Oleh. Irfan Abu Naveed, M.Pd.I.
(Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Daerah Jawa Barat)
Orang yang tak tahu dan tak mau tahu dengan keterbatasan akal pikirannya adalah ciri orang yang bodoh bukan cerdas. Orang cerdas itu orang yang menyadari keterbatasan akalnya dan tahu diri dengan mencari bimbingan Allah Rabbul Izzati, Sang Pencipta Alam Semesta. Dibuktikan dengan ketundukan hawa nafsunya mengikuti bimbingan wahyu. Jika orang cerdas itu adalah orang yang berfilsafat tanpa batas, lebih baik jadi orang “bodoh” agar tak tersesat.
Coba bayangkan analoginya:
Orang yang tak tahu dan tak mau tahu dengan keterbatasan perutnya, sehingga makan sekehendak hawa nafsunya, tidak lagi memperhatikan kualitas dan kuantitas makanannya, tak lagi melihat halal haram, baik (thayyib) dan buruknya, nah kira-kira orang seperti ini orang bodoh atau cerdas?
Seperti itulah analogi orang yang berfilsafat tanpa batas, hingga “Tuhan” pun menjadi objek liarnya pikiran mereka, kian miris ketika orang yang berfilsafat tipe ini tak kelu untuk memicingkan mata dan memvonis mereka yang cerdas, sebagai orang yang tenggelam dalam norma-norma agama yang dogmatis. Padahal bukan orang cerdas yang terdogma (dalam konotasi negatif) dengan bimbingan wahyu, melainkan mereka yang berfilsafat tanpa batas, takjub dengan keterbatasan akal pikirannya sendiri, tertipu oleh dogma orang bingung untuk “berfilsafat tanpa batas”.
Maka tak aneh jika banyak oknum yang berfilsafat tanpa batas, akhirnya bingung sendiri dengan pemikirannya, “bingung” karena tak menemukan kepuasan intelektual (qalbunya), yang secara fitri lemah dan membutuhkan bimbingan Sang Pencipta. Jauhi tipe-tipe oknum seperti ini, hatta meskipun ada sebagian pandangannya yang zhahirnya seakan sejalan dengan pandangan yang kita adopsi (menurut kacamata awam yang tak jeli).
Coba perhatikan perbedaan mendasarnya:
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fâthir [35]: 28)
Allah pun berfirman mengenai orang-orang beriman dan beramal shalih:
{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ}
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 7)
Menggabungkan kedua ayat di atas, Imam Abu Bakar al-Jashshash (w. 370 H) lalu menuturkan bahwa Informasi bahwa sebaik-baiknya makhluk adalah ia yang takut terhadap Rabb-nya, dan Allah menginformasikan dalam ayat-Nya bahwa orang-orang yang berilmu di sisi Allah mereka lah yang takut terhadap-Nya, maka hasil dari dikumpulkannya dua ayat ini bahwa orang berilmu mereka adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.
Sumber : muslimahnews.com