Oleh. K.H. M Ali Moeslim
Bismillahirrahmanirrahim
Publik ramai membicarakan ruas jalan tol Soroja. Walaupun baru tahap perencanaan bahwa ruas jalan Tol Soroja (Soreang-Pasir Koja) akan menjadi percontohan pertama penerapan tol berbasis syariah yang ada di indonesia, ke depan masyarakat dapat memiliki saham dalam sistem tol syariah.
Jalan tol yang menghubungkan sebagian wilayah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung tersebut, konon akan menjadi jalan tol pertama yang berbasis syariah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Direktur Utama PT CMLJ Jusuf Hamka. PT Citra Marga Lintas Jabar (CMLJ) merupakan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) yang mendapatkan hak pengusahaan jalan tol ruas Tol Soroja.
Berbicara syariah berarti berbicara tentang tata aturan agama -baca; Islam- yang mengatur segala aspek kehidupan yakni akidah, ritual ibadah, dan muamalah seperti bidang ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya, termasuk di dalamnya tentang bagaimana pengaturan fasilitas negara untuk rakyat seperti jalan menyangkut siapa yang harus membangun dan memilikinya.
Syariah Islam menegaskan bahwa penguasa adalah pemelihara (penjaga) bagi rakyatnya serta menjalankan hukum yang berasal dari Allah Swt. dalam mengatur pemerintahannya. Rasulullah saw. bersabda:
…فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. ..
“Pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.”
Allah Swt. berfirman:
…فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ…
“… Maka, putuskanlah urusan di antara mereka dengan hukum yang telah Allah turunkan dan janganlah mengikuti keinginan mereka ….” (QS Al-Ma’idah: 48)
Dalam Islam, diatur masalah kepemilikan, artinya bahwa Allah Swt. memberikan kuasa kepada manusia untuk memiliki dan memanfaatkannya. Berdasarkan kuasa tersebut, manusia mempunyai hak untuk memiliki harta. Adapun dalam konteks pemilikan harta secara langsung dibutuhkan izin kepemilikan dan yang ditunjukkan oleh Asy-Syari (Allah Swt). Dalam kitab “An-Nidham Al-Iqtishadi fil Islam” dijelaskan:
اَلْمِلْكِيَّةُ ثَلاَثَةُ أَنْوَاعٍ : مِلْكِيَّةٌ فَرْدِيَّةٌ، وَمِلْكِيَّةٌ عَامَّةُ، وَمِلْكِيَّةُ الدَّوْلَةِ
“Kepemilikan ada tiga macam: kepemilikan individu (private property), kepemilikan umum (public property), dan kepemilikan negara (state property).”
Dengan demikian, jalan raya maupun jalan tol adalah terkatagori fasilitas pelayanan negara bagi masyarakat umum yang menjadi “milkiyyah ammah” (kepemilikan umum). Kepemilikan umum adalah izin dari Asy-Syari (Allah) kepada masyarakat secara bersama untuk memanfaatkan barang dan jasa tersebut. Setiap barang yang tabiat kepemilikannya menghalangi adanya penguasaan individu seperti: sungai, danau, lautan, udara, masjid, dan sebagainya.
Pengelolaan kepemilikan umum pada prinsipnya menjadi hak dan wewenang negara. Peran negara atas kepemilikan umum sebatas mengelola dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat umum. Negara tidak boleh menjual aset-aset milik umum atau melakukan privatisasi. Sebab, prinsip dasar dari pemanfaatan adalah kepemilikan.
Mengkritisi rencana jalan Tol Soroja yang akan dijadikan percontohan ruas jalan yang berbasis syariah, ditandai dengan masyarakat bisa memiliki saham atas ruas tol tersebut, ada beberapa catatan:
Pertama, ruas jalan tol Soroja di bawah PT CMLJ merupakan badan usaha yang “mengusahakan”, berarti memanfaatkan atas dasar kepemilikan, berarti ada komitmen dan konsekuensi tertentu, bisa “pembelian” oleh pihak swasta atas fasilitas milik umum, tentunya merupakan pelanggaran syariah. Alih-alih melakukan pembelian kembali atas fasilitas negara yang telah dijual, malah yang terjadi penawaran fasilitas lain untuk diswastanisasi.
Kedua, perseroan (syirkah) dalam bentuk penjualan saham seperti rencana penjualan saham tol Soroja kepada masyarakat umum adalah syirkah bathil. Dapat ditinjau dalam dua sisi:
A. Dalam syariah Islam, syirkah (kemitraan) merupakan akad dalam pengelolaan harta, juga pengembangan harta, yang merupakan pengembangan kepemilikan, yang termasuk dalam tindakan hukum (tasharruf) yang syar’i.
B. Syirkah (kemitraan) di dalam Islam dengan nama dan substansinya tidak dapat diperjualbelikan, tetapi mungkin dibubarkan dengan kesepakatan para syaarik (mitra) menurut ketentuan syariah. Lalu, aset material dan keuntungannya dibagi kepada para syaarik sesuai kadar kontribusi mereka. Syirkah dalam Islam adalah kemitraan dan persekutuan, bukan badan hukum yang terpisah dari para pemiliknya, sebagaimana syirkah dalam sebagian potretnya di dalam sistem kapitalisme.
Dari semua itu, persoalan pangkalnya adalah “milkiyyah ammah” (proverty publik) beralih menjadi milik pribadi atau swasta (badan usaha) adalah pelanggaran syariah.
Karut-marutnya pelayanan negara terhadap rakyat dalam bidang lainpun setali tiga uang, tidak lain karena kebijakan kapitalis yang memosisikan negara sebatas fasilitator atas swasta walaupun obyek tanggung jawab negara yang merupakan “milkiyah ammah.” Selain itu, berlepasnya tanggung jawab negara kepada rakyatnya seperti dalam bidang lain kehidupan, seperti kesehatan dan pendidikan.
Konsep layanan sempurna dan paripurna dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat ini hanya dapat diwujudkan jika negara menerapkan syariah secara total dalam mengatur kehidupan rakyat. Tanpa penerapan syariah Islam secara total, niscaya problem layanan megara dan problem-problem lain yang menimpa negeri ini tidak akan pernah tuntas. Allah Swt. berfirman:
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ٩٦
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka.” (QS Al-A’raf: 96)
Wallahu a’lam bishawab.
Bandung, 7 Februari 2023 M/ 16 Rajab 1444 H