AKAL DAN KEMASLAHATAN

Bismillahirrahmanirrahim

BENARKAH aspek kemaslahatan mempunyai tempat dalam penentuan hukum syariat ataukah sebaliknya, syariat lah yang menentukan ada dan tidaknya aspek kemaslahatan? Paling tidak pertanyaannya adalah apakah kemaslahatan menjadi pertimbangan atau menjadi pijakan dalam menentukan hukum syariat Islam?

Kemaslahatan pada dasarnya adalah diperolehnya manfaat dan terhindar dari kerusakkan (Jalbu manaafi wa daf’ul mudhirrah). Lalu otorotas siapa menentukan katagori sesuatu itu maslahat dan sesuatu itu madharat?

Jika akal manusia dibiarkan memiliki otoritas menentukan kemaslahatan, padahal sejatinya akan itu memiliki kemampuan yang terbatas, pastilah ia tidak akan mampu menjangkau hakikat, karena akal itu adalah potensi kehidupan yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk memahami hakikat manusia, bukan penentu hakikat itu sendiri. Satu satunya Dzat yang memahami hakikat manusia hanyalah Pencipta manusia yakni Allah SWT.

Manusia dapat saja menentukan suatu perkara itu maslahat atau madharat, namun tidak mungkin menetukannya secara pasti, padahal saat menentukan kemaslahatan berdasarkan asumsi atau klaim akan menyeret manusia kepada jurang kehancuran. Sebab adakalanya manusia mengira suatu perkara itu terkandung di dalamnya kemaslahatan, pada akhirnya terbukti menimbulkan kemadharatan, begitu pula sebaliknya. Belum lagi aspek keterbatasan akal manusia itu juga tidak bisa mengantisipasi perubahan waktu dan juga perbedaan tempat, kemaslahatan pasa masa lalu belum tentu maslahat untuk saat ini, kemaslahatan satu suku atau wilayah tertentu belum tentu dikatakan maslahat bagi suku atau wilayah yang lainnya.

Allah SWT berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Oleh karena itu kemaslahatan yang ditentukan oleh akal manusia pastilah bersifat asumstif dan relatif, berbeda jika penentuan maslahat itu berasal dari Allah SWT, ia bersipat pasti dan absolut.

Menentukan suatu perkara itu maslahat atau madharat itu otoritas syariat semata, syariatlah yang dapat menentukan hakikat kemaslahatan tersebut, karena kemaslahatan tersebut adalah untuk kemaslahatan bagi manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia yang mempunyai kebutuhan jasmani dan kebutuhannya, serta pemenuhan tuntutan naluri yang sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri.

Karena itu yang mesti dilakukan akal adalah sekadar mencerap suatu realitas (ikhsaas) sebagaimana apa adanya, kemudian memahami nash syariat mengenai realitas tersebut (idraaq), selanjutnya menerapkan nash tersebut pada realitas yang dimaksudnya sesuai dengan substansi perkara (manath).

Jika relevan atau sejalan, pastilah ada kemaslahatan yang diraih jika ditetapkan, sebaliknya jika ditinggalkan memang disitulah ada kemadharatan, intinya ukuran kemaslahatan atau kemadharatan yang dinyatakan oleh syariat tadi dapat diketahui setelah hukum Allah atas realitas tersebut diketahui dan dijalankan atau diterapkan.

Muhamad Isma’il dalam buku al Fikri al Islami, 1958, menjelaskan Maslahat artinya identik dengan manfaat (utility), yaitu suatu kemampuan yang terdapat pada benda (barang) atau perbuatan (jasa) untuk memenuhi kebutuhan manusia. Maslahat bukan dalil syar’i atau sumber hukum. Posisi maslahat jika dikaitkan dengan suatu ketetapan hukum syara’, dirumuskan dalam kaidah : haitsuma yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah (di mana ada penerapan syariah, maka di sana akan ada maslahat). Itulah yang benar, bukan “wujidat al-maslahah fa tsamma syar’ullah (dimana ada maslahat maka di sana ada hukum Allah).

Kesimpulannya bahwa kemaslahatan yang hakiki pada dasarnya pada dasarnya adalah kemaslahatan yang ditentukan oleh syariat, bukan ditentukan oleh akal manusia yang serba relatif ini. Penting dipahami dan diyakini oleh kita sebagai muslim adalah bahwa pelaksanaan syariat dalam segala aspek kehidupan pasti mengandung maslahat, dengan istilah lain di mana ada suatiat, di situ pasti ada maslahat.

Wallahu a’lam bishawab

H. M. Ali Moeslim

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi