Jejak Khilafah Di Sulawesi Menyibak Jalinan Politik & Spiritual yang Dilupakan (6)

Setelah selesai menciptakan suasana kondusif di seluruh Sulawesi Selatan, Sultan Alauddin Gowa mengalihkan pandangannya ke luar pulau. Islam telah membuka matanya akan keluasan jaringan kaum Muslim yang bertaraf world-wide. Gowa siap mengubah ekonomi politiknya dari yang bersifat agraris menjadi maritim. Sultan Alauddin adalah karaeng Gowa yang pertama kali menjalin persahabatan dengan para penguasa Aceh dan Mataram (karaenga uru mabela-bela taqle ri Ace Karaenga ri Matarang).1

Politik luar negeri Gowa dan Tallo’ yang meluas ini adalah konsekuensi dari partisipasi mereka menjadi bagian dari Ummah Islamiyyah, sebagaimana yang dinilai Andaya:

 

Goa now enjoyed as part of the Moslem world. It became a part of the community of Islam (ummat) and thereby associated spiritually with the prestigious and fabulous Moslem court of Rum (Turkey) and Mogul India, and nearer to home, to Aceh, the rising power in western Indonesia.2

 

Walau dua kerajaan yang bersatu di Makassar mengukuhkan penguasa Gowa, Sultan Alauddin Tumamenang ri Gaukanna sebagai pemimpin tertinggi, pada hakikatnya yang menjadi otak intelektual di belakang kebijakan ekspansioner Makassar adalah sang tuma’bicarabutta (mangkubumi) dari Tallo’, Sultan ‘Abdullah Awwal al-Islam, Tumamenang ri Agamana. Karaeng Tallo’ tersebut adalah orang yang paling antusias dalam keislamannya. Tidak mencukupkan diri dengan belajar agama kepada Datu’ ri Bandang, Sultan ‘Abdullah tekun mempelajari bahasa Arab dari para ulama seperti Khatib Intang dan Khoja (Turkiye: Hoca, Ustadz) Munawwar.3

Dia juga rajin menjalankan shalat-shalat naafilah seperti shalat rawatib, witir, dhuha, tasbih, dan tahajud. “Paling sedikit dia mengerjakannya dua rakaat. Paling banyak sepuluh rakaat,” begitu kesaksian I Lo’mo’ ri Paotereka, salah satu istri Sultan ‘Abdullah Tallo’.

“Setiap malam Jumat dia melaksanakan shalat tasbih. Sepanjang bulan Ramadhan, setiap malamnya dia selalu menyedekahkan emas.”4

Kesalihan pribadinya patut juga diimbangi dengan kuatnya kebijakan Sultan ‘Abdullah Tallo’ akan politik ekonomi dan pertahanan. Ia membangun industri senjata api dan meriam, benteng-benteng batu, irigasi, memperkuat tiang kapal kargo, dan menginisiasi pembangunan kapal-kapal perang kerajaan. Adalah idenya untuk mem-futuuhaat wilayah luar Sulawesi seperti Bima, Dompu, Sumbawa, Selaparang, Pekat dan Tambora di Nusa Tenggara Barat. Sultan ‘Abdullah Tallo’ mengubah status negeri-negeri itu dari dar al-kufri menjadi Dar al-Islam dan mewajibkan mereka membayar jizyah. Bersama Sultan Alauddin Gowa, Sultan Tallo’ mengimigrasikan kaum Muslim Makassar ke pulau-pulau itu agar menjadi mokkeng (muqim) dan bisa dilaksanakan shalat Jumat sebagai syiar Islam secara publik.5

Hal ini diafirmasi sumber Bima yang terang-benderang menyatakan:

 

Adapun asal mulanya pada zaman dulu kala tatkala dikalahkan Bima oleh Mangkassar. Sebab tiada mau membawa iman agama Islam, maka oleh Paduka Yang Dipertuan kita Raja Gowa akan menyuruh (k)alahkan Bima dengan senjata.6

 

Dengan demikian, Kesultanan Gowa dan Tallo’ selama paruh pertama abad ke-17 adalah kesultanan yang berusaha menegakkan syariah Islam sebagai hukum resmi negaranya. Politik luar negerinya dilandasi semangat menyebarkan Islam ke seluruh kepulauan di perairan timur negeri Jawi. Dakwah dan jihad menjadi metode bakunya, dengan prinsip bahwa kesultanan ini “meminta kepada semua wilayah Gowa beserta kerabatnya masuk Islam, dan yang tidak masuk Islam akan diperangi Gowa” (naelorang manenni selleng sininna lilina Gowa sibawa pasiajingeng-na ri musu-i matu ri Gowa tiyae selleng). Tujuannya adalah agar “bersama-sama mengikrarkan syahadat dan bersama menyembah Allah, dan sesungguhnya ibadah kita adalah sembahyang dan berpuasa” (nabalingngaq sahadaq taqkasiwiangengngi Dewata naniya kasiwiyangta sempajang puwasa).7

Sangat jelas bahwa metode dan tujuan tersebut mengacu kepada sabda mulia Rasulullah saw.:

أمرت ان أقاتل الناس حتى يشهد أن لا إله إلا الله و أن محمد رسول الله ويقيم الصلاة ويؤتوا الزكاة فإذا فعلوا ذلك عصمو مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الله

Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka lakukan itu maka darah dan harta mereka aman dariku, kecuali yang sesuai dengan hak Islam, sedangkan perhitungan amal mereka diserahkan kepada Allah.”8

 

Pentahbisan Gelar Sultan untuk Raja-Raja Sulawesi

Salah satu bacaan tsaqaafah Islam yang digemari para pangeran dan sultan sekepulauan Jawi adalah At-Tibr al-Masbuuk fii Nashiihat al-Muluuk karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (wafat 505/1111). Terjemahannya dijumpai di Aceh, Jawa dan pulau-pulau lain di Asia Tenggara. Selain Nashiihat al-Muluuk, ada juga kitab Imam al-Ghazali yang jauh lebih populer seperti Ihyaa’ al-‘Uluum ad-Diin. Di dalamnya Imam al-Ghazali menuliskan satu pasal penting terkait hierarki kekuasaan Islam:

فمن بايعه صاحب الشوكة فهو الخليفة ومن استبد بالشوكة وهو مطيع للخليفة في أصل الخطبة والسكة فهو سلطان نافذ الحكم والقضاء في أقطار الأرض ولاية نافذة الأحكام

Khalifah adalah orang yang dibaiat para pemilik kekuasaan. Mereka yang memegang kuasa dan menaati Khalifah dalam penyebutan khutbah dan percetakan mata uang adalah Sultan yang menjalankan hukum serta peradilan di negeri wilayahnya dengan penuh keabsahan.9

 

Jabatan Sultan yang berada di bawah Khalifah adalah hal yang lazim diketahui di Dunia Islam sejak era Khilafah ‘Abbasiyyah. Penegakan otoritas di wilayah provinsi diserahkan kepada para Sultan, sementara sosok Khalifah adalah tempat berpulangnya baiat (anna al-wilaayah naafidzah li’s-salathin fi aqthar al-bilaad wa’l-mubayi’ina li’l-khalifah).10

Pembaiatan kepada Khalifah yang berkuasa di pusat Dunia Islam senantiasa dilakukan oleh sultan-sultan seluruh dunia, baik di era ‘Abbasiyah yang berpusat di Baghdad/Kairo maupun era ‘Utsmaniyah di Istanbul.

Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar dari Aceh menjadi pionir sultan-sultan negeri Jawi dalam pembaiatan kepada Khalifah ‘Utsmaniyah pada tahun 973/1566. “Dengan bersungguh-sungguh, saya meminta agar Pad‎‏ah tidak lagi memandang saya, hamba-Nya di tanah (Aceh) ini, sebagai penguasa yang independen,” tulis Sultan al-Qahhar kepada Khalifah Suleyman al-Qanuni, “melainkan sudi menerima saya sebagai hambanya yang miskin dan rendah, yang dapat berkuasa berkat kemurahan hati Sang Pad‎‏ah, sang pelindung dunia, bayangan Allah (di muka bumi); dengan jalan yang tiada berbeda dari gubernur Mesir, Yaman, atau para Bey di Jeddah dan Aden.”11 Keinginan Sultan al-Qahhar adalah cerminan baiat yang dia lakukan dengan permintaan agar diangkat sebagai gubernur ‘Utsmaniyah, sebagaimana lazimnya gubernur Khilafah di kota-kota Timur Tengah. [Nicko Pandawa]

 

Catatan Kaki:

1        Makalah disampaikan dalam safari dakwah al-Faqir di Makassar, Palopo, Wotu, Kendari, dan Baubau selama 27 Oktober – 7 November 2022.

2        Sarjana ilmu sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020); Penulis buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928 (2021) dan Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah Utsmaniyyah (2022); Sutradara dan Script-Writer film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara I & II.

3        William P. Cummings, A Chain of Kings, 45, 77.

4        Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka, 34.

5        J. Noorduyn, “Makassar and the Islamization of Bima”, Bijdragen tot de Taal-, en Volkenkunde, Vol. 143 No. 2/3 (Leiden, 1987), 315.

6        “Tamassambayang majai sambayang sunnaq naerang kontua rateka wittirika aloaka nawariya tasaqjoka nakana I Loqmoq ri Paotereka kaminang sikadena ruang rakakang kaminang jaina sampuloa rakanna bannginna Jumaka nasambayangangi sunnaq tasaqbea ponna romallang banngi-banngi assuluq sakaq bulaenna.” William P. Cummings, A Chain of Kings, 89.

7        William P. Cummings, A Chain of Kings, 88; J. Noorduyn, “Makassar and the Islamization of Bima”, 317, 322.

8        L. Massir Q. Abdullah, Bo: Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima, (Bima, 1981/2), 8. Dikutip dari J. Noorduyn, “Makassar and the Islamization of Bima”, 312.

9        Husnul Fahimah Ilyas, Lontaraq Suqkuna Wajo, 89-90.

10      Muhammad al-Bukhari, Shahih al-Bukhari wa Huwa: al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih, jilid I (Kairo: Dar at-Ta’shil, 2012), 205 (#25)

11      Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jilid II (Amman: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 154.

12      Ibid.

13      “Ol-dergah-1 Mu’alla’ya reca-i vas1k1muz oldur ki; bu bendelerini sayir Pad1_ahlar 1dad1ndan saymayup kendü 3ullar1ndan diyar-1 M1s1r Belerbeisi veyahud Yemen Belerbeisi veya Cidde ve Aden Beleri 3ullar1 1dad1ndan Pad1_ah-1 alem-penah-1 z1ll-i 0lah hazretlerinün etraf vilayetlerinde sada3a yiyen garib ü miskin ü +azin 3ullar1 1dad1ndan ma’dud buyuralar.” Topkap1 Saray1 Müsezi Ar_ivi, E-8009. BOA, HR.SYS. 564/5. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation, Jilid I, 41, 48.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi