Sedih dan Bahagia Menyatu dalam Rasa

Oleh. Afiyah Rasyad

Duhai, betapa tak sedih hati ini. Umat muslim kini memulai Ramadhan di hari yang berbeda. Padahal, bulan sebagai satelit bumi itu sama. Selisih waktu pun tak sampai seharian. Ditambah lagi, sesama muslim itu bersaudara.

Memang bukan wewenangku untuk memaksa yang lain mengikuti dalil syar’i rukyat hilal. Namun, bukankah puasa Ramadhan itu wajib. Lantas jika sudah 1 Ramadhan tak berpuasa karena memulainya di tanggal 2 Ramadhan, tidakkah berdosa? Apalagi anak-anak mengihsas bahwa ada beda dalam awal puasa.

Setelah penjelasan seserhana terkait rukyat hilal. “Mi, kenapa Mas Alvin belum puasa?” Ya, putra sepupuku yang kelas 4 belum berpuasa. Mayoritas tetangga juga tak berpuasa. Wajar jika mereka bertanya. Kini, dengan rasa sedih ku jelaskan pada mereka kenapa bisa beda. Tentu dengan bahasa sederhana.

“Mereka besok puasanya, Nak. Karena mereka hanya ikut rukyat hilal di Indonesia saja,” jawabku hati-hati.

Entah kenapa air mata tak bisa kompromi, mendung di langit, hujannya berpindah ke pipi. Anak sulungku menatap penuh tanya. “Kau akan paham suatu saat, Nak.” Batinku meronta. Aku lanjutkan aktivitasku. Sementara anak-anak menyelelesaikan Home Ramadhan Activities dan menyelesaikan tugas Jurnal Ramadhan sekolah.

Benakku terus mengangkasa pada sebuah rasa. Sedihku masih berkelana dalam denyut bahagia. Kenapa harus beda? Tentu hal ini bukan semata perkara teposeliro, tapi lebih pada siapa yang sanggup menyatukan umat Islam? Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia.

Sedih dan bahagiaku menyatu dalam bongkahan rasa. Betapa egoisnya manusia saat aturan Allah SWT dan Rasul-Nya ditinggalkan begitu saja demi remah-remah kuasa. Umat Islam dibiarkan dengan interpretasi masing-masing, padahal meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja adalah dosa dan harus menggantinya.

Rasaku terus berkecamuk. Selama ini, perbedaan tanggal 1 bulan-bulan Hijriyah sering kali beda. Sejak aku mengkaji Islam secara kaffah, perbedaan itu dianggap biasa oleh para punggawa. Punggawa yang seharusnya menyatukan pandangan dan perbedaan, justru membuka lebar perbedaan itu. Ah, mungkin curhatku ini terlalu klasik melebihi alunan musik klasik. Sungguh, aku sangat merasakan bagaimana pentingnya sosok imam atau khalifah yang mampu melebur perbedaan.

Ketiadaannya kini membuat umat Islam berjalan sendiri-sendiri. Bahkan, ada semacam upaya diskriminasi bagi siapa saja yang menghendaki aturan kehidupan sesuai nash syar’i. Maka, aku sangat sedih jika kemudian awal Ramadhan berbeda dan dibiarkan begitu saja. Keberadaan imam atau khalifah ini yang akan menyatukan kaum muslim sedunia nantinya. Ada kaidah syara’:

أمر الإمام يرفع الخلاف

“Perintah imam (khalifah) menghilangkan perbedaan.”

أمر السلطان نافذ ظاهرا وباطنا
“Perintah sulthan (khalifah) berlaku zahir maupun bathin.”

Kesedihan terus berlipat dalam gugusan rasa. Namun, bagaimanapun aku tetap bahagia dengan hadirnya Ramadhan. Meski rasa sedih melanda, aku tetap bersuka cita menyiapkan buka dan sahur untuk keluarga.

Day 2 Ramadhan 1443H

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi