Fir’aun

Beberapa waktu lalu, Budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sering disapa Cak Nun, melontarkan pernyataan kontroversial. Ia, antara lain, secara jelas dan tegas menyebut Jokowi sebagai Fir’aun.

Ucapannya yang menganalogikan Jokowi sebagai Fir’aun inilah yang membuat para pendukung Jokowi dan para buzzer Istana meradang dan murka. Tentu karena julukan “Fir’aun” identik dengan penguasa otoriter, diktator dan kejam. Tak selayaknya nama itu disematkan kepada Pak Jokowi.

Namun demikian, ada juga yang menanggapi pernyataan Cak Nun tersebut dengan nada satir. Katanya, Fir’aun memang tidak pantas dianalogikan dengan Pak Jokowi, karena Fir’aun itu bukan pemimpin boneka. Fir’aun itu pemimpin independen. Ia adalah raja yang berkuasa penuh dan punya otoritas mutlak.

Namun demikian, tulisan ini ingin menanggapi pernyataan Cak Nun tersebut dari sisi lain. Sebagaimana kita ketahui, dalam sejarah yang diungkap oleh al-Quran, Fir’aun bukan sekadar raja atau penguasa. Dia pun telah mentasbihkan dirinya sebagai tuhan yang layak dan wajib disembah. Karena itu kejahatan Fir’aun bukan saja karena dia dipandang otoriter, diktator dan kejam. Namun, lebih dari itu, kejahatan Fir’aun yang sesungguhnya adalah karena klaim ketuhanannya tersebut.   Mengapa klaim ketuhanan Fir’aun ini jahat? Sebabnya, ia secara  langsung telah merebut klaim ketuhanan yang hanya layak disandang oleh Allah SWT, Tuhan Pencipta alam semesta. Dialah satu-satunya Tuhan Yang layak disembah oleh seluruh umat manusia.

Terkait dengan itu, klaim ketuhanan ini ingin saya kaitkan dengan firman Allah SWT (yang artinya): Mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah… (TQS at-Taubah [9]: 31).

Saat menjelaskan ayat ini, Imam asy-Syaukani menyatakan, “Sesungguhnya mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) menaati para pendeta/rahib mereka dalam perintah dan larangannya. Para pendeta/rahib itu menempati kedudukan sebagai ‘tuhan-tuhan’ karena mereka ditaati sebagaimana layaknya tuhan.” (Asy-Syaukani, II/452).

Penjelasan senada juga dikemukakan oleh Hudzaifah bin al-Yamani, Ibnu Abbas, dan lain-lain (As-Suyuthi, III/354-355); juga oleh ath-Thabari, az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Alusi, Ibnu Katsir, al-Baghawi, Ibnu ‘Athiyah, al-Khazin, Ibnu Juzyi al-Kalbi, dll dalam kitab tafsir mereka masing-masing.

Pengertian tersebut sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw. atas ayat ini. Dalam hal ini, Adi bin Hatim (yang saat itu masih memeluk agama Nasrani) bertutur:

Aku pernah mendatangi Rasulullah saw. dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah saw. bersabda, “Hai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu!”

Kemudian aku melemparkan salib itu. Setelah itu beliau membaca ayat: Ittakhadzu ahbaarahum wa ruhbaanahum min duunilLaah…hingga selesai. Aku berkomentar, “Sungguh, kami tidak menyembah mereka.”

Namun, beliau membantah, “Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian ikuti? Mereka pun menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, lalu kalian pun ikuti?”

Aku menjawab, “Memang benar.”

Beliau kemudian bersabda, “Itulah bentuk penyembahan kalian kepada para pendeta dan para rahib kalian.” (HR ath-Thabarani dari Adi Bin Hatim).

*****

Pembaca yang budiman, dengan mendalami ayat sekaligus penafsiran yang didasarkan pada riwayat di atas, kemudian mengaitkan makna ayat tersebut dengan realitas para pembuat hukum saat ini, kita segera menyimpulkan bahwa ‘tuhan-tuhan’ selain Allah itu kini tidak hanya para pendeta/rahib Yahudi dan Nasrani. Ke dalam barisan mereka bersekutu pula para wakil rakyat, juga penguasa, saaat ini yang terlibat dalam pembuatan hukum selain hukum yang telah Allah tetapkan.

Secara tidak langsung ayat ini sebetulnya terkait dengan keharaman berlaku ‘syirik’ (menyekutukan Allah). Ayat ini melarang manusia untuk menjadikan para rahib dan pendeta sebagai tandingan-tandingan Allah; sebagai ‘tuhan-tuhan’ selain Allah.

Dalam konteks akidah, syirik jelas dosa yang amat besar, bahkan dosa yang tidak akan pernah diampuni Allah SWT (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 48). Jika mempertuhankan pihak lain selain Allah (syirik) adalah sebuah dosa yang tidak terampuni, apalagi sikap mempertuhankan diri sendiri, seperti halnya yang dilakukan oleh Fir’aun?

Jika ‘tuhan’ adalah zat yang harus disembah, sekaligus yang memiliki otoritas untuk membuat hukum, maka Fir’aun pada masa lalu telah mentasbihkan dirinya sebagai ‘tuhan’ itu. Bagaimana dengan para wakil rakyat, juga para penguasa, dalam sistem demokrasi saat ini, yang nyata-nyata dianggap satu-satunya pihak yang memiliki otoritas membuat hukum? Setali tiga uang. Mereka hakikatnya sama dengan ‘tuhan-tuhan’ selain Allah. Mereka tak lain adalah ‘Fir’aun’-Fir’aun’ masa kini.

Memang, secara langsung mereka tidaklah disembah oleh manusia. Namun, jika penyembahan sebagaimana sabda Nabi saw. kepada Adi bin Hatim dalam hadis di atas adalah menaati hukum-hukum buatan manusia, maka para wakil rakyat (juga para penguasa) itu secara tidak langsung adalah ‘tuhan-tuhan’ yang disembah oleh manusia. Sebabnya, dalam sistem demokrasi, hukum-hukum yang mereka buat wajib ditaati oleh seluruh rakyat yang telah memilih dan mengangkat mereka.

Jika demikian, betapa besar dosa mereka yang selama ini merasa memiliki otoritas untuk membuat hukum yang harus ditaati oleh masyarakat. Padahal hukum-hukum yang mereka buat banyak bertentangan dengan hukum-hukum Allah SWT. Betapa lancangnya pula mereka kepada Allah SWT karena mereka berani membuat hukum sendiri. Padahal Allah SWT telah menetapkan hukum bagi diri mereka. Bahkan Allahlah satu-satunya yang berhak membuat hukum. Bukan mereka (QS Yusuf [12]: 40).

Jika demikian demokrasi jelas sistem syirik. Sistem ini nyata-nyata hanya menghasilkan tuhan-tuhan palsu dan “Fir’aun-Fir’aun” baru, yang menggeser kedudukan Allah SWT sebagai satu-satunya Pembuat hukum, yang layak dan wajib ditaati seluruh hukum-Nya.

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [ABI]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi