PPN Resmi Naik, Rakyat Menjadi Tumbal

Oleh. Lilie Herny
(Aktivis Muslimah)

Lagi dan lagi rakyat dibuat kecewa dan sakit hati, lantaran pemerintah resmi menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) pada tanggal 1/4/2022. Meskipun banyak penolakan, kebijakan yang putuskan pemerintah dan DPR akhirnya disahkan.

Kebijakan kontroversial ini mendapat penolakan dari masyarakat, tidak terkecuali dari ekonom senior Faisal Basri. Alasan utamanya karena tidak adanya unsur keadilan yang selama ini digembar-gemborkan oleh menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajarannya.

Keadilan yang dimaksud adalah ketika PPN naik 11%, tetapi di saat yang sama, pajak penghasilan (PPH) diturunkan dari 25% menjadi 22%, bahkan sebelumnya sempat direncanakan sampai 20%. Sedangkan untuk rakyat kecil pajak justru dinaikkan (CNBC Indonesia, 2/4/2022).

Kebijakan yang Mencekik

Kebijakan ini diresmikan di tengah masa-masa sulit yang dihadapi rakyat. Konsumsi masyarakat yang biasanya tumbuh 5% kini masih di angka 2%. Masyarakat masih berupaya untuk bangkit, tetapi lagi-lagi tertekan dengan harga pangan. Memang pangan tidak dikenakan pajak PPN, tetapi kebutuhan sehari-hari lainnya ikut terdampak naik.

Miris, kebijakan perpajakan diambil dengan memberatkan masyarakat miskin, tetapi justru di sisi lain menguntungkan masyarakat kaya. Orang-orang kaya justru mendapatkan tax amnesty (pengampunan pajak) dan kebijakan pajak pembelian barang mewah(PPN BM), yakni adanya pengurangan pajak hingga 0%.

Negeri ini memang kental dengan watak kapitalismenya. Sebagaimana pernah disinggung oleh ketua umum Muhammadiyah periode 2015-2020 Haidar Nasir, bahwa di negeri kapitalis, haram jika kebijakan berpihak pada si miskin. Keadilan bagi rakyat yang digaungkan oleh Pancasila menjadi lip service semata.

Negeri Pemalak

Kebijakan yang absurd dalam negara kapitalisme sama saja dengan memalak. Negara sebagai pelaku pemalakan dan rakyat sebagai korban yang dipalak tiada henti. Tentu hal ini sangat memprihatinkan. Rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah menjalankan kebijakan yang telah dipaksakan.

Memalak rakyat memang cara termudah untuk mendapatkan dana dengan alasan untuk menyehatkan APBN. Namun, tidakkah negara melihat atau bahkan peduli dengan kondisi rakyat yang semakin memprihatinkan? Apalagi rakyat tidak menikmati sebagian besar alokasi penggunaan APBN yang sebagian besar sumbernya dari pajak yang disetorkan masyarakat.

Inilah tabiat negara penganut ekonomi kapitalisme, menjadikan pajak sebagai pemasukan terbesar pendapatan negara. Semakin kapitalistik sebuah negara, semakin tinggi dan bervariasi jenis pajaknya.

Negara kapitalisme menyerahkan sumber-sumber pendapatan dari sektor lainnya kepada pihak asing dan aseng. Contohnya kekayaan sumber daya alam (SDA). Andai penguasa negeri ini mau mengelola SDA dan potensi geoekonominya, persoalan defisit anggaran/pembangunan bisa terselesaikan.

Tata Kelola Ekonomi dalam Islam

Dalam sistem ekonomi Islam, pajak dan utang bukan dijadikan sebagai sumber pemasukan. Ada banyak sumber dalam APBN Khilafah, seperti fa’i (anfal, ghonimah, khumus), jizyah, kharaj, usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan harta orang murtad.

Pajak hanya akan ditarik saat baitulmal kosong. Itu pun hanya untuk kalangan tertentu, yakni agniya atau orang yang memiliki kelebihan harta. Tidak semua rakyat dikenakan pajak. Pajak juga tidak diambil secara terus-menerus.

Selain itu, negara juga akan memaksimalkan pengelolaan kepemilikan umum untuk memenuhi kewajibannya sebagai pelayan ummat. Itu artinya pengelolaan SDA tidak akan diserahkan kepada individu, swasta, ataupun pihak asing. SDA dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya. Negara juga mendukung pembangunan, pengembangan, dan pembiayaan infrastruktur negara untuk kesejahteraan rakyatnya.

Hal ini hanya dapat terlaksana melalui tegaknya sistem Islam (Khilafah) yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wallahu a’lam bisowwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi