Oleh. H. M Ali Moeslim
Tentu miris saat menyaksikan dan mendengar pernyataan dari orang yang mengaku Muslim, baik pejabat ataupun rakyat, namun ia tidak suka saat Islam hendak dijalankan secara menyeluruh, mereka cenderung islamofobia. Kemudian, lontaran-lontaran yang terkesan mudah dan ringan, namun hal itu menunjukkan kelemahan pemahaman ummat Islam terhadap ajarannya, misal “Tuhan kita bukan orang Arab” atau “karena hal itu bukan rukun iman, tidak ada dalam al Qur’an, tidak usah di wujudkan atau dilaksanakan!” Bisa jadi juga seorang guru agama atau bahkan dosen agama tidak mengetahui dan memahami empat sumber hukum Islam, kemudian tidak mengetahui lima hukum Islam dalam sikap dan perbuatan.
Lalu, sikap galau terhadap yang datangnya dari Barat, apakah itu hadlarah atau madaniyah, sehingga bingung mana yang boleh “diambil” dan mana yang wajib ditolak. Banyak juga lontaran pernyataan-pernyataan yang menunjukkan mundurnya pemahaman ummat Islam terhadap ajaran Islam. Padahal, dalil hukum syara yang berasal dari nash, baik kitab Al-Qur’an maupun sunnah Nabi bertujuan untuk mengatasi persoalan atau problematika baru yang terjadi.
Allah SWT sebagai “As-Syaari (Sang Pembuat hukum) menetapkan untuk mengikuti sepenuhnya makna-makna dari nash, bukan semata kehatfiahan (teks-teks) nash itu sendiri. Namun, juga melakukan istinbath atau penggalian hukum dengan ijtihad oleh para mujtahid, tentunya memperhatikan illat dari suatu hukum yang terkandung dalam nash.
Jika kita “setback” mengapa ini terjadi? Kemunduran ini tidak serta merta terjadi, namun berjalan sedikit demi sedikit, berjalan seiring saling berkaitan dengan runtuhnya institusi pelaksana syariat dan pelindung ummat. Sebagaimana sabda Rasululullah Saw. sebagai berikut:
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِى تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah hukumnya, dan yang terakhir adalah shalat.” (HR Ahmad)
“The point at issue is that Turkey has been destroyed and shall never rise again, because we have destroyed her spiritual power: the Caliphate and Islam (Inti permasalahannya adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak akan bangkit kembali karena kita telah menghancurkan jantung kekuatan spiritualnya: Khilafah dan Islam).” Demikian jawaban Lord Curzon, Menlu Inggris, yang diprotes karena Inggris mengakui kemerdekaan Turki.
Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani atau Kesultanan Ottoman Turki terjadi di bulan Rajab, tepatnya pada 28 Rajab 1342 H atau 03 Maret 1924 M, 101 tahun yang lalu. Secara internal, faktor-faktor yang menyebabkan hancurnya Daulah Islam, secara ringkas dapat dikelompokkan menjadi dua faktor: (1) lemahnya pemahaman Islam; (2) buruknya penerapan Islam. (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyyah).
Pertama, lemahnya pemahaman Islam berakibat para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi yang didukung oleh fatwa-fatwa syaikh Al-Islam yang penuh kontroversi. Bahkan, dengan dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M, tsaqâfah Barat di Dunia Islam semakin kokoh. Termasuk setelah beberapa undang-undang disusun, seperti UU Acara Pidana (1840 M) dan UU Dagang (1850 M) yang bernuansa sekular.
Kedua: Kesalahan penerapan hukum Islam dibuktikan dengan banyaknya penyimpangan dalam pengangkatan khalifah yang justru tak tersentuh oleh undang-undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman Al-Qanuni yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan atau lemah.
Kaum Muslim mulai memandang kehidupan dengan asas manfaat. Kemudian mereka mengambil sebagian sistem Barat untuk diterapkan dalam negara Utsmaniyah, lalu mereaktualisasi hukum riba dan membuka bank-bank. Langkah-langkah ini sampai pada kecerobohan mereka mengambil undang-undang Barat yang akhirnya mengabaikan ketentuan-ketentuan syariah dan mengganti-nya dengan undang-undang pidana Barat.
Barat menjuluki ummat Islam adalah raksasa yang sedang tertidur pulas, untuk membangunkan dan membangkitkan kejumudan dan kemunduran berpikir umnat, ummat perlu meyakini bahwa paradigma mendasar untuk meraih kebangkitan adalah ideologi (mabda’) Islam. Ideologi Islam merupakan satu-kesatuan dari ide (fikrah) dan metode (thariqah) Islam.
Karena itu, kebangkitan hakiki adalah yang pernah dialami bangsa Arab saat mereka mengambil Islam sebagai ideologi individu, masyarakat dan negara. Kebangkitan ini dipimpin oleh Rasulullah saw. Bangsa yang dulunya Jahiliah berubah menjadi bangsa berperadaban tinggi dan mulia, bahkan kemudian berhasil menerangi dua pertiga dunia.
Sikap produktif yang seharusnya diambil ummat Islam adalah beraktivitas tanpa letih dan lelah dengan kesadaran penuh dan pengorbanan yang tulus demi menegakkan kembali kemuliaan umat di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah dengan cara menyebarluaskan pemikiran Islam dan berani berkorban memperjuangkannya. Ummat harus menyadari kenyataan bahwa Islam menjadi satu-satunya pemikiran yang haq, sedangkan pemikiran agresor kapitalis itu adalah batil dan dusta. Saatnya membangkitkan kembali akidah Islam dengan menumbuhkan rasa takut kepada Allah SWT. dan mematuhi perintah-Nya dengan menumbuhkan rasa takut pada siksa-Nya dan rasa rindu pada surga-Nya.
Wallahu A’lam Bishawab