Dari Kuffah Hingga Konstantinopel

Oleh. H. M Ali Moeslim

Bismillahirrahmanirrahim

Pemjndahan ibu kota bukanlah perkara yang haram. Boleh-boleh saja dilakukan. Namun, tentu dengan pertimbangan yang matang, efektif, efisien, memiliki signifikasi dengan pemerintahan sederhana yang optimal dan peningkatan kesejahteraan rakyat tentu pertimbangan utamanya.

Negara Amerika Serikat pun pernah melakukan pemindahan ibu kota negara pada tahun 1790. Pemindahan ibu kota ini bertujuan untuk memisahkan pusat kegiatan pemerintahan dan kegiatan bisnis. Ibu kota Amerika Serikat berpindah dari New York ke Washington DC, hingga kini menjadi ibu kota Amerika Serikat sejak tahun 1800. Saat ini Washington DC menjadi tempat kegiatan pemerintahan Amerika Serikat. Sedangkan New York menjadi kota bisnis dan budaya, serta menjadi kota berpenduduk terpadat di Amerika Serikat.

Menilik ke belakang, kekhilafahan Islam selama kurun waktu 13 abad pernah beberapa kali berpindah ibu kota. Wilayah kekuasaan yang meliputi hampir 2/3 dunia paling tidak pernah berada atau berpindah di sepuluh kota di dunia. Pemindahan ibu kota Negara Khilafah itu tidak lain pertimbangan keamanan atau penjagaan negara dari pelaksanaan syariah Islam, efektifitas pemerintahan, optimalisasi pelayanan terhadap warga negara, dan penjagaan akan aqidah, syariah, dan dakwah sebagaimana eksistensi pemerintahan Islam.

Misalnya saja, pemindahan ibu kota Negara Islam pertama itu adalah dari Madinah pindah ke Kuffah (Iraq saat ini), Khalifah Ali Bin Abi Thalib memindahkan ibu kota dari kota Madinah ke kota Kuffah, setelah memandang sangat tidak kondusif kota Madinah, Madinah tidak memungkinkan untuk berjalan pemerintahan karena gejolak politik terbunuhnya khalifah Usman bin Affan oleh pemberontak. Sementara pemberontak saat itu mengusai Madinah secara penuh.

Jika pindah ke Kota Makkah, saat itu terjadi gejolak politik yang keras mencapai puncaknya sampai Kota Makkah dan ka’bah dilalap api. Fitnah merajalela sampai Sahabat Abdullah bin Zubair syahid di samping ka’bah. Kota Baghdad pun demikian telah dikuasai pihak yang bersengketa dari pihak Siti Aisyah. Kota Damaskus dikuasai oleh Kesultanan atau Kewalian Muawiyah bin Abi Sufyan, maka pilihannya adalah Kota Kuffah.

Begitu pula saat Baghdad sebagai ibukota kekhalifahan Islam dikuasi oleh pasukan Tar-tar Mongolia, maka setelah tiga setengah tahun kosong tanpa pemerintahan Islam, setelah kekhalifahan berdiri kembali oleh Dinasti Mamluk ibu kota negara Islam dipindah ke Cairo Mesir. Terkadang kota yang menjadi ibu kota lalu pindah, pada masa yang akan datang itu kembali pindah ke kota asal ibu kota seperti kota Baghdad.

Dalam catatan sejarah, inilah kota-kota yang pernah menjadi ibu kota kekhalifahan Islam, Kota Madinah (622-656 M, Kota Kuffah (656-661 M), Kota Damaskus (661-744 M), dan Harran (744-750 M).

Kemudian masa kekhalifahan keturunan Abbasiyah: Kota Kuffah (750-762 M), Kota Baghdad (762-796 M), Kota Raqqah (796-809 M), kembali ke Baghdad (809-836 M), kemudian Kota Samarra (836-892 M), kembali ke kota Baghdad (892-1258 M), Kesultanan Mamluk ke Kairo (1261-1517 M), kemudian ibu kota terakhir kekhalifahan Islam adalah Konstantinopel atau Istanbul (1517-1924 M).

Lalu bagaimana dengan pemindahan ibu kota negara Indonesia dari Jakarta ke daerah Penajam, Paser Utara, Kalimantan Timur? Apakah jika diibaratkan ada sebuah keluarga yang belum sejahtera, masih banyak anak yang kurang gizi, sakit-sakitan karena wabah dan pandemi, bahkan ada yang putus sekolah karena lesunya ekonomi? lalu Sang Bapak malah berutang (kredit) untuk membangun rumah mewah nan megah, bukan untuk biaya berobat atau biaya pendidikan anaknya. Disinyalir utang itu mengandung jebakan bunga yang haram dan mencekik leher. Lebih banyak memberi manfaat dan keuntungan bagi si pemberi utang daripada yang berutang.

Dalam situasi ini, maka Sang Bapak harus diingatkan agar kembali kepada visi dan misi keluarganya yang ingin meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Bukan motif gengsi dan kepentingan pribadi beserta kepentingan para kroninya tanpa memikirkan nasib anak dan keluarganya. Maka, pemindahan ibu kota ini harus atas pertimbangan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan tujuan utama bernegara dalam konstitusi negara “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum ….”

Pertanyaan selanjutnya, apakah pemindahan ibu kota begitu mendesak demi mewujudkan kesejahteraan rakyat atau kroni? Mengingat ini adalah megaproyek. Jangan sampai membebani APBN serta membebani rakyat kelak dengan berbagai pajak dan mewariskan utang kepada generasi penerus. Lebih jauh, jangan sampai menjadi proyek mangkrak Hambalang pada pemerintahan Jokowi.

Wallahu a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi