CORONNA MEREDA, BANK EMOK MERAJALELA

Bismillahirrahmanirriim

PHENOMENA bank emok sudah sangat menghawatirkan, bagaikan pandemi virus yang sangat berbahaya, sebuah praktek ekonomi mikro, metode pinjam meminjam uang dengan basic ribawi, seseorang duduk di sudut pasar dengan duduk emok, misal pinjam se juta, diterima hanya 900 ribu karena dipotong administrasi 100.000,- tapi mesti mengembalikan 1500.000,- dalam jangka waktu 10 bulan.

Duduk “emok” sendiri berasal dari bahasa sunda yang artinya berarti cara duduk perempuan lesehan dengan bersimpuh menyilangkan kaki ke belakang. Penyalur dana ini diberi nama bank emok lantaran saat terjadinya transaksi dilakukan secara lesehan dan targetnya adalah emak-emak.

Korban sudah banyak berjatuhan, sering kita saksikan “gelut” antara deptcollector dan emak emak, ada pula emak emak untuk terlepas dari tagihan membuat surat kematian agar tidak lagi ditagih, ada pula emak emak yang menginginkan malam selamanya, karena saat terbit matahari pagi, maka berdatangan para dept collector yang tidak akan pergi sebelum diberi. Saat hutang semakin menipis, maka bank emok sudah menawarkan kembali pinjaman dengan memtong “lunas” Sisa utang yang tinggal sedikit, lalu dipotong adminstrasi, begitulah jeratan bank emok bagi lingkaran setan.

Solusi mengatasi problem tersebut juga dilakukan pihak pemerintah melalui bank ber-plat merah, namun sangat disayangkan tetap saja upaya melepaskan jeratan itu dengan solusi yang juga ribawi, hanya bunganya lebih kecil yang dilabeli biaya administrasi.

Allah SWT dan rasul-NYA sangat membenci prilaku riba, sampai menyatakan bahwa yang melakukan itu berarti menyatakan atau mengumumkan perang dengan Allah dan RasulNya.

Riba dalam utang piutang dibagi dua;
yaitu riba Qard dan riba Jahiliyah. Riba Qard yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Sedangkan Riba Jahiliyah adalah Riba dari hutang yang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu bayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

Firman Allah SWT ;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Qs. Ali Imron [3]: 130)

Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)

Jangankan riba jahiliyah, yakni riba yang berlipat-lipat, riba “qard” saja sudah dilarang. Kita simak ayatnya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. al-Baqarah: 278)

Di ayat lain, Allah berfirman,

وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

“Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak mendzalimi dan tidak didzalimi.” (QS. al-Baqarah: 279).

Para ulama di masa silam juga memahami bahwa syariat tidak memberi pengecualian sedikitpun terhadap riba. sekecil apapun riba, hukumnya haram. Ka’ab al-Ahbar mengatakan,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

Satu dirham riba yang dimakan seseorang, sementara dia tahu, lebih buruk dari pada 36 kali berzina. (HR. Ahmad 21957, dan ad-Daruquthni 2880)

ayat yang disebutkan di atas, harus dipahami sesuai konteksnya. Konteks menjadi salah satu pemandu bagi kita untuk memahami tafsir ayat secara utuh. Sehingga kita tidak akan membenturkan satu ayat dengan ayat yang lain, hanya karena kita tidak paham konteks.

Dalam kitab tafsirnya, as-Syaukani mengatakan,

وقوله { أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً } ليس لتقييد النهي لما هو معلوم من تحريم الربا على كل حال، ولكنه جيء به باعتبار ما كانوا عليه من العادة التي يعتادونها في الربا

Firman Allah [أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً] “riba berlipat ganda” bukan untuk menjadi batas larangan untuk ayat haramnya riba seperti yang dipahami bahwa itu terlarang dalam semua keadaan. Namun ayat ini diturunkan terkait kebiasaan mereka ketika itu, yang mereja jadikan sebagai tradisi dalam transaksi riba. (Fathul Qadir, 1/574)

Keterangan lain disampaikan al-Alusi dalam tafsirnya,

وليس هذه الحال لتقييد المنهي عنه ليكون أصل الربا غير منهي، بل لمراعاة الواقع

Berlipat ganda itu bukan untuk membatasi larangan, sehingga asal riba itu tidak dilarang (kecuali yang berlipat). Namun untuk mengkaitkan dengan realita ketika itu. (Ruhul Ma’ani, 4/55).

Kemudian al-Alusi menyebutkan riwayat model riba di zaman Jahiliyah. Seorang bisa terkena riba, berlipat-berlipat, sampai menghabiskan seluruh hartanya. Kemudian kebiasaan ini dilarang.

Wallahu a’lam bishawab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi