Women, Peace and Security, dan Kepentingan Penjajahan Barat

Hari ini menjadi Muslimah harus kritis. Termasuk kritis terhadap setiap narasi dan program yang diaruskan atas nama kepentingan perempuan. Salah satunya adalah isu perdamaian dan keamanan atau Women, Peace and Security (WPS).

Semua program  WPS berangkat dari kerangka global. Dikatakan kerangka global karena datang dari Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) S/RES/1325 seputar wanita, perdamaian dan keamanan. WPS diadopsi oleh DK PBB pada 31 Oktober 2000, usai mengulang resolusi sebelumnya.[1]

Dikuatkan oleh  program mencegah ekstremisme dan terorisme (preventing violent extremism/PVE and countering terrorism) dan SDGs tujuan ke -16, mereka mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan bagi semua dan membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.

Seruan PBB ini mendapat respon ASEAN dengan mengadopsi  Rencana Aksi ASEAN pada 22 Oktober 2020. Tujuannya untuk mempomosikan WPS sebagai pendekatan multilateral untuk perdamaian dan keamanan regional dan global yang berkelanjutan.[2]

Indonesia telah mendahului  inisiatif ASEAN dengan mengadopsi Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, selanjutnya disingkat RAN P3A-KS, dengan nama PerPres No. 18 tahun 2014 tentang RAN P3AKS. Ini  adalah produk kontektualisasi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan.[3]

Selain Resolusi DK PBB 1325 dan turunannya, ada kerangka kerja global berpengaruh lainnya terkait WPS. Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing (1995), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) PBB, adalah pendahulu agenda WPS. CEDAW  membahasakan bahwa keterlibatan perempuan dalam konflik adalah bagian dari merealisasikan kesetaraan gender.

Singkat cerita, Program WPS bagian dari agenda besar PBB, yakni perdamaian dan menguatkan kesetaraan gender atas nama Hak-Hak Perempuan.

 

Melestarikan Penjajahan

Bicara perdamaian tidak bisa dilepaskan dengan munculnya PBB pasca Perang Dunia ke-2 (PD II) dan  kepentingan Amerika Serikat (AS). Sebagai pemenang PD II, AS memiliki ambisi yang didorong oleh ideologi Kapitalisme, yakni menyebarkan Kapitalisme dengan metode penjajahan (imperialism).

Namun, tekanan global mengharuskan AS mengubah cara penjajahan: dari kolonialisme menjadi neo-imperialisme. Dalam Kitab Mafaahim Siyaasiyyah li Hizbi at-Tahriir, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mendefinisikan neo-imperialisme sebagai upaya memaksakan dominasi politik, ekonomi dan budaya kepada negara lain.

Neo-imperialisme memaksa AS untuk tidak tampil di panggung global sebagai kekuatan militer  agresif dan ekspansif yang memaksa negara lain. Karena itu gagasan pembentukan PBB diusulkan. Dr. Stephen Wertheim, Sejarahwan AS, Wakil Direktur Riset dan Kebijakan Quincy Institute for Responsible Statecraft,  Research Scholar, Columbia University, dalam bukunya berjudul Tomorrow, the World: The Birth of US Global Supremacy, menyatakan bahwa pemerintahan Roosevelt, dan sebagian besar elit lainnya, menilai PBB terutama sebagai sarana untuk memproyeksikan kekuatan AS secara global—dengan cara yang dianggap sah oleh publik Amerika dan komunitas internasional. Caranya dengan   menyediakan sarana untuk mengelola opini publik dan memproyeksikan kekuatan militer. PBB telah menjadi alat bagi AS bahkan Barat untuk merealisasikan dominasi (penjajahan)-nya.

Dalam praktiknya penjajahan Barat telah memunculkan konflik, baik konflik antar negara- negara besar karena berebut pengaruh dan sumber daya alam (SDA), maupun konflik karena respon ketertindasan pihak yang dijajah. Kita bisa melihat konflik Ukraina dan Rusia, perebutan pengaruh antara Rusia dan AS berserta NATO. Kita juga melihat muncul konflik antara penduduk lokal dan korporasi (yang dibekingi negara besar) memperebutkan tanah, dan tempat hidup mereka yang dirampas oleh korporasi tambang, seperti kasus konflik warga Morowali Sulawesi Tengah dengan PT Gunbuster Nickel Industri (GNI).

Di sisi lain, umat Islam melakukan perlawanan politik atas penjajahan Kapitalisme dengan mengajak internal umat untuk kembali pada tatanan Islam. Umat juga merespon dengan jihad di daerah-daerah yang di situ kepentingan negara-negara imperialis sudah sampai pada merampas secara fisik tanah-tanah umat Islam, seperti yang terjadi di Irak, Afganistan, Suriah dan beberapa tempat di Afrika.

Alhasil, dunia sedang tidak aman, penuh konflik bahkan peperangan karena kerakusan negara-negara kapitalis. Semua konflik ini memunculkan banyak korban dari kematian hingga pengungsi. Bahkan jumlah kematian akibat konflik pada 2022 catat rekor tertinggi selama abad ke-21, dengan angka mencapai 238 ribu orang. Biaya pembunuhan massal dengan berbagai dalih dan kepentingan itu menelan sekitar 13% dari produk domestik bruto global. Data itu dipaparkan Global Peace Index (Indeks Perdamaian Global/GPI) yang dirilis Juni 2023 oleh Institute for Economics and Peace (IEP).

Barat yang dipimpin AS telah gagal mewujudkan dunia yang aman dan damai. Demi menjaga dominiasi penjajahannya, Barat ingin meredam konflik dengan memainkan slogan perdamian dan keamanan. Lalu digagaslah program global dengan inti isu perdamaian dan keamanan dengan melibatkan perempuan dengan nama women, peace and security (WPS).

 

Melibatkan  Perempuan

Saat ini Barat sedang menghadapi isu keamanan yang paling rumit, yakni masalah kebangkitan Islam ideologis dan konflik-konflik akibat kegagalan Kapitalisme memberikan kesejahteraan dan keadilan. Konflik jenis yang ke-2 lebih dominan dan  dibingkai dalam satu narasi ‘radikalisme dan ekstrimisme’.  Solusi yang ditawarkan dalam isu radikalisme dan ekstrimisme adalah sikap toleran pada perbedaan, anti kekerasan dan program pemberdayaan perempuan. Pelibatan perempuan dalam isu perdamaian dan keamanan/WPS akan memberikan manfaat bagi Barat.

Barat menganggap perempuan sebagai faktor kunci pengambilan keputusan di komunitas mereka dalam mencegah, mengatasi dan menyelesaikan konflik. Termasuk dalam isu penyebaran ekstremisme. “Pekerjaan kami adalah untuk mengangkat suara perempuan dan memberdayakan mereka untuk mencegah ekstremisme,” kata Hanny Cueva Beteta, Penasihat Regional UN Women untuk Pemerintahan, Perdamaian dan Keamanan di Asia Pasifik.

Perempuan selalu dinarasikan pihak yang punya kemampuan menjaga perdamaian. Karena itu, menurut Barat, perempuan perlu didorong untuk ikut dalam Program WPS demi berperan sama dengan laki-laki. Tidak ada diskriminasi gender.

Program WPS akan menguatkan pemikiran gender yang batil dan mengalihkan  akar masalah konflik sesungguhnya, yakni bahwa perdamaian tidak akan terwujud selama penjajahan Barat masih  berlangsung. Kaum Muslimah harus mewaspadai ajakan mereka.

Barat ingin merebut potensi  besar  Muslimah karena dia adalah ibu generasi Muslim, pengemban dakwah dan politisi Muslim. Mereka adalah faktor penting bagi umat. Mereka turut mengajak umat agar selalu terikat pada Islam dan mewujudkan kepemimpinan yang menjaga umat dan melayani tuntutan hidup mereka berdasarkan syariah Islam.

Karena itu Barat selalu mengincar para Muslimah atas nama kepentingan perempuan. Tentu agar potensi besar mereka tidak  lagi untuk  Islam, tetapi untuk kepentingan Barat. Allah SWT mengingatkan kita agar berhati-hati terhadap jebakan kaum kafir dan memerintahkan kita agar konsisten dalam berhukum pada syariah-Nya: Hendaklah kalian memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kalian terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kalian dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepada kalian. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah Allah turunkan), maka ketahuilah bahwa Allah berkehendak menimpakan musibah (azab) kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik (TQS al-Maidah [5]: 49).

Sikap Muslim dan Muslimah jelas tidak boleh mengikuti narasi Barat meskipun itu dibungkus dengan isu perdamian dunia. Ingatlah bahwa perdamaian dunia yang sesungguhnya akan lahir ketika Islam diterapkan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang, hendaklah kalian damaikan antara keduanya! Namun, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kalian perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kalian berlaku adil. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (TQS al-Hujurat []: 9).

 

Khatimah

Makin jelas, narasi WPS diaruskan  demi kepentingan penjajahan Kapitalisme sekaligus mencegah lahirnya aspirasi Islam politik di tengah-tengah umat. Para Muslimah adalah aset berharga. Dari Muslimah akan terlahir generasi umat yang sholih yang akan berjuang demi cita-cita Islam. Muslimah juga para politisi dan pengemban dakwah di tengah-tengah umat untuk mengajak umat melakukan perubahan menuju masyarakat islami. Semua potensi ini harus dijaga agar tidak dibajak demi kepentingan Kapitalisme.

Karena itulah, spirit dasar Islam, yakni dakwah dan amar makruf nahi mungkar, harus terus digalakkan demi menghadang penderasan narasi batil itu. Kritis dan tegas akan pelanggaran hukum syariah harus menjadi tabiat seorang Muslim. Seluruh komponen umat berkewajiban untuk mencerdaskan mereka, melepaskan mereka dari sihir ide-ide kufur dan menyadarkan umat bahwa setiap ide yang bukan berasal dari Islam pasti akan menghancurkan mereka.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Fatma Sunardi]

 

Catatan kaki:

  1. https://web.archive.org/web/20060929013821/http://www.un.org/News/Press/docs/2000/20001031.sc6942.doc.html
  2. https://asean.org/wp-content/uploads/2021/09/ASEAN-UN-POA-2021-2025-final.pdf
  3. https://wps-indonesia.com/deskripsi-ran-p3aks/
Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi