Tsaqâfah Islam adalah berbagai pengetahuan (ma’ârif) Islam. Keberadaan akidah Islam adalah sebab (asas) dalam pembahasannya. Pengetahuan tersebut bisa mengandung topik akidah Islam, seperti ilmu tauhid; bisa juga berupa pengetahuan yang berpijak pada akidah Islam, seperti fikih, tafsir dan hadits; juga bisa berupa pengetahuan yang terkait dengan pemahaman yang terpancar dari akidah Islam, yakni berbagai pengetahuan yang menjadi syarat ijtihad dalam Islam, seperti ilmu bahasa Arab, musthalah hadits dan ushul fikih. Semuanya termasuk tsaqâfah Islam. Ini karena akidah Islam menjadi asas dalam pembahasannya.1
Sumber rujukan tsaqâfah Islam adalah al-Quran dan al-Hadis. Akidah Islam mengharuskan kita merujuk pada keduanya dan terikat dengan keduanya. Al-Quran memerin-tahkan kaum Muslim agar mengambil apa saja yang telah dibawa oleh Rasulullah saw. (Lihat: QS al-Hasyr [59]: 7). Mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul saw. tidak mungkin kecuali setelah dipahami dan dplejarai. Keberadaan pengetahuan-pengetahuan tersebut mengha-ruskan untuk memahami al-Quran dan as-Sunnah. Dari situ akan muncul berbagai macam pengetahuan Islam. Pada akhirnya tsaqafah Islam memiliki disiplin ilmu tertentu, yaitu al-Quran, as-Sunnah, bahasa, sharf, nahwu, balaghah, tafsir, hadits, mushthalah hadits, ushul fikih, tauhid dan lain-lain yang termasuk dalam pengetahuan-pengetahuan Islam.2
Kewajiban Mempelajari Tsaqâfah Islam
Mempelajari tsaqâfah Islam atau mempelajari ilmu-ilmu Islam adalah kewajiban. Dasar kewajiban tersebut adalah ayat al-Quran dan al-Hadis yang jumlahnya sangat banyak. Di antaranya firman Allah SWT:
قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٩
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS az-Zumar [39]: 9).
Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Allan al-Makki mengatakan, “Maksudnya, tidak sama kedua golongan tersebut. Pertanyaan ini disebut pertanyaan pengingkaran. Artinya adalah mengingkari.”3
Ayat di atas berbentuk pertanyaan, tetapi maksudnya adalah pernyataan, yakni bahwa kedua golongan tersebut tidak sama. Ini sama dengan mengingkari kesamaan. Ayat ini menunjukkan keutamaan ahli ilmu dan mempelajari ilmu.
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ ١١
Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu di antara kalian beberapa derajat (QS al-Mujadilah [58]: 11).
Ibnu Allan menjelaskan ayat di atas, “Yarfa’ilLâh alladzîna âmanû minkum, yakni dengan ketaatan mereka kepada Rasulullah saw.; walladzîna ûtû al-‘ilma darjât, yakni Allah meninggikan derajat para ulama secara khusus karena mereka menggabungkan ilmu dan amal.”4
Adapun dalil as-Sunnah di antaranya sabda Rasulullah saw.:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقاً يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْماً،سَهَّلَ الله لَهُ طَرِيقاً إِلَى الجَنَّةِ
Siapa saja yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah pasti memudahkan bagi dia jalan ke surga (HR Muslim)
Maksud ilmu dalam hadis di atas adalah ilmu yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah SWT. Ibnu Allan berkata, “Maksudnya, ilmu yang mendekatkan kepada Allah.”5
Oleh karena itu, ilmu yang bermanfaat dan dapat mengantarkan ke surga adalah ilmu yang membuat pemiliknya semakin dekat dan takut kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ ٢٨
Sungguh yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama) (QS Fathir [35]: 28).
Pada konteks inilah Imam al-Ghazali mengatakan, “Ketahuilah bahwa ilmu yang tidak menjauhkan kamu dari maksiat dan mendorong kamu untuk beribadah pada hari ini tidak akan bisa menjauhkan kamu dari api neraka esok hari.”6
Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa kebaikan ada pada ilmu. Orang yang mendapat ilmu berarti mendapat kebaikan. Sebaliknya, orang yang terhalang dari ilmu berarti terhalang dari kebaikan. Misalnya sabda Rasulullah saw.:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ في الدِّينِ
Orang yang akan dikehendaki kebaikan oleh Allah akan diberikan pemahaman agama (HR Muttafaq ‘alayh)
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang tidak belajar memahami kaidah-kaidah ilmu agama Islam dan cabang-cabang yang berkaitan dengannya berarti ia telah terhalang dari kebaikan.
Orang yang tidak tahu ilmu agama tidak akan disebut berilmu atau pencari ilmu. Ia layak disebut sebagai orang yang tidak mendapat kebaikan. Dari situ terdapat keterangan yang jelas tentang keutamaan ulama dibandingkan orang biasa, juga keutamaan belajar ilmu agama dibandingkan ilmu-ilmu lain.7
Belajar Sebelum Memimpin
Islam mendorong umatnya agar belajar Islam sejak dini. Ada sebuah pesan indah yang disampaikan oleh Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah berpesan:
تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا
Belajarlah kalian sebelum kalian diangkat menjadi pemimpin”8
Pesan ini diabadikan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahîh-nya. Lalu beliau menambahkan:
وَبَعْدَ أَنْ تُسَوَّدُوا وَقَدْ تَعَلَّمَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي كِبَرِ سِنِّهِمْ
Juga setelah diangkat menjadi pemimpin. Dulu para Sahabat Nabi saw. pun belajar di usia tua.9
Maksudnya, belajarlah ilmu-ilmu Islam, baik sebelum maupun setelah menjadi pemimpin. Maksud Sayidina Umar adalah belajarlah sebelum disibukkan dengan urusan kepemimpinan. Sebab, orang yang disibukkan dengan urusan kepemimpinan akan semakin sulit meluangkan waktu untuk belajar ilmu agama. Adapun maksud Imam al-Bukhari adalah belajarlah meskipun sudah menjadi pemimpin. Jangan segan untuk datang ke majelis ilmu meskipun sudah menjadi pemimpin. Demikian juga jika sudah tidak lagi menjadi pemimpin, jangan malu untuk kembali ke majelis ilmu.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Maksud al-Bukhari menambahkan pesan ‘dan setelah menjadi pemimpin’ adalah untuk menjelaskan bahwa ucapan Umar tidak boleh dipahami sebaliknya. Ia khawatir ada orang yang memahami bahwa menjadi pemimpin berarti berhenti dari belajar ilmu agama. Jadi yang dimaksud Umar hanyalah kepemimpinan berpeluang besar menjadi sebab penghalang dari belajar ilmu agama. Sebab, seorang pemimpin bisa jadi merasa malu (gengsi) untuk duduk di majelis para santri.”10
Abu Ubaid dalam kitabnya, Gharîb al-Hadîts, menafsirkan ucapan Umar ra. dengan menyatakan, “Maknanya adalah belajarlah ilmu agama ketika kamu masih kecil (muda) sebelum kamu menjadi pemimpin lalu rasa gengsi menghalangimu belajar dari orang yang berada di bawahmu sehingga kamu pun tetap menjadi orang bodoh selamanya.”11
Harus Mendalam
Tsaqâfah Islam harus dipelajari secara mandalam. Dengan begitu bisa dipahami hakikatnya dengan pemahaman yang benar. Sebabnya, tsaqâfah Islam bersifat fikriyyah (pemikiran), mendalam, mengakar serta memerlukan kesabaran dan keteguhan dalam mempelajarinya.12
Mengkaji tsaqâfah Islam merupakan aktivitas berpikir yang membutuhkan pengerahan seluruh upaya (pemikiran). Hal itu memerlukan pemahaman yang menyeluruh, juga membutuhkan pemahaman tentang faktanya serta kaitannya dengan berbagai informasi yang dapat memberikan pemahaman terhadap fakta tersebut. Karena itu prosesnya harus dengan cara talaqqiy[an] fikriy[an] (pemikiran yang disampaikan melalui perjumpaan).
Seorang yang belajar tsaqâfah Islam harus meyakini apa yang sedang dia pelajari agar dia bisa amalkan. Seorang yang mempelajari tsaqâfah Islam juga harus bersifat praktis dalam rangka memecahkan problem kehidupan.
Inilah metode Islam dalam belajar tsaqâfah Islam, yaitu mendalam dalam pembahasan, meyakini apa yang dipelajari, serta mengambilnya secara praktis untuk diterapkan dalam kancah kehidupan.
Ketika metode ini dijalankan dalam proses pembelajaran maka seorang Muslim yang memiliki tsaqâfah Islam berdasarkan metode tersebut akan mendalam pemikirannya, peka perasaannya dan mampu memecahkan segala problematika kehidupan. Metode ini mampu menjadikan seorang Muslim berjalan menuju kesempurnaan dengan penuh ketaatan dan kepasrahan.
Karena itu dia menerjuni petualangan kehidupan dalam keadaan (mempunyai) bekal dengan sebaik-baiknya perbekalan, yaitu pemikiran yang cemerlang, takwa dan pengetahuan yang dapat menuntaskan segala problematika kehidupan.13
Tidak Boleh Lalai
Al-Hafizh al-Mundziri dalam At-Targhîb wa at-Tarhîb dalam Kitâb al-‘Ilm Bâb at-Tarhîb min Katm al-‘Ilm, juga Al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawâ’id Kitâb al-‘Ilm Bâb Ta’lîm Man Lâ Ya’lam,14 menyebutkan hadis riwayat Imam ath-Thabarani dari Alqamah bin Saad bin Abdurrahman bin Abza, dari ayahnya, dari kakeknya, tentang celaan bagi kaum yang meninggalkan mengajarkan ilmu. Hadis yang sangat panjang tersebut menceritakan celaan Rasulullah saw. kepada kaum Asy’ariyyun yang tidak memahamkan orang di sekitarnya, tidak mengingatkan mereka, tidak menyuruh kepada yang makruf, dan tidak mencegah kemungkaran.
Al-‘Allamah Musthafa az-Zarqa dalam kitabnya Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Aam, ketika mengomentari hadis tersebut, mengatakan bahwa penyikapan yang tegas atas kelalaian dari aktivitas mengajar dan mempelajari ilmu merupakan kejahatan sosial (jaraimah ijtima’iyyah). Pelakunya pantas mendapatkan hukuman di dunia. Ini merupakan sikap yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah baik sebelum Nabi saw. maupun setelahnya.
Termasuk dalam perbuatan kemungkaran dan berhak mendapatkan hukuman ta’zîr atasnya adalah sikap menelantarkan kewajiban-kewajiban agama. Di antaranya adalah mengajarkan dan mempelajari ilmu. Jika orang berilmu sudah melalaikan kewajiban mengajarkan ilmu dan orang bodoh sudah lalai dari mempelajari ilmu syar’i yang wajib dipelajari, maka keduanya berhak mendapatkan hukuman ta’zîr karena kelalaian tersebut.15
Bahkan Imam an-Nawawi dalam kitabnya Riyazdh ash-Shâlihîn membuat sebuah bab “Keutamân Ilmu: Belajar dan Mengajarkan-nya”. Ibnu Allan menjelaskan dalam kitabnya, Dalîl al-Fâlihîn, bahwa yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu agama (al-ilm al-syar’i), yaitu hadis, tafsir, fikih dan alat-alatnya. Allah SWT berfirman:
وَقُل رَّبِّ زِدۡنِي عِلۡمٗا ١١٤
Katakanlah (wahai Muhammad), “Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS Thaha [20]: 114).
Ayat ini termasuk dalil terbesar yang menunjukkan keutamaan ilmu, belajar dan mengajarkannya. Sebab, Rasulullah saw. tidak pernah diperintahkan meminta tambahan kepada Tuhannya kecuali tambahan ilmu.
Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. selalu berdoa:
اللَّهُمَّ انْفَعْ نِي بِمَا عَلَّمْتَ ني وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُ نِي وَزِدْنِي عِلْمًا
Ya Allah, jadikanlah ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku bermanfaat bagiku. Ajarkanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat bagiku. Tambahkanlah kepadaku ilmu (HR Ibnu Majah)
Alhasil, jika ada pernyataan “mempelajari agama tidak perlu mendalam”, maka dapat dipastikan itu adalah pernyataan bodoh dan membodohi serta menghendaki langgengnya kebodohan. Pernyataan tersebut seharusnya tertolak dengan sendirinya.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwaab. [Yuana Ryan Tresna]
Catatan kaki:
1 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hlm. 265.
2 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, hlm. 265.
3 Lihat Muhammad bin Allan al-Shidiqi al-Makki, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh al-Shalihin, juz 4, hlm. 130.
4 Lihat Muhammad bin Allan, juz 4, hlm. 130.
5 Lihat Muhammad bin Allan, juz 4, hlm. 160.
6 Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, hlm. 40.
7 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, juz 2, hlm. 150.
8 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.
9 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.
10 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.
11 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.
12 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, hlm. 266
13 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, hlm. 269.
14 Lihat al-Mundziri, al-Targhib wa al-Tarhib, juz 1, hlm. 86; al-Haitsami, Majma’ al-Zawa’id, juz 1, hlm. 64. al-Suyuthi menyebutkannya dalam al-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Qur’an bi al-Ma’tsur, juz 2, hlm. 301.
15 Lihat Musthafa al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, juz 2, hlm. 641.