HATI-HATI MEMINTA IZIN


Oleh: Yudha Pedyanto

Dalam Islam, ada amalan-amalan yang berdiri sendiri seperti sholat dan puasa, ada pula amalan-amalan yang melibatkan kepemimpinan (leadership, imamah) dan keorganisasian (followership, jamaah) seperti dakwah dan jihad.

Kalau ibadah seperti sholat dan puasa waktu pelaksanaannya sudah fixed. Namun berbeda dengan dakwah dan jihad; disamping menuntut pengorbanan besar (harta, pikiran, jiwa bahkan nyawa), juga melibatkan dinamika leadership-followership yang cukup kompleks.

Jika ibadah seperti sholat dan puasa, Allah SWT langsung yang menentukan waktu dan tata caranya. Jika ibadah seperti dakwah dan jihad, Allah SWT tidak menentukan secara langsung, melainkan memberikan kewenangan kepada para pemimpin (organisasi atau negara) untuk menentukan timing-nya; kapan, di mana, menghadapi siapa, dengan strategi apa, serta dalam situasi seperti apa?

Jika seorang muslim “nyaris mustahil” untuk mengelak dari kewajiban sholat dan puasa kecuali dengan alasan yang haq. Berbeda dengan kewajiban dakwah dan jihad, orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, punya siasat dan modus jitu untuk mengelak dari kewajiban-kewajiban tersebut. Bahkan bebas dari rasa bersalah. Modus tersebut adalah minta izin.

Coba bayangkan; jika Anda diberi amanah (dakwah) yang cukup berat, lalu pada saat yang sama bisnis atau karir Anda sedang melesat-lesatnya, dan jika ditinggal bisa berantakan, apa yang Anda lakukan? Mungkin Anda berfikir; untuk kali ini skip dulu deh. Saya izin dulu. Kata-kata “untuk kali ini” dan “izin dulu” seolah-olah membuat excuse Anda menjadi ringan dan sangat bisa dimaklumi. Benarkah?

Ternyata urusan minta izin yang mungkin kita pandang sepele jadi perkara besar di sisi Allah SWT. Di dalam Al-Quran ada satu surat yang membahas panjang lebar tentang modus izin ini. Ketika itu umat Islam sedang bersiap-siap dalam perang Tabuk. Lalu sebagian enggan ikut, karena mau panen besar, dan cuaca sedang panas-panasnya. Allah SWT berfirman:

لَا يَسْتَـأْذِنُكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ وَا لْيَوْمِ الْاٰ خِرِ اَنْ يُّجَاهِدُوْا بِاَ مْوَا لِهِمْ وَاَ نْفُسِهِمْ ۗ وَا للّٰهُ عَلِيْمٌ بِۢا لْمُتَّقِيْنَ

“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin (tidak ikut) kepadamu untuk berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 44)

اِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ وَا لْيَوْمِ الْاٰ خِرِ وَا رْتَا بَتْ قُلُوْبُهُمْ فَهُمْ فِيْ رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُوْنَ

“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu (Muhammad), hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguan.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 45)

Kadang-kadang ketika kewajibannya cukup ringan dan tidak menimbulkan potensi kerugian materi atau immateri maka kita bersemangat menyambutnya. Sebaliknya jika kewajibannya berat dan menimbulkan potensi kerugian materi atau immateri yang besar, maka kita menolaknya.

لَوْ كَا نَ عَرَضًا قَرِيْبًا وَّسَفَرًا قَا صِدًا لَّا تَّبَعُوْكَ وَلٰـكِنْۢ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ ۗ وَسَيَحْلِفُوْنَ بِا للّٰهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَـرَجْنَا مَعَكُمْ ۚ يُهْلِكُوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۚ وَا للّٰهُ يَعْلَمُ اِنَّهُمْ لَـكٰذِبُوْنَ

“Sekiranya (yang kamu serukan kepada mereka) ada keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, niscaya mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu terasa sangat jauh bagi mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Jikalau kami sanggup niscaya kami berangkat bersamamu.” Mereka membinasakan diri sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 42)

Dan ketika mereka diberi izin, mereka merasa bebas dan bahagia. Padahal izin tersebut hakikatnya adalah hukuman bagi mereka.

وَلَوْ اَرَا دُوْا الْخُـرُوْجَ لَاَ عَدُّوْا لَهٗ عُدَّةً وَّلٰـكِنْ كَرِهَ اللّٰهُ انْبِۢعَا ثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيْلَ اقْعُدُوْا مَعَ الْقٰعِدِيْنَ

“Dan jika mereka mau berangkat, niscaya mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Dia melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan (kepada mereka): Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 46)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَرِحَ الْمُخَلَّفُوْنَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلٰفَ رَسُوْلِ اللّٰهِ وَكَرِهُوْۤا اَنْ يُّجَاهِدُوْا بِاَ مْوَا لِهِمْ وَاَ نْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَقَا لُوْا لَا تَنْفِرُوْا فِى الْحَـرِّ ۗ قُلْ نَا رُ جَهَـنَّمَ اَشَدُّ حَرًّا ۗ لَوْ كَا نُوْا يَفْقَهُوْنَ

“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang), merasa gembira dengan duduk-duduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah (Muhammad), “Api neraka Jahanam lebih panas,” jika mereka mengetahui.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 81)

Semoga kita terhindar dari modus minta izin yang tercela seperti ini. Aamiin.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi