Jejak Khilafah Di Sulawesi: Menyibak Jalinan Politik & Spiritual yang Dilupakan (5)

Pada awalnya, Trio Datu’ terlebih dulu berlabuh di Bua (sebelah selatan Palopo). Mereka disambut oleh seseorang bernama I Assalang Tenriajeng. Ia adalah seorang pemuka Bua yang telah memeluk Islam, tetapi masih sembunyi-sembunyi. Tenriajeng tidak berani menampakkan keislamannya selama penguasa Luwu’ masih dalam kepercayaan lama.3

Oleh karena itu ia sangat gembira ketika mengetahui kalau Syaikh ‘Abdul Ma’mur, Sulayman dan ‘Abdul Jawad adalah utusan yang benar-benar serius menargetkan penguasa Luwu’ agar masuk Islam. Ketiga Datu’ pun diantar oleh Tenriajeng menghadap La Patiware Daeng Parabung, penguasa Luwu’ ke-15 yang berdiam di Malangke.

Datu’ Luwu’ menerima ketiga Datu’ Minangkabau di dalam istananya dan terjadilah dialog yang panjang. Dialog berikut ini sejatinya adalah dialog Syaikh Sulayman Datu’ ri Pattimang kepada Arung Matowa Wajo’ yang terjadi beberapa tahun berikutnya. Namun, dialog mereka sepertinya dapat mewakili bagaimana perbincangan yang terjadi antara Trio Datu’ tersebut dan La Patiware Daeng Parabung, Sang Datu’ Luwu’:

 

Ketika Syaikh Sulayman alias Datu’ ri Pattimang datang ke Wajo’, Arung Matowa bertanya mengenai kandungan ajaran Islam kepada Datu’ ri Pattimang. “Engkaulah yang terlebih dulu mengemukakan apa yang menjadi peganganmu,” ujar Datu’ ri Pattimang memberikan kesempatan lebih dulu kepada Arung Matowa Wajo’.

Dewata Seuwwae adalah Tuhan Yang Tunggal,” kata Arung Matowa. “Dialah yang menciptakan dan Dia pula yang memusnahkan, menghidupkan dan mematikan. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang tidak ada awal dan akhirnya. Tidak bertempat tinggal. Tidak ada kehendak kecuali kehendak-Nya.”

Bagi dia, pendapat itulah yang ia warisi dari orang bijak Bugis bernama La Mangkace’ To Uddama yang diwarisi secara turun-temurun.

“Saya rasa peganganmu dan kandungan (agamamu) telah bagus, Arung Matowa,” ujar Datu ri Pattimang.

“Yang engkau katakan Dewata Seuwwae Tuhan Yang Tunggal, (tidak lain) yaitu Allah Ta’ala. Sesungguhnya tidak ada yang menyamai Dia. Tidak dilahirkan dan tidak beranak. Tidak ada satu pun yang menyamai Dia. Tidak ada yang disembah selain Dia. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan selain Dia,” simpul Sang Datu’ secara lugas.

“Alangkah baiknya engkau membuka (dan meninggalkan) yang Dia larang dan diharamkan oleh Nabi kita Muhammad.”4

 

Setelah diajak beriman melalui proses berpikir tentang hakikat Dewata Seuwwae yang dipercaya orang Luwu’, yang sejatinya bernama Allah ‘Azza wa Jalla, akal dan hati La Patiware Daeng Parabung luluh. Ia pun menyatakan syahadatnya dan menjadi raja Sulawesi Selatan pertama yang memeluk Islam. Peristiwa ini terjadi pada 15 Ramadhan 1013 / 4 Februari 1605.5

Dengan demikian tokoh kunci strategis yang menentukan opini umum seluruh Sulawesi telah dipegang oleh Trio Datu’ Minangkabau. Daeng Parabung ditabalkan oleh Trio Datu’ dengan gelar Sultan Muhammad Wali Muzhahiruddin, “yang menampakkan agama secara terang-terangan”.

Ulama-ulama tersebut meminta dukungan Sultan Luwu’ untuk mengislamkan seluruh jazirah. Sang Daeng yang kini disebut “Sultan” itu mendukung penuh, dan merujuk agar Trio Datu’ datang ke dua kerajaan yang menyatukan administrasi pemerintahan mereka di Makassar: Gowa dan Tallo’.

Mulai dari titik inilah Trio Datu’ berpisah dan berbagi tugas. Syaikh Sulayman Datu’ ri Pattimang tetap tinggal di Luwu’ (dan nanti juga ke Wajo’) untuk memperkuat Islam bersama Sultan Luwu’, Muhammad Wali Muzhahiruddin. Syaikh ‘Abdul Ma’mur Datu’ ri Bandang berangkat ke Makassar untuk mengislamkan Karaeng Tallo’ dan Gowa. Adapun Syaikh ‘Abdul Jawad berangkat ke daerah Tiro di Bulukumba yang ramai akan ilmu kebatinan dan praktik sihir.

Efek keislaman Datu’ Luwu’ sangatlah dahsyat. Begitu Datu’ ri Bandang sampai di Makassar delapan bulan kemudian setelah keislaman Daeng Parabung, kedatangannya langsung disambut penguasa Tallo’, Karaeng Matoaya I Mallingkaang Daeng Manyonri’. Karaeng Matoaya menyapa Datu’ ri Bandang dengan salam khas Islam, “Assalaamu ‘alaykum wa rahmatulLaah wa barakaatuh.”

Saat itu Kamis sore (8 Jumadil Awwal 1014 / 22 September 1605). Karaeng Matoaya yang berumur 35 tahun, pada hari yang sama, menyatakan syahadatnya.6

Karaeng Matoaya dari Tallo’ segera mengajak Karaeng Gowa, I Mangarangi Daeng Manra’bbia yang masih berumur 19 tahun untuk sama-sama masuk Islam,7 karena leluhur Gowa dan Tallo’ telah terikat dalam perjanjian: “Hanya satu rakyat tapi dua raja. Kematian bagi mereka yang bermimpi atau menghasut untuk memecah Gowa dan Tallo’” (Ata narua karaeng nibunoi tumassoqnaya angkanaya sisilai Gowa Talloq).8

Atau dalam versi Bugis: “Dua raja satu rakyat milik Bersama. Satu kebaikan dan keburukan milik Bersama. Seiya-sekata” (Duwa Arung na ceddiata cidditomi deceng ja naqduwai-wi naiya napowada).9

Sepanjang subuh sampai zuhur pada hari Jumat, 9 Jumadil Awwal 1014 / 23 September 1605, Istana Gowa diramaikan dengan diskusi antara Datu’ ri Bandang, Karaeng Matoaya Tallo’, Daeng Manra’bbia sang penguasa muda Gowa, beserta segenap penghuni istana dan instrumen adat Gowa-Tallo’. Diskusi itu ditutup dengan ikrar syahadat Karaeng Gowa sebagai bagian dari kaum Muslim. Datu’ ri Bandang segera mengukuhkan Daeng Manra’bbia sebagai Sultan ‘Ala’uddin, “yang meninggikan agama”. Oleh karena Karaeng Matoaya lebih dulu bersyahadat pada malam harinya, maka ia digelari sebagai Sultan ‘Abdullah Awwal al-Islam (Hamba Allah yang pertama-tama memeluk Islam).

Berislamnya penguasa Gowa dan Tallo’ mengubah drastis seluruh wajah Sulawesi Selatan dalam beberapa dekade ke depan. Hanya dalam waktu dua tahun, berkat sokongan penuh Sultan ‘Ala’uddin dan Sultan ‘Abdullah Awwal al-Islam, Datu ri’ Bandang berhasil menjadi wasilah berislamnya seluruh rakyat Makassar. Setelah seluruh rakyat dan pejabatnya menjadi Muslim, penguasa Gowa dan Tallo’ memberi perhatian kepada raja-raja tetangganya. Jauh sebelum Karaeng Matoaya Tallo’ dan Daeng Manra’bbia Gowa memeluk Islam, mereka beserta seluruh raja-raja di Sulawesi pernah berkumpul dan saling mengikrarkan janji bersama, “Siapa saja yang melihat jalan kebaikan maka akan saling menunjukkan” (Nigi-nigi mita laleng madecceng iyani sijellokeng).10

Ikrar tersebut mendorong penguasa Gowa dan Tallo’ agar menyampaikan berita baik ini, di samping kewajiban sebuah Negara Islam memang untuk mengemban dakwah ke seluruh penjuru alam.

Seruan Sultan Gowa disambut baik oleh kerajaan-kerajaan kecil sehingga dakwah berlangsung damai. Lain halnya dengan kerajaan-kerajaan Bugis yang kuat seperti Bone, Wajo’, dan Soppeng. Tiga kerajaan ini sejak tahun 1582 sudah membentuk aliansi yang bernama Tellumpoccoe. Mereka menolak ajakan tersebut, mengingat raja-raja Gowa sebelum Sultan ‘Ala’uddin pernah menyerang kerajaan-kerajaan Bugis yang menyebabkan luka hati dan penderitaan belum terhapus. Ajakan Gowa untuk menyambut kebaikan Islam dianggap hanya kedok demi perluasaan kekuasaan Makassar dan merendahkan Tellumpoccoe. Tidak punya pilihan lain, Gowa terpaksa mengangkat senjata dan mengumumkan jihad untuk menghapuskan penghalang-penghalang dakwah. Tahun 1608 menjadi pertanda dimulainya “Perang Pengislaman” (Makassar: bundu’ kasallannga, Bugis: musu’ asellennge). Pada mulanya pasukan Islam Gowa dapat dikalahkan aliansi Tellumpoccoe di Soppeng. Namun, Gowa dapat membalas kekalahan itu hingga berhasil mem-futuuhaat Sidenreng pada 1609 dan Soppeng di tahun yang sama. Wajo’ menyusul pada tahun 1610. Akhirnya, La Tenrirua, Sang Arumpone Bone, menyatakan tunduk pada tahun 1611 dan menyeru rakyatnya untuk menyudahi perang sekaligus menerima Islam.11 [Nicko Pandawa]

 

Catatan kaki:

1        Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 113.

2        Husnul Fahimah Ilyas, Lontaraq Suqkuna Wajo, 77-79.

3        Amrullah Amir dan Bambang Budi Utomo, Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur, 62.

4        William P. Cummings, A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq, (Leiden: KITLV Press, 2007), 87.

5        Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka, 32.

6        William P. Cummings, A Chain of Kings, 86, 98.

7        Perjanjian Gowa-Tallo’ dalam logat Bugis, sebagaimana yang dikutip dalam Lontara’ Su’kuna Wajo’. Lihat: Husnul Fahimah Ilyas, Lontaraq Suqkuna Wajo, 86.

       Ibid, 90.

9        Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka, 34.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi