Sifat dan Karakter Pemimpin Pada Masa Khilafah (Bagian 2)

Sifat dan karakter para pemimpin pada masa Khilafah terbukti mempunyai nilai lebih di atas rata-rata jika dibandingkan dengan para pemimpin/pejabat sekarang. Mereka bukan sekadar basa-basi pemanis kampanye dan sumpah jabatan, namun terbukti dalam langkah-langkah nyata dalam proses jabatannya. Tidak beda apa yang disampaikan ketika kampanye dan sumpah jabatan dengan realitas ketika menjabat. Itu semua karena para pejabat dalam masa Khilafah memegang teguh syariah Islam. Baik dalam hal keimanan maupun syariah dalam muamalah. Para pejabat yakin bahwa setiap kebijakan yang diambil akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Balasannya cuma dua, jika tidak surga ya neraka. Kekuatan iman inilah yang akan menjadi pegangan pertama sehingga tidak mau dan tidak tertarik untuk melakukan kemaksiatan walau dengan imbalan dan iming-iming yang menggiurkan. Dia tidak akan menggadaikan imannya dengan hanya sekerat daging kenikmatan dunia.

Dalam konteks syariah, dalam mengambil keputusan dan kebijakan untuk rakyatnya, maka mereka akan senantiasa menyandarkan diri pada tuntunan syariah Islam. Jika Islam mengatakan haram, mereka tidak akan pernah melakukan. Misal, pejabat Khilafah tidak akan pernah berpikir untuk membuka bank ribawi, pabrik miras, mengundang investasi asing yang mencekik dan merugikan Negara. Mereka akan memberantas mafia investasi, mafia yang memonopoli sembako dan mafia migas. Merka akan menghukum berat para koruptor dan pelaku suap. Mereka tidak akan memberikan ruang bagi LGBT, pelacuran dan segala macam kegiatan yang melanggar syariah Islam dan pastinya merugikan masyarakat luas. Semua dipraktikkan tanpa pandang bulu.  Bukan sekadar slogan omong-kosong saja. Tidak sekadar mengklaim baik, tetapi kenyataannya justru menjadi pelaku.

Dengan panduan syariah Islam para pejabat pada masa Khilafah mempunyai sifat dan karakter baik. Di antaranya memberikan rasa aman kepada masyarakat. Ini merupakan salah satu tugas gubernur atau pejabat yang utama. Dalam merealisasikan hal ini dia harus melakukan beberapa hal. Di antaranya adalah menerapkan menerapkan hukum had atas orang-orang yang fasik dan berbuat zalim. Jika perbuatan mereka dibiarkan maka akan membahayakan kehidupan manusia dan harta miliknya.1

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang berisi, “Takut-takutilah orang-orang yang fasik (termasuk zalim-red). Jadikanlah mereka bercerai-berai.”2

“Kewajiban berjihad melawan musuh juga merupakan salah satu sarana untuk menciptakan ketenteraman di negara.”3

Apa yang dilakukan Umar berbanding terbalik dengan pejabat sekarang. Ulama dan ormas Islam kritis dipersekusi, dikriminalisasi dan ditakut-takuti. Sebaliknya, para koruptor, preman jalanan, pelacur, pemabok, tempat-tempat maksiat dan yang lain tidak ada upaya menakut-nakuti. Buktinya praktik bejat dan merusak negara itu bukannya habis terkikis, justru malah tumbuh subur berkembang. Seolah-olah tidak ada matinya. Memberantasnya seperti menegakkan benang basah. Sesuatu yang mustahil. Para aktivis kritis kepada Pemerintah ditangkap dan langsung dijadikan tersangka tanpa ada proses yang sesuai aturan. Ormas-ormasnya dicabut ijinnya. Dipersulit pengurusan perpanjangan ijinnya. Mengapa demikian? Karena tidak adanya ketegasan aparat hokum. Hal ini diperparah saat pejabat dan atau aparat hukum ikut menjadi bakcing dan menikmati bisnis haram dan bejat tersebut. Kasus meninggalnya Bupati Boven Digul, Suap Hasto, penikmat Alexis, perampokan Jiwasraya, dll adalah bukti bahwa justru para pejabatlah yang maling dan menjadi aktor perusak negara. Alih-alih memberikan rasa aman kepada masyarakat, para pejabat justru membuat onar dan merusak negara. Menyebabkan rasa tidaknyaman di masyarakat.

Mereka semua jelas para pejabat yang tidak menjalankan syariah Islam, bahkan memusuhi syariah Islam dan Khilafah. Wajar jika mereka begitu. Dengan syariah Allah saja mereka berani melanggar, apalagi dengan aturan manusia. Pasti akan dilabrak. Mereka sudah tidak mengenal halal-haram lagi. Surga-neraka sudah di anggap pemanis khutbah saja. Di otak mereka yang penting adalah uang, jabatan dan wanita. Tidak peduli bagaimana cara mendapatkannya. Dengan cara culas dan melabrak aturan pun akan dilakukan.

Sifat dan karakter selanjutnya adalah komitmen mencukupi kebutuhan masyarakat. Ini adalah hal penting yang menjadi fokus tugas Khalifah dan seluruh pejabatnya. Sejatinya itulah esensi adanya Negara, yakni menjadi pelayan bagi rakyatnya. Artinya, Negara hadir untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar rakyatnya. Artinya, Negara benar-benar memenuhi dan mengadakan secara individu-perindividu kebutuhan dasar rakyatnya. Dengan begitu tidak ada kemiskinan lagi di seluruh wilayah Khilafah. Semua minimal di atas kriteria mustahiq. Orang yang berhak untuk mendapatkan zakat. Komitmen ini bukan hanya janji atau sumpah jabatan yang minim realisasi alias omong-kosong, namun dijalankan dan diwujudkan menjadi kenyataan.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab. Beliau berkata, “Sebelum ajal tiba, saya ingin menjadikan janda-janda di Irak tidak membutuhkan bantuan kepada siapapun.

Itu dilakukan dengan baik dan terwujud.

Kita juga tidak lupa sikap yang ditempuh oleh Khalifah Umar untuk menghindarkan masyarakat dari kelaparan pada saat musim paceklik. Ia mengerahkan segala kemampuan Negara untuk menghadapi musim paceklik dan menghindarkan masyarakat dari kelaparan. Imam al-Baihaqi dalam Sunan-nya meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab menyedekahkan hartanya pada musim paceklik sampai turun hujan. Setelah turun hujan, mereka berpindah ke tempat yang lain. Khalifah Umar al-Faruq kemudian mendatangi mereka dengan naik kuda. Dia melihat mereka sedang bersiap-siap untuk pindah dengan barang-barang mereka. Melihat kejadian tersebut kedua mata Khalifah berlinang air mata. Salah seorang lelaki dari suku Bani Muharib bin Khashfah memuji Khalifah Umar. Umar al-Faruq berkata kepada dia, “Celakalah kamu. Seandainya aku menafkahkan harta milikku atau hartabya Khathab, maka harta tersebut tetap harta Allah.”4

Khalifah Umar al-Faruq berkata, “Kewajibanku kepada kalian adalah tidak menarik kharaj atau harta fai kepada kalian kecuali dengan cara yang benar. Jika harta tersebut sampai ke tanganku, aku tidak akan menggunakannya kecuali dengan cara yang benar. Kewajibanku yang lain adalah mencukupi kebutuhan kalian. InsyaAllah.”5

Pembagian harta pada masa Khalifah Umar al-Faruq dilakukan secara bergilir dan teratur. Pembagian harta tidak hanya terbatas pada penduduk kota, juga kepada suku-suku pedalaman. Khalifah Umar al-Faruq pergi untuk berkeliling ke suku-suku yang letaknya berdekatan dengan Madinah. Ia melakukan sendiri pembagian harta kepada mereka. Khalifah Umar menulis surat kepada para gubernur untuk memberikan jatah uang kepada masyarakat. Menurut Khalifah Umar  harta-harta tersebut adalah harga fai’ yang Allah berikan kepada mereka. Pembagian harta tersebut bukan berdasarkan keinginan Khalifah Umar atau keluarganya.6

Khalifah Umar selalu berusaha menjamin ketersediaan makanan. Dia juga mengawasi pasar dan melarang monopoli. Para gubernurnya juga mengawasi perkembangan harga di pasar. Khalifah Umar menyuruh para pedagang untuk melakukan dagang di segala penjuru Negara, memberikan manfaat kepada umat Islam dan memasukkan barang-barang ke pasar.”7

Khalifah Umar tidak hanya menjamin ketersediaan makanan dan mengawasi pasar. Ia juga membuat perumahan dan membagikannya kepada masyarakat. Tugas ini dibebankan kepada para gubernur. Ketika rencana pendirian kota dilakukan, dia membagi-bagikan tanah kepada penduduknya di Kufah, Basrah dan Fushthath.8

Para gubernur mengawasi langsung pembagian rumah di daerah-daerah yang ditaklukkan seperti Hims, Damaskus, Iskandariyah dan lain-lain.9

Begitulah aksinya Khalifah Umar beserta gubernurnya. Bekerja serius dalam mewujudkan amanah syariah Islam untuk melayani seluruh rakyat. Tidak sekadar janji dan pepesan kosong. Semua terwujud dengan nyata. Wajar jika dalam Islam, kesejahteraan di ukur individu-perindividu, bukan kumulatif. Artinya, kesejahteraan di lihat apakah masing-masing individu-perindividu telah mendapatkan kebutuhan dasar semua atau kah tidak. Apakah masing-masing individu sudah mendapatkan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan ataukah tidak. Bukan kumulatif dalam sistem kapitalis sekarang. Dengan begitu, dalam Islam, kesejahteraan itu riil. Bukan hanya dalam hitung-hitungan kertas. Yang hanya dilihat dari Indeks Domestik Bruto atau GNP (pendapatan perkapita negara). Yang bisa jadi, uang atau kekayaan hanya diwakili oleh beberapa konglongmerat saja, sedangkan sebagian besar rakyat di bawah garis kemiskinan, seperti dalam sistem kapitalis sekarang.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]

 

Catatan kaki:

       Al-Wilayah ‘ala Al-Buldan, jilid II, hal 71

       Uyun Al-Akhbar, jilid I, hal 11

       Al-Wilayah ‘ala Al-Buldan, jilid II, halaman 71

       Sunan al-Baihaqi, jilid VI, halaman 357 dan Mausu’atu Fiqhi Umar bin al-Khathab, halaman 135

       Mausu’atu Fiqhi Umar bin al-Khathab, halaman 137

       Al-Wilayah ‘ala Al-Buldan, jilid II, halaman 77

       Tarikh Al Madinah, jilid 2 halaman 749

       Al-Wilayah ‘ala Al-Buldan. Jilid II, halaman 79

9        Al-Baladzri, Futuh Al-Buldan, halaman 143-244

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi