Sifat dan Karakter Pemimpin Pada Masa Khilafah (Akhir)

Sifat dan karakter mulia dari para gubernur atau pejabat Khilafah tak pernah bisa diragukan lagi. Mereka semua mempunyai sifat dan karakter yang terbaik. Bukan karena semata aspek budi pekerti, namun karena mereka semata menjalankan syariah Islam. Berpegang teguh pada halal dan haram. Itulah yang menjamin mereka semua mempunyai sifat dan karakter terbaik tersebut terus kontinu. Tidak lekang oleh waktu, himpitan dan godaan jabatan, wanita maupun uang. Mereka yakin bahwa Allah SWT melihat dan mencatat semua perbuatannya. Mereka yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa balasan perbuatan buruk/maksiat sungguh menyakitkan kelak di neraka.

Sifat dan karakter mulia yang lain yang dimiliki oleh para gubernur dan pejabat Khilafah adalah melindungi orang-orang dzimmi (orang kafir yang berada didalam pemerintahan Islam, red.). Kewajiban-kewajiban gubernur yang ditentukan oleh syariah atas orang-orang dzimmi adalah memberikan hak-hak mereka, menghormati perjanjian dengan mereka, memperhatikan nasib mereka, meminta mereka untuk melakukan kewajiban-kewajiban terhadap orang Islam, mengikuti berita tentang mereka dan memberikan hak-hak mereka jika ada yang berbuat zalim kepada mereka. Sebelum melakukan perjanjian, Khulafaur Rasyidin sering menentukan syarat-syarat tertentu. Hal ini diharapkan agar mereka bersedia melaksanakan kewajiban dan syarat-syarat yang telah disepakati.1

Ini menegaskan bahwa Khilafah menjamin dengan baik hak-hak warga non-Muslim (kafir). Bahkan memberikan pelayanan yang terbaik tanpa kelas dengan warga Muslim. Mendapatkan perlakuan yang sama, baik dalam pekerjaan, pelayanan dasar dari negara (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan) juga dalam hal hukum dan peradilan. Bahkan nasib dan kondisi mereka pun diperhatikan sebagaimana Khilafah memperhatikan warga Muslim. Demikian pula jika mereka dizalimi. Mereka akan mendapatkan keadilan walau yang menzalimi warga Muslim.

Inilah keadilan dan keindahan syariah Islam. Memberikan perlindungan yang nyata dan sebenar-benarnya. Tanpa basa-basi dan berat sebelah. Bukan keadilan semu yang dibalut oleh kepentingan kekuasaan dan manuver politik. Keadilan yang sebenarnya.

Sifat dan karakter mulia selanjutnya adalah memberikan rasa aman kepada masyarakat. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al-Khathab karya Dr. Muhammad Ash-Shalabi diceritakan bahwa utusan Gubernur, jika menghadap Khalifah Umar al-Faruq, dia bertanya kepada mereka tentang perilaku gubernur mereka. Mereka yang menjawab, perilaku Gubernur selama ini baik.

Khalifah Umar bertanya kembali, “Apakah dia menengok orang sakit di antara kalian?

“Ya,” jawab mereka.

Umar bertanya, “Apakah dia menengok hamba sahaya?”

“Ya,” jawab mereka.

Umar bertanya, “Bagaimana dia melakukan orang-orang yang lemah? Apakah dia duduk di depan pintunya?” Jika mereka mengatakan, “Tidak.” Umar Al Faruq langsung memecat gubernurnya.2

Umar memecat seorang gubernur jika dia tidak menengok orang yang sakit dan tidak memperbolehkan orang-orang yang lemah masuk ke kantornya.

Syariah Islam mensyariatkan kepada para gubernur untuk peduli dan memperhatikan betul rakyatnya. Tidak untuk pencitraan pada awal menjabat ataupun selama menjabat untuk mendapat dukungan semata. Memang itu dilakukan dengan sepenuhnya. Yang ada justru para gubernur dalam Islam, ketika mengecek kondisi rakyatnya, jauh dari konsumsi awak media. Mereka kebanyakan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dan penyamaran. Tak jarang, rakyat justru tidak tahu bahwa yang sedang dihadapi adalah Khalifah, gubernur dan para pejabat.

Alhasil, terlihat dengan jelas, tanpa ditutup-tutupi, realitas sebenarnya yang terjadi di masyarakat. Dengan itu Khalifah atau gubernur tahu betul apa permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Dengan itu pula mereka tepat dalam mengambil langkah-langkah solusinya untuk menyelesaikannya secara tuntas dan cepat. Itu karena memang sesuai dengan realitas yang ada dan dilihat langsung oleh Khalifah atau gubernur. Tidak ditutup-tutupi.

Tidak seperti sekarang. Ketika pejabat akan kunjungan ke suatu daerah maka jalan-jalan akan di aspal, tempatnya akan disulap sedikit bagus, masyarakatnya dibuat skenario drama yang menunjukkan bahwa rakyat baik dan puas dengan kebijakan-kebijakan yang ada. Semuanya jauh dari realitas sebenarnya. Setelah pejabat pulang, kembali seperti semula. Jalan-jalan dibiarkan rusak kembali, tempat/daerah dibiarkan terbengkalai lagi, dan seterusnya. Peduli dan perhatian pejabat hanya muncul ketika kampanye saja.

Di sebaliknya, pintu-pintu rumah Khalifah atau gubernur terbuka 24 jam bagi seluruh rakyatnya yang ingin mengadu. Semua masyarakat tanpa ada pengecualian boleh masuk dan bertemu dengan mereka. Semua akan dilayani dengan baik dan sama perlakuan. Diberikan solusi dengan standar pelayanan sama. Tidak dibeda-bedakan antara kaya dan miskin, antara rakyat biasa ataukah pejabat, antara anak orang kaya/pejabat ataukah anak rakyat biasa, dll. Semua mendapat perlakuan yang sama.

Tidak seperti sekarang. Rumah pejabat mewah dengan tembok pagar yang tinggi plus pengamanan super ketat. Hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan masuk. Biasanya sesama pejabat, orang kaya, anak pejabat dan orang yang dikenal saja. Selain itu tidak bisa masuk. Rakyat biasa, jangankan masuk, mendekat saja sudah diusir.

Kondisi di atas berbeda jauh dengan kondisi para gubernur dan pejabat Khilafah. Khalifah Umar bin al-Khaththab sangat mengharapkan agar para gubernur dan pegawainya yang lain berpenampilan rendah hati ketika di hadapan orang-orang. Dengan seperti ini mereka merasa bahwa gubernur mereka berasal dari masyarakat yang tidak memiliki keistimewaan dari lainnya. Ketika mengangkat sebagai gubernur atau pegawai, Khalifah Umar mensyaratkan kepada dia supaya kendaraan dan pakaian mereka sama dengan masyarakat pada umumnya. Khalifah Umar bin al-Khaththab melarang mereka membatasi diri dari rakyatnya dengan pembatas.3

Sifat dan karakter mulia lainnya adalah tidak membedakan antara orang Arab dan non-Arab. Para gubernur harus menyamakan semua orang. Tidak membedakan antara orang Arab dan non-Arab yang beragama Islam ataukah kafir. Pernah kejadian, beberapa orang menghadap seorang pegawai pemerintah, dia memberikan uang kepada orang Arab dan tidak memberikan memberikannya kepada non-Arab. Khalifah Umar marah kemudian mengirimkan surat yang berisi, “Cukuplah seseorang dianggap melakukan keburukan jika melecehkan saudaranya yang sama-sama Islam.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Khalifah Umar menulis surat yang berisi, “Hendaklah kamu memperlakukan mereka dengan sama rata.”4

Inilah beberapa kewajiban akhlak yang harus dilakukan oleh gubernur di dalam Khilafah. Menepati janji; ikhlas dalam perbuatannya; merasa diawasi oleh Allah dalam setiap gerak-geriknya; siap bekerjasama dengan semua kelompok dalam semua perbuatan yang mengandung kebaikan dan ketakwaan; serta menerima nasihat yang datangnya dari Allah, Rasul-Nya, para imam dan orang Islam pada umumnya.

Semua akhlak di atas dapat memperbaiki keadaan masyarakat. Selain berkewajiban untuk melaksanakan akhlak-akhlak di atas, seorang gubernur dituntut untuk menyampaikan kepada masyarakat melalui khutbah-khutbah, surat-surat, nasihat-nasihat dan perilakunya. Para gubernur pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab menjadi contoh dalam melaksanakan akhlak-akhlak dan kewajiban-kewajiban di atas, baik sebagai sifat khusus yang mereka miliki atau perilaku mereka dengan masyarakat. Para khalifah, gubernur dan semua pejabat menjadi contoh terbaik bagi masyarakatnya dalam mempunyai sifat dan karakter mulia.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]

 

Catatan kaki:

       Al-Wilayah ‘ala Al Buldan, jilid II, halaman 80

       Al-Wilayah ‘ala Al Buldan, jilid II, halaman 82

       Ibid

       Al-Watsa’iq As-Siyasiyah li ‘Ahdi An-Nabawi wa Al-Khilafah Ar-Rasyidah, hal. 532

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi