Tirto.id melansir sebuah berita dengan judul: “Menag Luncurkan Institute For Humanitarian Islam, “. Tirto.id merilis bahwa “Menteri Agama, Nasaruddin Umar, telah meresmikan Institute For Humanitarian Islam di Hotel JW Marriot, Jakarta Selatan, Senin (4/11/2024).
Untuk melihat apa sebenarnya di balik tujuan peresmian institut tersebut dalam konteks politik, sosial, dan keagamaan di Indonesia saat ini tentu perlu melihat dua aspek terkait.
Pertama, dari segi siapa tokoh-tokoh yang ada di balik institut tersebut dan sepak terjangnya selama ini?
Ada empat tokoh yang nampak dan keberadaan mereka dapat menggambarkan institut tersebut; Nasaruddin Umar (Menteri Agama saat ini), Yaqut Cholil Staquf (Mantan Mentri Agama), Yahya Cholil Staquf (Ketua PBNU), dan Abdurrahman Al-Khayyat (Direktur Eksekutif Rabithah ‘Alam Islami untuk Indonesia).
Sepak terjang tiga tokoh yang pertama di atas, sudah sangat nampak, tak samar lagi. Tiga tokoh di atas selama ini mengusung pluralisme dan moderasi beragama. Juga getol mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, dan di saat yang sama anti gerakan Islam yang mengarah kepada penegakan Islam sebagai sistem kehidupan dan tata kelola negara dan pemerintahan.
Sudah maklum pula bagaimana jejak sikap mereka terhadap zionis Israel, bahkan saat terjadi genosida terhadap kaum Muslim di Gaza, salah seorang dari tiga tokoh tersebut masih menjalin hubungan mesra dengan salah satu pihak yang memiliki afiliasi dengan Zionisme, seperti yang viral beberapa waktu lalu.
Artinya, saat Nasaruddin Umar mengatakan “Semoga peluncuran institut yang kita lakukan pada hari ini akan mengangkat indeks kualitas keberagaman, kualitas kemanusiaan kita semuanya, khususnya bangsa Indonesia,” kita justru kembali mempertanyakan keberagaman apa yang dia maksud, dan kualitas kemanusiaan seperti apa yang dia inginkan? Kita jadi bertanya, apa maksud kata-kata manis tersebut?
Sementara itu, saat Yaqut Cholil Staquf mengatakan: “Inisiatif ini merupakan langkah penting dalam upaya kita untuk mendorong pemahaman, kasih sayang, dan aksi dalam menghadapi tantangan kemanusiaan yang mendesak di dunia kita,” kita semakin penasaran apa di balik kata-kata bermadu ini?
Begitu juga dengan pernyataan Ketum PBNU “Mudah-mudahan nanti ini akan mewujudkan peradaban global yang sungguh-sungguh adil dan harmonis,”.
+++
Kedua, dari segi ide yaitu Humanitarian. Humanitarian atau kemanusiaan dapat kita sebut sebagai falsafah pemikiran yang berfokus pada nilai kehidupan manusia. Humanitarianisme juga dapat diartikan sebagai sikap simpati, moral kekerabatan, dan tanpa pamrih yang ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Filsafat kemanusiaan atau humanitarian adalah paradigma yang berpusat pada nilai-nilai kehidupan manusia.
+++
Memang Humanitarian sebenarnya memiliki titik perbedaan dengan antroposentrisme, yang pada intinya secara ringkas, humanitarianisme lebih fokus pada upaya untuk membantu sesama manusia dalam kondisi kesulitan. Sedangkan antroposentrisme adalah pandangan yang menganggap manusia sebagai pusat dari nilai dan perhatian dalam hubungan dengan alam dan makhluk hidup lainnya.
Namun, kedua filsafat tersebut memiliki hubungan dan irisan, di mana humanitarian selama ini sering berdiri di atas landasan antroposentrisme.
+++
Sementara itu, filsafat antroposentrisme tak jarang, bahkan niscaya berbenturan dengan agama (baca: Islam, akidah dan syariahnya). Sebab, antroposentrisme meniscayakan kebebasan manusia untuk memilih dan berbuat; baik dalam tataran teori maupun praktek.
Sehingga, pada gilirannya, filsafat ini tidak jarang menggeser akidah seorang Mukmin yg meyakini bahwa Allah-lah pusat, sentral, dan ukuran bagi segala perkara (Markiziyyah Allah) .
Di atas filsafat “Markiziyyah al-Insan” inilah lahir segala model kebebasan, hak asasi manusia, kebebasan beragama, termasuk Demokrasi dan segala turunannya.
Sebuah masyarakat yang mengimani filsafat antroposentrisme tentu akan menolak untuk hidup di bawah sistem Islam, hidup dengan landasan akidah, pemikiran, dan syariat Islam.
Maka, dapat diduga kuat bahwa ide humanitarian akan semakin mengokohkan Sekularisme, kebebasan, kesetaraan agama, pluralisme dan moderasi beragama.
Wallahu a’lam.
Trawas Mojokerto
081124