Tentu banyak dari kita yang pernah mendengar nama Laksamana Cheng Ho (Zheng He). Laksamana muslim asal Tiongkok yang memiliki armada laut yang jauh melampaui Colombus ini, bahkan memiliki tempat tersendiri di Semarang.
Ketika mengunjungi Chittagog (Bangladesh) di abad ke-15 M dan mampir ke wilayah Arakan (negara bagian Myanmar, saat ini bernama Rakhine) yang bersebelahan dengannya, Ma Huan (penerjemah armada Cheng Ho) memberikan testimoni seputar muslim Rohingya yang tinggal di sana,
“Semua penduduknya adalah Muslim. Mereka berbicara dalam bahasa Bengali dan terkadang bahasa Persia. Pun pakaian yang dikenakan oleh pemimpin negara dan kepala suku, mereka semua mematuhi aturan-aturan agama Islam”.
Ronan Lee dalam Bukunya “Myanmar’s Rohingya Genocide: Identitiy, History, and Hate Speech” berpendapat, bahwa sejarah Arakan sebagai tempat tinggal penduduk Rohingya lintas generasi, tak bisa dilepaskan dengan sejarah Islam.
Menurutnya, Islam datang pada abad ke-8 Masehi melalui jalur hubungan perdagangan yang sudah ada sebelumnya dengan Benggala (wilayah sekitar Bangladesh dan India) serta Timur Tengah.
Monique Skidmore dan Trevor Wilson menyimpulkan, bahwa Islam telah mencapai pantai Arakan semenjak 712 M melalui perdagangan jalur laut. Para sufi dari Arab dan Persia mengenalkan Islam melalui tasawuf, dan masyarakat menjadi muslim karena sukarela serta tanpa melalui invasi ke wilayah-wilayah yang telah memiliki kepercayaan lokal sebelumnya. Fenomena yang sama juga terjadi di banyak wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia.
Jejak dakwah Islam oleh para sufi di masa-masa selanjutnya, dapat ditemukan melalui keberadaan Masjid Bader Maqams di Sittwe, Hanifa Tonki dan Kaiyapui Tonki di wilayah Mayu, Babaji Shah Monayam di Ambari, dan Pir Badr Shah di wilayah Akyab.
MASA KEJAYAAN MUSLIM ROHINGYA DI ARAKAN
Armada Cheng Ho mendatangi Arakan pada 1433 M. Di masa itu, Arakan berada di bawah kekuasaan Islam melalui Dinasti Mrauk-U, yang masa kejayaannya dimulai pada 1430 M.
Pembacaan atas kisah kejayaan Islam dan pendirian dari Dinasti Mrauk-U, ternyata sungguh menarik.
Pada tahun 1406 M, kota-kota Sungai Lemro di Arakan, diserang oleh tentara Kerajaan Ava Burma. Penguasa Arakan, Narameikhla, melarikan diri dan mencari dukungan ke Kesultanan Benggala yang penguasa dan mayoritas penduduk yang muslim dan dikenal sebagai penguasa regional kawasan sekitar itu.
Selama hampir 24 tahun di pengasingan, Narameikhla dekat dengan kalangan cendekiawan muslim Kesultanan Benggala, dekat dengan sang Sultan (Jalaluddin Muhammad Shah), maupun seorang ulama bernama Nur Qutb Alam. Pada 1430 M, Min Saw Mon kembali ke Arakan dengan pasukan yang disediakan Kesultanan Benggala. Akhirnya, dia berhasil merebut kembali takhta dan mendirikan dinasti Mrauk-U.
Belum bisa dipastikan apakah Narameikhla masuk Islam atau tidak. Tapi yang jelas, pengaruh Islam sangat kuat di istananya. Sang penguasa Mrauk-U ini kemudian mengadopsi nama Muslim, Shah Solaiman (dalam bahasa Arakan disebut Minsawmon). Pada 1433 M, Sultan Solaiman Shah digelari sebagai Pattahari Quillah, namun setahun kemudian ia meninggal.
Kenapa Narameikhla yang Buddha tertarik kepada Islam? Sebagai kekuatan regional, saat itu Kesultanan Benggala berhasil menunjukkan citra baik kekuatan politik dan peradaban Islam yang pengetahuannya maju serta masyarakatnya yang berbudaya. Dr. Mohammad Yunus dalam bukunya berjudul “A History of Arakan (Past and Present)“ menyampaikan,
“Pada abad ke-13, Islam telah menaklukkan hati dan jiwa orang-orang di antara Pesisir Atlantik Afrika dan Benggala. Islam telah menyebarkan seperangkat nilai yang paling kuat. Narameikhla telah menghabiskan tahun-tahun pengasingan di istana Gaur untuk belajar ide-ide revolusioner di bidang Matematika dan ilmu pengetahuan alam yang bersama-sama dengan keyakinan Monoteistik, mendorong kesuksesan Islam”.
Sebagai balas jasa, muslim Bengali diizinkan bermukim di Arakan Utara dan Mrauk-U menjadi vasal Kesultanan Benggala. Para penguasa setelah Min Saw Mon, juga banyak menggunakan gelar Muslim. Bahasa Persia digunakan sebagai bahasa istana, dan koin emas dicetak dengan simbol lokal berbalut kalimat tauhid yang dikenal sebagai tanda keislaman.
Bagi banyak orang Rohingya, simbol-simbol ini, dan pembangunan Masjid Mrauk-U Santikan pada tahun 1430-an menjadi bukti, bahwa Arakan (khususnya di daerah Utara) pernah menjadi kerajaan Muslim.[]
Sumber dan Rekomendasi Bacaan:
Geoff Wade. “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900-1300 CE”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, 40 (2), 2009: 221-265.
Ridwan Bustaman. “Jejak Komunitas Muslim di Burma : Fakta Sejarah yang Terabaikan”, dalam Jurnal lektur Keagamaan, Vol 11, No. 2, 2013: 209-338.
Ronan Lee. “Myanmar ‘s Rohingya Genocide: Identity, History, and Hate Speech. 2021. Bloomsbury Publishing: London.