Demi Waktu

Penulis: Ustaz Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)

Waktu begitu cepat berlalu. Tahun 1443 H telah berakhir. Tahun baru 1444 H telah hadir.

Sadar atau tidak, hadirnya tahun baru sesungguhnya menandakan satu hal: jatah umur manusia yang terus berkurang.

Terkait dengan hal di atas, tentu menarik saat Allah Swt. berfirman:

والعصر. ان الانسان لفي خسر
Demi waktu. Sungguh manusia benar-benar ada dalam kerugian… (TQS al-‘Ashr [103]: 1-2).

Menurut Ahmad Muhamad asy-Syarqawi, surat yang mulia ini menjelaskan kepada kita jalan keselamatan dari kerugian dan kesuksesan meraih keridhaan Allah Swt.. Karena itulah, Imam asy-Syafii pernah berkata,

“Andai manusia merenungkan surat ini saja, cukuplah bagi mereka.” (Asy-Syarqawi, hlm. 4).

Dalam ayat di atas, setelah sebelumnya Allah Swt. bersumpah dengan waktu, Dia menyatakan dengan tegas bahwa sesungguhnya manusia benar-benar merugi. Mengapa merugi? Mengapa Allah Swt. menyatakan demikian?

Sebagaimana kita ketahui, kerugian hakikatnya adalah berkurangnya atau bahkan lenyapnya modal (Lihat: Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, II/1156; al-Fayumi, Mishbah al-Munir, I/78).

Jika rugi—sebagaimana juga dirasakan oleh para pedagang/pebisnis—adalah berkurangnya modal, lalu apa modal manusia? Apanya yang berkurang dari manusia? Modal manusia tidak lain adalah waktu yang ia miliki atau umurnya.

Inilah yang terus berkurang. Meski lahiriahnya bertambah, umur manusia hakikatnya terus berkurang setiap saat. Sebabnya, Allah Swt. telah menjatah umur setiap manusia. Tentu hanya Dia Yang Mahatahu berapa jatah umur yang Dia berikan kepada setiap manusia di dunia ini.

Saat Allah menjatah umur si fulan di dunia ini hanya 60 tahun, misalnya, dan ia telah memasuki usia 55 tahun pada akhir tahun ini, maka sebanyak itulah modal umurnya berkurang. Berarti sisa umurnya tinggal 5 tahun lagi. Tahun berikutnya modal umurnya tinggal 4 tahun lagi. Tahun berikutnya lagi modal umurnya tinggal 3 tahun lagi. Begitu seterusnya hingga modal umurnya habis saat ajal datang kepada dirinya.

Tentu, manusia mengalami kerugian saat menghabiskan umurnya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Salah seorang ulama salaf berkomentar tentang QS al-‘Ashr di atas,

“Aku mempelajari pengertian surat ini dari salah seorang penjual es yang berkeliling di pasar.”

Sebagaimana diketahui, penjual es yang berkeliling di pasar, laku atau tidak jualan esnya, tetap esnya akan habis atau terbuang. Jika laku dan esnya habis, ia akan beruntung. Jika tidak laku, esnya akan meleleh/mencair dan terbuang sia-sia. Ia pun tentu merugi.

Karena itu, kata Imam ar-Razi, manusia yang melewati waktu hingga umurnya berlalu, namun ia tak memperoleh hal-hal yang bermanfaat (berbuah pahala), maka rugilah dia.” (Lihat: Ar-Razi, Mafatih al-Ghayb, XXIII/85).

Kerugian manusia lebih besar lagi saat ia menjual akhiratnya demi memperoleh dunia. Menjual hal-hal yang abadi dengan yang fana. Menjual kemuliaan untuk mendapatkan kehinaan. Yang lebih hina lagi, dia menjual akhiratnya untuk kepentingan duniawi orang lain.

Dalam hal ini, Abu Hayan berkata,

“Siapa saja yang menjual akhiratnya demi memperoleh dunia, ia berada dalam puncak kerugian. Ini berbeda dengan seorang Mukmin karena ia justru membeli akhirat dengan menjual dunianya hingga ia memperoleh keuntungan dan kebahagiaan.” (Lihat: Abu Hayan, Bahr al-Muhith, VIII/509).

Namun demikian, tidak semua manusia merugi karena modal umurnya yang terus berkurang.

Ada manusia yang tetap beruntung meski modal umurnya habis. Siapa gerangan? Tidak lain, sebagaimana dalam lanjutan ayat tersebut:

” …Kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” (TQS al-‘Ashr [103]: 3).

Merekalah orang-orang yang berhasil mengganti modal umurnya yang terus berkurang dengan iman, amal salih dan aktivitas saling menasihati (baca: dakwah). Ketiganya bakal menghasilkan keuntungan berlipat ganda dan tak ternilai harganya berupa pahala dan surga di akhirat nanti.

Seorang Muslim sudah selayaknya memahami makna terdalam dari surat al-‘Ashr di atas. Ia mesti menyadari, bahwa modal umurnya hakikatnya merupakan ‘pinjaman’ dari Allah Swt.

Allah Swt. pasti akan meminta pertanggungjawaban manusia atas penggunaan modal umurnya yang merupakan pinjaman dari-Nya.

Saat kita kebanyakan tidur, atau ngobrol ngalor-ngidul, sering nonton hiburan di televisi, terlalu banyak bengong atau berleha-leha, terlalu banyak bermain HP/gadget, dan lain-lain, pada dasarnya kita sedang menghabiskan modal umur kita tanpa menghasilkan keuntungan apa-apa.

Kita benar-benar merugi. Kerugian menjadi lebih besar lagi saat di dalamnya kita banyak melakukan dosa seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan banyak keharaman.

Namun, cobalah kita kurangi tidur kita dengan sering bangun malam untuk salat tahajud. Isilah waktu-waktu luang kita dengan banyak membaca Al-Qur’an, berzikir, melakukan ibadah-ibadah sunah, banyak hadir di majelis ilmu, dan bergaul dengan para ulama, banyak membaca buku untuk meningkatkan tsaqafah, ngobrol yang bermanfaat,  melakukan kontak dakwah, dan lain-lain.

Pada saat demikian setiap waktu yang kita habiskan pasti mendatangkan keuntungan, terutama berupa pahala di akhirat.

Jika seorang pedagang atau pebisnis yang merugi karena modalnya terus berkurang pasti bersedih, kita tentu lebih layak lagi bersedih andai modal waktu atau umur kita yang terus berkurang lebih banyak dihabiskan untuk hal yang sia-sia, apalagi yang mendatangkan dosa.

Karena itu agar kita beruntung dan tidak merugi di akhirat,  yuk, kita manfaatkan sisa waktu atau jatah umur kita di dunia ini untuk meraih sebanyak mungkin pahala dan menjauhi sebanyak mungkin perkara yang sia-sia apalagi sampai mendatangkan banyak dosa.

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi