Selembar Baju Beragam Makna

Oleh : Hesti Rahayu

Sejak zaman dahulu kala, baju, pakaian, selalu dimaknai secara simbolis. Sebagai penanda kedudukan, status sosial, dsb.
Dikutip dari buku “Outward Appearances : Trend, Identitas, Kepentingan” (Nordholt (Ed.), LKiS, 2005) penjajah Belanda di masa lalu misalnya, memaknai baju gamis dan jubah serta turban sebagai penutup kepala bagi pria muslim sebagai “pakaian perang”.
Persepsi ini muncul karena Belanda seringkali dihadapkan pada kaum muslimin yang menentang penguasa Belanda kala itu. Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Imam Bonjol di Sumatera Barat, disebut Belanda “meninggalkan pakaian tradisional dan memilih pakaian Arab”. Gaya ini merupakan salah satu cara berpakaian perang. Begitu menurut mereka.
Akibatnya di masa itu, Belanda menganggap para pemimpin muslim ketika mereka memilih memakai pakaian muslim yang khas, menjadi sinonim dengan penghasut. Bahkan zaman itu pemerintah Belanda menyebarkan kebijakan “fobia haji” untuk membatasi pengaruh mereka, hanya karena para haji yang sekembalinya dari Mekkah banyak yang memilih mengubah penampilan berpakaian mengadopsi gaya tanah suci.
Begitulah zaman penjajahan Belanda. Mereka berkepentingan besar untuk melanggengkan kekuasaannya. Karena memadamkan pemberontakan tentu menguras biaya dan tenaga. Maka sedih sekali dan sungguh heran jika beberapa waktu lalu ada seseorang yang meributkan pakaian sosok tokoh kartun yang dituduh “radikal”. Padahal se-cute itu…masa sih radikal?
Lah…emang ini di zaman apa? Apa zaman penjajahan Belanda? Kok masih ada orang fobia dengan penampilan yang dianggap “kearab-araban”?
Hari gini sudah bukan saatnya lagi bercuriga hanya karena busana. Apalagi jika tiada keharaman dalam pemakaiannya. Beda kalo alasannya bukan karena takwa.
Islam telah memberi tuntunan bagaimana seorang muslim berpakaian. Kalam Allah dalam Al Qur’an dan hadits Rasul tuntunannya.
Islam agama yang adil bahkan konsep berpakaian muslim itu membebaskan dan menyetarakan. Karena Islam menghargai esensi, bukan atribut. Sehingga selama menutup aurat dengan sempurna, tidak menyerupai baju ritual agama lain, tidak mengandung hadharah selain Islam, maka tak masalah mau jubah atau sarung. Baju koko, gamis, atau kemeja.
Lebih jauh lagi, dalam Islam, pakaian seorang nabi tak beda dengan umatnya.
Di masa Khulafaur Rasyidin, meski beliau khalifah, tak beda dengan rakyatnya.
Bahkan dalam pakaian seorang muslimah, kesederhanaan adalah konsep utamanya. Menyembunyikan perhiasan dan meniadakan riasan wajah jadi kewajiban. Tak peduli kaya atau miskin, istri pejabat ataupun rakyat jelata.
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S. al-A’raf: 27).
Dari Mu’adz bin Anas ra, sesungguhnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa tidak berpakaian mewah karena tawadhu’ (rendah hati) kepada Allah padahal dia mampu membelinya, kelak pada hari kiamat Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk untuk disuruh memilih pakaian iman yang mana yang ingin dipakainya.” (HR. Tirmidzi).
Tirmidzi berkata, hadits ini derajatnya hasan.
Wallahu a’lam bisshowwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi