Apakah Allah Memerintahkan?

Oleh. K.H. M Ali Moeslim

Bismillahirrahmanirrahim

Mungkin bagi para mukimin Makkah, memandang masjid Haram, Ka’bah, dan meminum air zam zam itu biasa. Jangankan bagi yang baru pertama kali, bagi sebagian pembimbing haji dan umroh saja, terhalang dua tahun tidak bisa menginjakkan kaki di Makkah karena terhalang pandemi virus Corona, rasanya luar biasa.

Sesaat berada di pelataran masjid Haram Baitullah, masjid yang berada mengelilingi Ka’bah, hati ada yang semringah, rasanya di tengah cuaca panas, namun semilir udara sejuk meniup relung-relung dada.

Teringat juga dengan besarnya pahala menjalankan shalat di dalamnya. Rasulullah saw. bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ

“Sholat di masjidku ini (masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 salat di masjid yang lain kecuali al-masjid Al-Haram. Dan salat di al-masjid Al-Haram lebih baik dari 100 ribu salat di masjid yang lain.”

Masjid Haram Baitullah dibangun pertama kali pada tahun 692, telah mengalami sejumlah proyek renovasi, dari masa ke masa. Proyek demi proyek pembangunan dan renovasi dilakukan oleh penguasa Kota Makkah yang berbeda-beda.

Pada akhir abad ke-8, pilar masjid yang terbuat dari kayu, diganti dengan pilar marmer. Sayap-sayap bangunan masjid juga diperlebar dan ditambah dengan pembangunan sebuah menara masjid. Seiring kian bertambahnya jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia, pilar marmer dan tiga menara tambahan pun dibangun.

Tahun 1957, Sultan Selim II dari Kekhalifahan Ottoman menugaskan arsitek ternama Turki, Mimar Sinan merenovasi masjidil Haram. Sinan mengganti atap masjid yang rata dengan kubah lengkap dengan hiasan kaligrafi di bagian dalamnya. Sinan juga menambah empat pilar penyangga tambahan yang disebut-sebut sebagai rintisan dari bentuk arsitektur masjid-masjid modern.

Penulis sebagai pembimbing sebenarnya menahan diri untuk tidak keluar air mata saat memasuki pintu masjid Haram dan sudah tampak Ka’bah. Umumnya, para jamaah mulai terisak sambil berdo’a, “Allahumma zid hadzal bait tasrifan ….” Namun, kali ini pertahan itu jebol juga, mungkin karena dua tahun sudah tidak dapat melihat langsung bangunan Ka’bah.

Apalagi saat setelah shalat Sunnah Thawaf di belakang Maqam Ibrahim, lalu berdo’a diarahkan ke Multazam, kembali air mata ini tidak bisa dibendung, bahkan lebih deras.Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya dalam setiap hari, siang dan malam, seratus dua puluh rahmat Allah Swt. turun di atas Ka’bah ini. Enam puluh di antaranya untuk orang-orang yang thawaf, 40 untuk orang-orang yang salat, dan 20 untuk orang yang memandanginya.”(HR Ibnu Ady dan Baihaqi)

Teringat bagaimana ucapan Siti Hajar, istri Nabiyullah Ibrahim as sesaat setelah ditempatkan oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah Swt. di sebuah lembah yang tandus dan sepi, yakni Bakkah atau Makkah. Siti Hajar mengikuti Nabi Ibrahim yang hendak pergi sambil berkata, “Wahai Ibrahim, engkau hendak pergi ke mana? Apakah engkau hendak pergi meninggalkan kami sementara di lembah ini tidak ada seorang pun manusia dan tidak ada makanan sama sekali?”

Pertanyaan Siti Hajar diucapkan berkali-kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak menoleh dan tidak pula menjawab, hingga akhirnya Hajar berkata kepada sang Nabi, “Apakah Allah memerintah-kan hal ini kepada mu?”

Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar kemudian berkata, “Jika demikian, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Setelah itu, Hajar tak bertanya lagi.

Ibrahim terus pergi hingga ketika beliau sampai di Tsaniyah, yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang, beliau segera menghadap kan wajahnya ke Baitullah.

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekillah mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)

Sebelum naik ke bukit Shafa untuk sa’i, kami sempatkan meminum air yang paling baik di muka bumi, sambil memandang Ka’bah dan berdoa, “Allahumma Inna nas’aluka Ilman naafian, wa rizqan waasyi’an wa syifaa’an min qulli dza wa tsaqam.” (Artinya: “Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas, dan kesembuhan dari tiap penyakit dengan rahmat-Mu).

Wallahu a’lam bishawab.

Makkah, 19 Oktober 2022

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi