sultan Manshur Syah Perak) senantiasa ditemani conselho de Turcos, “penasihat dari Turkiye”, yakni orang ‘Utsmaniyah. Bahkan sumber Portugis yang kita rujuk di sini melukiskan sebuah pertempuran hebat di Selat Melaka pada 6 Februari 1583 antara Portugis dan armada Aceh yang dilengkapi kapal-kapal perang ‘Utsmaniyah.7 [Bersambung]

Keterangan Gambar: Pertempuran laut pada 6 Februari 1583 yang terjadi di depan benteng Portugis di Melaka (Afortaleza de Malaca). Terlihat bahwa kapal Portugis di tengah yang dipimpin Luis Moteiro Coutinho sedang terbakar, dikepung kapal-kapal perang Aceh dan ‘Utsmaniyyah pimpinan Sultan ‘Ala’uddin Manshur Syah Perak (Rayamancor) dan Laksamana Aceh (Lacamana). (Sumber: Subrahmanyam 2009, 45).

 

Catatan Kaki:

1        BOA, .HR. 73/3511. BOA, HR.SYS. 564/5. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation, Jilid I, 98, 103.

2        Susanto Zuhdi, dkk, Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton, (Jakarta: Depdikbud RI, 1996), 17-18, 22.

3        William P. Cummings, A Chain of Kings, 75.

4        Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra, 29.

5        Jorge Santos Alves, “From Istanbul with Love: Rumours, Conspiracies, and Commercial Competition in Aceh-Ottoman Relations, 1550s to 1570s”, dalam ACS. Peacock dan Annabel Teh Gallop, From Anatolia to Aceh, 54.

6        Teuku Iskandar, “Aceh as a Crucible of Muslim-Malay Literature”, dalam Michael Feener, dkk, Mapping the Acehnese Past, 52.

7        Sanjay Subrahmanyam, “Pulverized in Aceh: On Luis Monteiro Coutinho and His ‘Martyrdom”, Archipel, Vol. 78 (2009), 43-46, 49.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi