Haji: Simbol Persatuan Umat Islam dalam Kalimat Tauhid

 

Oleh. Afiyah Rasyad

Tak lama lagi, jutaan kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia akan berkumpul di Tanah Suci. Para jamaah tanah air sudah berangkat. Mereka akan menjaadi tamu Allah, menggemakan kalimat tauhid, mempersembahkan ibadah haji yang agung ke hadapan Allah SWT.

Pada hari itu tak ada kebanggaan selain mendapatkan gelar sebagai tamu-tamu Allah SWT. Nabi Saw. bersabda:

وَفْدُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثَلاَثَةٌ الْغَازِي وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ

“Tamu Allah ada tiga: mujahid, haji, dan peserta umrah.” (HR An-Nasa’i)

Dua kali keberangkatan calon jamaah haji tertunda tersebab pandemi covid-19. Selain itu, banyak drama juga atas pembatalan keberangkatan tahun kemarin. Bahkan, keberangkatan saat ini pun diliputi polemik administrasi yang membuat beberapa calon jamaah haji gigit jari.

Padahal, daftar antre keberangkatan calon jamaah haji sampai puluhan tahun. Bagi orang yang bisa berangkat tentu akan sangat bersuka cita. Sedangkan bagi yang terhalang administrasi, pasti masih mengganjal di hati sebelum sempurna kalau belum menunaikan ibadah haji.

Jika ditelaah lebih dalam dari pelaksanaan ibadah haji, sejatinya ada makna makna yang tersirat. Ibadah haji memiliki makna yang sangat berarti, persatuan ummat Islam. Namun, persatuan di kalangan umat Islam belum terwujud. Meski pelaksanaan wukuf di Arofah pada tangga 9 Zulhijjah, kaum Muslim datang dari seluruh penjuru dunia, tidak saling kenal dan tidak saling mengerti bahasa yang digunakan, tetapi semuanya mengucapkan doa yang sama, “ya Allah Kami datang memenuhi panggilanmu, tiada sekutumu dan pujian dan kekuasaan  milikmu semata,” namun tak ada ikatan kuat yang bisa menyatukan kaum Muslim lepas ibadah haji.

Realita yang ada saat ini, ibadah haji hanya sekadar ibadah ritual. Sepulang haji, semua ummat Islam kembali terpisah oleh sekat-sekat semu nasionalisme bangsa. Persatuan dan kesatuan yang terbentuk saat pelaksanaan ibadah haji, hilang seiring berakhirnya ibadah haji tersebut. Momen persatuan ummat Islam memudar tatkala jamaah haji telah menginjakkan kaki di rumah masing-masing. Kalaupun ada kerinduan, sebatas rindu untuk ibadah ritualnya saja, bukan rindu pada persatuan dan kesatuannya.

Penyebab Haji Tak Mampu Menyagukan Ummat Islam

Dalam ibadah haji, sekat-sekat nasionalisme tidak lagi menjadi penghalang ukhuwah. Suasana persatuan dan kesatuan ummat yang berbeda negeri asalnya, beda ras, bangsa, dan bahasanya begitu akur saling menghargai dalam menjalankan ibadah, kompak dan bersatu padu dalam menunaikan kewajiban haji. Semua menjadi ummat Islam yang satu. Persatuan adalah makna yang paling utama dalam ritual haji. Semua jama’ah haji berkumpul bersama di Padang Arafah pada tanggal 9 dzulhijjah untuk mengagungkan dan menyebut asma Allah.

Persatuan dan kesatuan ummat di Haramain akan tetap terjaga hingga pulamg ke rumah masing-masing. Namun, dalam waktu satu abad terakhir hitungan kalender Hijriah, persatuan dan kesatuan ummat hanya berlaku saat melaksanakan ibadah haji saja. Saat usai dan pulang ke rumah masing-masing, suasana persatuan dan kesatuan tak tampak lagi. Ada satu faktor yang menyebabkan haji tak lagi mampu menyatukan ummat Islam, yakni ideologi kapitalisme.

Ideologi kapitalisme yang diemban oleh hampir seluruh negeri Muslim di dunia membangun benteng tebal nan kokoh antarummat Islam. Batas teritorial dan sekat nasionalisme begitu kejam meretas ukhuwah Islamiah. Lebih parah lagi, kapitalisme telah berhasil melepas ikatan negara yang menerapkan aturan Islam. Sejak Khilafah Islamiah diruntuhkan pada 1924 Masehi, ikatan demi ikatan dalam Islam terlepas. Sejak saat itulah, malapetaka menimpa ummat Islam di seluruh dunia. Ikatan ukhuwah Islamiah pun terputus diganti dengan semangat nasionalisme yang begitu individualis.

Tak ada lagi persatuan dan kesatuan ummat Islam dalam satu kepemimpinan membawa penderitaan yang tak berkesudahan. Ibadah haji tak lagi mampu membangun dan memupuk jalinan ukhuwah Islamiah yang hakiki. Kapitalisme telah berhasil memalingkan kaum Muslim dari predikatnya sebagai saudara Muslim yang lain. Adanya nasionalisme menjadikan kaum Muslim meniti kehidupan di setiap wilayahnya tanpa memikirkam nasib Muslim lain yang beda negara. Batas teritorial menghalangi kaum Muslim untuk menolong saudara Muslim lainnya yang dianiaya di negara lain.

Hilangnya syariat Islam dalam tatanan kehidupan membuat kaum Muslim terlena dengan gaya hidup Barat. Personal yang individualis, materialistis, hedonis, dan oportunis begitu melekat. Walhasil, persatuan dan kesatuan ummat Islam tak terjaga sama sekali. Ditambah penguasa Muslim juga menerapkan aturan kapitalisme yang serba permisif dan cenderung menindas kaum Muslim itu sendiri. Ibadah haji dianggap sebagai ibadah ritual semata tanpa ada upaya penjagaan atas suasana persatuan di tanah suci. Penguasa Muslim begitu mengabaikannya. Kapitalime inilah yang menyebabkan Muslim dan penguasa Muslim berpaling dari persatuan dan kesatuan Islam yang hakiki.

Dampak Ibadah Haji yang Tak Mampu Menyatukan Jamaah

Tak dimungkiri, ideologi kapitalisme benar-benar membelenggu kaum Muslim dan ajaran Islam. Ikatan ukhuwah Islamiah mampu dilepas dengan sekat nasionalisme. Ibadah haji yang seharusnya bisa menjadi momentum persatuan dan kesatuan ummat Islam, tak membekas sama sekali. Hal ini memberi dampak yang luar biasa dalam kehidupan dan peradaban Islam, antara lain:

1. Tak ada lagi koordinasi politik Internasional di Padang Arafah

Politik dalam Islam adalah riayah syuunil ummuh atau memelihara urusan ummat. Maka, padang Arafah menjadi salah satu tempat berkumpulnya penguasa dan pejabat Muslim untuk koordinasi dalam rangka riayauh syuunil ummah dan penerapan syariah secara kaffah. Sebagaimana Nabi Saw. selaku kepala negara menyampaikan khutbahnya. Selain mendeklarasikan hak-hak manusia, kemuliaan darah, harta, hari dan tanah suci Haram, sebagaimana dalam sabda baginda SAW,

“Wahai seluruh umat manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian hukumnya haram bagi kalian untuk dinodai, sebagaimana menodai keharaman hari, bulan dan negeri ini.” Nabi Saw. pun telah membatalkan seluruh praktik dan tradisi jahiliyah, mengharamkan riba dan sebagainya (As-Suyuthi, ad-Durr Al-Mantsur, Juz I/534).

Sayyaidin Umar saat menjadi khalifah juga memanfaatkan momentum haji untuk muahsabah kepada para wali dan amil atas riayahnya terhadap rakyat. Beliau meminta muhasabah dari delegasi haji ihwal walinya yang diangkat untuk melayani kepentingan mereka. Mereka pun bisa mengadukan apa saja kepada sang khalifah. Umar pun mengumpulkan para walinya dari berbagai wilayah pada musim haji (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzam Al-Hukm fi Al-Islam, hal. 180). Bahkan Khalifah Umar pernah menghukum putra Amru bin ‘Ash di musim haji, karena perlakuannya terhadap seorang qibtiy di Mesir.

Saat ini tak ada lagi koordinasi politik semacam itu. Jangankan kontrol ke tiap wilayah negeri Muslim, saat di Arafah saja sudah tak ada bekas perjumpaan politis.

2. Lenyapnya Ukhuwah Islamiah

Firman Allah SWT. dalam surah Al-Hujurat ayat 10:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

Sebnarnya sangatlah jelas pesan yang teemaktub dalam surah Al-Hujuroh ayat 10 tersebut. Seorang Muslim yang lainnya bersaudara. Bahkan Rasulullah pun mengibaratkan Muslim satu dan yang lain ibarat satu tubuh. Seharusnya, kaum Muslim bersatu dalam satu tatanan kehidupan, hidup dengan aturan syariat Islam.

Sayang berjuta sayang, momentum persatuan dan kesatuan ummat Islam saat haji tak mampu menghadirkan suasana persatuan saat di negerinya masing-masing. Meskipun tahu ada saudara Muslim di negeri lain yang tertindas, kaum Muslim akan diam saja. Kalaupun membantu hanya dengan doa, dana, dan kecaman karena merasa bukan berada di wilayahnya. Pembelaannya tak sampai mampu menghentikan penindasan dan penganiayaan terhadap saudaranya, bahkan oleh penguasa Muslim sekalipun. Jalinan ukhuwah Islamiah sangatlah lemah untuk sekadar membela dengan lantang dan mengirimkan tentara Muslim untuk menghentikan penindasan tersebut.

Dua hal inilah dampak yang dihasilkan saat ibadah haji hanya sebatas ibadah ritual. Ghiroh persatuan kaum Muslim saat pulang ke rumah masing-masing padam. Maka menjadi keniscayaan bagi kaum Muslim memahami hakikat hidup dan persatuan hakiki dalam naungan Ilahi.

Ibadah Haji yang Mampu Menyatukan Ummat dalam Kalimat Tauhid

Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam dan kewajiban agung dalam Islam. Sabda Nabi saw.:

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun atas lima perkara; kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; haji dan shaum Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari)

Ibadah haji merupakan kewajiban dari Allah SWT. atas kaum Muslim:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Ibadah haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97)

Imam Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid dan yang lainnya, tentang firman Allah, “Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,” maknanya, “Siapa saja yang mengingkari kewajiban haji sungguh telah kafir dan Allah tidak memerlukan dirinya.” (Tafsir Ibnu Katsîr, 2/84).

Kebanyakan Muslim tentulah mendambakan bisa menunaikan ibadah haji. Pelaksanaan haji memiliki banyak hikmah yang penting dan mengandung hikmah persatuan ummat Islam dalam kalimat tauhid, antara lain:

1. Haji adalah ibadah yang menunjukkan ketaatan dan pengorbanan. Hanya mereka yang kuat tekadnya yang mau berkorban untuk berhaji. Sebaliknya, mereka yang lemah keyakinan tak akan pernah mau melakukan ibadah haji sekalipun punya kelapangan rezeki dan sehat raganya. Padahal dalam hadis qudsi, Allah SWT. mengancam siapa saja yang mampu tetapi menunda-nunda berhaji dengan ancaman yang keras:

إِنَّ عَبْدًا أَصْحَحْتُ جِسْمَهُ وَأَوْسَعْتُ عَلَيْهِ فِى الْمَعِيشَةِ تَأْتِى عَلَيْهِ خَمْسَةُ أَعْوَامٍ لَمْ يَفِدْ إِلَىَّ لَمَحْرُومٌ

“Sungguh seorang hamba yang telah Aku sehatkan badannya, Aku lapangkan penghidupannya, lalu berlalu masa lima tahun, sementara dia tidak mendatangi-Ku (menunaikan ibadah haji, red.), dia orang yang benar-benar terhalang.” (HR. al-Baihaqi)

2. Ibadah haji adalah simbol tauhid. Di dalamnya, ada penegasan pengesaan Allah SWT. dan penafian sekutu bagi-Nya. Selama ibadah haji para jamaah senantiasa mengumandangkan kalimat talbiyah yang berisi seruan tauhid. Kalimat talbiyah juga berisi pengakuan bahwa seluruh kekuasaan hanya milik-Nya semata. Tidak ada pemilik yang hakiki selain Allah SWT (Ibnu Qayyim, Mukhtashar Tahzib Sunan, 2/335-339).

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ

“Aku menjawab panggilan-Mu, ya Allah. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Sungguh segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.”

Seluruh jamaah haji tak henti-hentinya memohon segala kebaikan dunia dan akhirat kepada Allah SWT. Mereka pun memohon ampunan atas segala dosa. Mereka mengetahui bahwa momen berhaji adalah saat Allah SWT. mengabulkan setiap permintaan dan mengampuni setiap kesalahan hamba-Nya.

الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ

“Orang yang berperang di jalan Allah, yang berhaji dan yang umrah adalah tamu Allah. Jika mereka berdoa, pasti Allah mengabulkan mereka, dan jika mereka meminta, niscaya Allah memberi mereka.” (HR. Ibnu Majah)

3. Berhaji juga menapaktilasi jejak bersejarah dan spiritual mulai dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as. hingga Rasulullah Saw. Kaum Muslim berkumpul di sekitar Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Mereka berdoa di Hijr Ismail dan Maqam Ibrahim, kemudian melaksanakan sa’i dari Shafa ke Marwa, sekaligus mereguk kesegaran air dari sumur Zamzam yang historis dan berkah.

Kemudian saat menginjakkan kaki ke Masjid Nabawi, tak ada satu pun jamaah haji yang tak membayangkan sosok Baginda Nabi Saw. bersama keluarga dan para sahabat. Merekalah yang bahu-membahu memperjuangkan tegaknya agama Allah dan senantiasa membela kemuliaan Rasul-Nya. Kerinduan untuk berjumpa Baginda Rasul akan membuncah tatkala jamaah sudah ada di Raudhah.

Dengan tapak tilas itu, seharusnya bangkitlah kekuatan ruhiah seorang Muslim. Muncullah semangat ibadah, perjuangan, dan pengorbanan dari tiap kaum Muslim yang telah diarahkan oleh para penguasa Muslim di tanah suci. Bukan sebatas euforia kerinduan pada Rasul saja, namun juga akan muncul kerinduan untuk berhukum sesuai dengan apa yang diterapkan Rasulullah Saw.

4. Ibadah haji juga mengajari kaum Muslim untuk mengendalikan amarah dan permusuhan; sebaliknya mengembangkan sikap ramah serta tolong-menolong kepada sesama. Di tengah cuaca panas terik, lelah dan berdesak-desakkan, para tamu Allah diminta untuk mengendalikan akhlak. Allah SWT. berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي اْلأَلْبَابِ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Siapa saja yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berbuat rafats, fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Apa saja yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah. Sungguh bekal terbaik adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)

5. Ibadah haji adalah tempat sekaligus momen meleburnya jutaan Muslim dari segenap penjuru dunia. Tak pandang suku bangsa, bahasa, warna kulit dan strata. Mereka berkumpul di Padang Arafah, di Mina, lalu melaksanakan thawaf dan sa’i, dsb secara bersama-sama. Inilah sebagian kegemilangan ajaran Islam yang mampu mengikat manusia dalam satu buhul (ikatan), yakni akidah Islam. Hal ini akan tetap tersuasanakan sampai di rumah masing-masing tatkala khalifah dan para walinya menjaga persatuan dan kesatuan ummat melalui momentum haji.

Ikatan akidah yang melahirkan ukhuwah dibangun oleh penguasa Muslim saat khutbah di Arafah akan mempererat ukhuwah Islamiah. Akidah Islam inilah yang menjadi asas hidup tiap Muslim di mana pun berada. Setiap bangsa yang memeluk Islam kemudian mengganti ikatan kesukuan dan kebangsaan mereka dengan ukhuwah Islamiah. Mereka menyambut saudara seiman sekalipun berbeda suku bangsa dalam naungan panji Islam yang berlafaz kalimat tauhid. Semua bersatu dalam ikatan akidah dan ukhuwah Islamiah, bersatu dalam naungan kalimat tauhid.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi