Cinta Kepada Rasul

Oleh M Rahmat Kurnia |
Pada saat Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah, beliau ditemani oleh sahabatnya, Abu Bakar Shiddiq r.a.  Terkait masalah ini ada hal menarik dari apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak.  Beliau menyebutkan, sepanjang perjalanan tersebut Abu Bakar berjalan berpindah-pindah posisi.  Sesekali mengambil posisi di depan beliau, dan kadangkala di belakangnya.
Apa yang dilakukan Abu Bakar rupanya membuat Rasulullah SAW penasaran.  Beliaupun segera bertanya, “Wahai Abu Bakar, apakah gerangan yang menjadikan engkau sesekali berjalan di depanku lalu sesekali pindah berjalan di belakangku?” Abu Bakar pun menjawab serius, “Bila aku ingat orang-orang yang mengejarmu, aku berjalan di belakangmu agar aku dapat melindungimu.  Namun, ketika aku teringat pada orang-orang yang hendak menerjangmu dari depan akupun berjalan di depanmu.” Mendengar jawaban demikian Nabi Muhammad SAW melanjutkan bertanya, “Wahai Abu Bakar, jika terjadi sesuatu, apakah engkau suka hal itu menimpamu dan tidak menimpaku?” Abu Bakar menjawab tanpa ragu, “Benar.  Demi Allah yang mengutusmu dengan hak, jika ada suatu perkara yang menyakitkan maka aku lebih suka hal itu menimpaku dan tidak menimpamu.”
Ketika keduanya sampai di Gua Tsur, Abu Bakar melakukan inspeksi dulu terhadap isi gua.  Barangkali ia khawatir ada hal yang membahayakan Nabi seperti ular.  “Tunggu sebentar di tempatmu, duhai Rasulullah!  Aku akan membersihkan gua untukmu,” ujarnya.  Abu Bakar segera masuk gua lalu membersihkannya dari segala sesuatu yang dapat mengganggu.  Ketika dia ada di atas gua, ia ingat belum membersihkan dan menutup suatu lubang.  “Wahai Rasulullah, tunggu sebentar, aku akan membersihkan sebuah lubang dulu,” lanjutnya.  Setelah selesai melakukan pengamanan dalam gua Abu Bakar mempersilakan Nabi masuk, “Silakan turun, wahai Rasulullah!” Beliau pun turun ke gua.  
Sepenggal kisah di atas menggambarkan betapa cintanya Abu Bakar kepada Rasulullah Muhammad SAW.  Apa sebenarnya yang ada di benak Abu Bakar kala itu?  Ketika ditanya Nabi tentang mengapa ia melakukan hal tersebut, ia mengatakan: ”Kalau aku yang binasa, tidak akan ada apa-apa.  Sebab, aku hanyalah seorang awam.  Namun, bila engkau binasa, bagaimana dengan kaum Muslim dan masa depan Islam.  Engkau adalah inti agama ini.”  Nampak jelas, dibalik kecintaan Abu Bakar kepada Rasulullah adalah kecintaannya kepada Islam.  Seakan-akan Abu Bakar menegaskan bahwa disamping memuliakan diri Nabi, salah satu bukti penting kecintaan seseorang kepada Rasulullah Muhammad SAW adalah pembelaannya kepada Islam yang beliau bawa.  
Hal serupa merupakan karakter sahabat.  Thariq bin Shihab meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Mas’ud berkata, ”Aku bersama Miqdad bin al-Aswad pernah ikut perang Badar.  Jika aku menjadi peraih syahid, maka itu lebih aku sukai daripada terlepas darinya.  Orang itu datang kepada Nabi SAW pada saat beliau sedang berdoa bagi kehancuran kaum musyrik.  Ia pun berkata, ”Kami tidak akan mengatakan sebagaimana pernyataan kaum Musa kepada Musa nabi mereka ‘Pergilah engkau dan Tuhan-mu berperang’.  Sebaliknya, kami akan berperang di sebelah kananmu, di sebelah kirimu, di depan dan di belakangmu.  Maka aku melihat wajah Nabi SAW bersinar-sinar dan perkataannya menunjukkan kegembiraan” (HR. Bukhari).  Padahal, kata Nabi, yang disebut berperang di jalan Allah itu adalah li i’lai kalimatillah (meninggikan kalimat Allah).   Karenanya, sikap berperang dari segenap arah bersama Nabi sebenarnya dalam rangka membela Islam sekaligus Rasul yang membawanya.  Bahkan, Sa’ad pernah menunjukkan sikapnya untuk siap berperang mengorbankan nyawa sekalipun dalam menghadapi orang-orang yang mencampakkan Islam dengan cara mendustakan Rasulullah (HR. Bukhari dan Muslim).  Itulah kecintaan para sahabat, kecintaan pada Rasul yang dibuktikan dengan kecintaan, penerapan, dan pembelaan pada Islam.
Segenap kecintaan sahabat kepada Nabi berintikan kecintaan kepada Islam.  Bahkan, kecintaan isterinya pun demikian.  Kecintaan Khadijah kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah sedangkal cinta seorang isteri kepada suami, melainkan cinta seorang umat kepada Rasulullah yang diutus kepadanya sekaligus kecintaannya kepada Islam.  Ketika Nabi ketakutan saat pertama kali menerima wahyu, Khadijah malah berkata, ”O, putera pamanku, bergembiralah, dan tabahkanlah hatimu!  Demi Dia yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini.  Sama sekali Allah tidak akan mencemoohkan kau …”.  Gambaran ini pun nyata sekali dalam ungkapan Nabi tentangnya: ”Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah.  Ia beriman kepadaku ketika semua orang ingkar.  Ia mempercayaiku kala semua orang mendustakanku.  Ialah yang memberi harta pada saat semua orang enggan memberi.  Dan darinya aku memperoleh keturunan, sesuatu yang tidak kuperoleh dari istri-istriku yang lain” (HR. Ahmad).  
Kini, 1400 tahun telah berlalu.  Adakah kecintaan kepada Rasul terpatri dalam hati?  Ketika Nabi dilecehkan berulang-ulang, sudahkah kita membelanya?  Saat Islam dilecehkan dalam film fitna, ajaran-ajarannya tentang poligami, hukuman mati (qishash) dan jihad disudutkan dengan dalih bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), dimanakah pembelaan kita yang mengaku umatnya?  Kala al-Quran diputarbalikkan, adakah sikap perjuangan dan pembelaan?  Padahal, bukankah ayat demi ayat al-Quran dahulu dibela oleh Rasulullah dan para sahabat dengan pikiran, harta bahkan nyawa mereka?  Kini, saatnya kita menunjukkan cinta hakiki kita kepada Rasul dengan jalan menerapkan, memperjuangkan dan membela Islam yang beliau sampaikan![]
Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi