Sejarah Sykes-Picot dan Awal Mula Terpecahnya Persatuan Umat Islam di Timur Tengah

Kisah dimulai dari peristiwa salah satu perang terbesar sepanjang sejarah, Perang Dunia I (PD I). PD I meletus pada musim panas 1914 di Eropa dan memakan jutaan korban. Selama perang, terbentuk dua aliansi kuat, yaitu Poros dan Sekutu. Blok Poros, awalnya terdiri dari Jerman dan Austria-Hungaria, sedangkan blok Sekutu terdiri dari Inggris, Prancis dan Rusia—Amerika Serikat belum bergabung.

Meski dianggap sebagai salah satu negara besar yang mempengaruhi keseimbangan politik dunia, namun awalnya Khilafah ‘Utsmaniyyah berada di pihak netral, menimbang posisinya yang begitu lemah karena digerogoti berbagai ancaman, baik internal maupun eksternal. Posisi Sultan kala itu hanya sebagai simbol, dan sejatinya telah digantikan oleh pemerintahan militer yang dipimpin olehTiga Pasha yang berasal dari kelompok sekular yang telah “ter-westernisasi”, yaitu kelompok Turki Muda (Young Turks).

Trio Pasha. Dari kiri ke kanan: Talaat Pasha, Enver Pasha, Djamal Pasha

Secara finansial, Khilafah saat itu sangat terjepit oleh besarnya utang kepada negara-negara Eropa hingga kesulitan membayarnya. Berbagai kelemahan tersebut membuat ‘Utsmaniyyah memilih terlibat dalam PD I dengan mencoba bergabung bersama blok Sekutu. Sayangnya, keinginan ‘Utsmaniyyah untuk bisa sebarisan dengan blok Sekutu ditolak mentah-mentah. Karena tak ada pilihan lain, pada Oktober 1914, “Sickman of Europe” ini merapat ke blok Poros bersama Jerman dan Austria-Hungaria.

Merespon bergabungnya ‘Utsmaniyyah dengan blok Poros, Inggris sebagai salah satu anggota blok Sekutu langsung melaksanakan rencana lanjutan demi memperlemah pengaruh Khilafah, yakni memperluas wilayah jajahannya sampai ke Timur Tengah. Inggris telah mengontrol Mesir dan India masing-masing pada 1888 dan 1857, dan wilayah kekuasaan Ottoman membentang di antara kedua koloni terpenting Inggris tersebut. Maka, PD I adalah kesempatan emas Inggris untuk memporak-porandakan Khilafah.

Salah satu strategi Inggris untuk meruntuhkan Khilafah adalah membuat bangsa Arab memberontak terhadap otoritas ‘Utsmaniyyah. Pion Inggris dalam merealisasikan ini ialah Sharif Hussein bin Ali, sang Gubernur Mekkah. Sharif Hussein membuat kesepakatan dengan Inggris, untuk melawan Khilafah.

Alasan Sharif Hussein melakukan hal tersebut adalah, ambisi pribadinya yang ingin menjadi Khalifah untuk seluruh dunia Arab. Hal ini tentu juga menguntungkan Inggris, yang ingin mendirikan “Khilafah Arab” sebagai upaya pemecahbelahan persatuan umat Islam, khususnya di daerah Hijaz dan sekitarnya.

Selain memberikan bantuan persenjataan dan pendanaan, Inggris juga menjanjikan kepada Sharif Hussein bahwa setelah perang usai, ia akan mendapatkan kerajaan Arabnya yang mencakup seluruh semenanjung Arab, termasuk Suriah dan Iraq.

Sharif Hussein, pemberontak Khilafah yang berambisi menguasai Hijaz

Sharif Hussein dan Sir Henry McMahon selaku staf Kementerian Luar Negeri sekaligus wakil pemerintah Inggris, mendiskusikan detail perlawanan terhadap Khilafah dalam surat-menyurat yang dikenal dengan “McMahon-Hussein Correspondence”.

Juni 1916, Sharif Hussein memimpin kelompoknya untuk melawan ‘Utsmani, dan dalam beberapa bulan saja pasukan Arab berhasil mengambil alih kota-kota penting di Hijaz, termasuk Mekkah dan Jeddah. Keberhasilan mereka tak lepas dari sumbangsih Inggris, mulai dari tentara, persenjataan, pendanaan, bendera, bahkan sampai penasehat—seperti sang legenda “Lawrence of Arabia”. Pasukan Arab menggunakan bendera yang didesain oleh Inggris yang dikenal sebagai “Bendera Perlawanan Arab”. Bendera ini yang kemudian hari digunakan oleh beberapa negara Arab modern, seperti Jordan, Palestina, Sudan, Kuwait, dan Suriah.

Pasukan yang membawa bendera pemberontakan. Bendera saat ini tersimpan di Martyrs’ Memorial, Amman, Yordania

Sampai tahun 1917-1918, Arab dengan bantuan Inggris berhasil menaklukkan beberapa kota-kota besar, seperti Yerusalem, Bagdad, Amman, dan Aqaba. Perlu ditekankan bahwa “perlawanan Arab ini tidaklah mendapatkan dukungan dari mayoritas bangsa Arab”, mereka hanya gerakan dari minoritas penduduk Arab—kurang lebih dua ribuan orang. Mayoritas dari penduduk Arab tidak ikut campur dalam konflik tersebut—mereka tidak mendukung para pemberontak maupun pemerintahan ‘Utsmaniyyah.

Sebelum Arab memenangkan pemberontakan—bahkan sebelum pemberontakan dimulai, Inggris dan Prancis telah terlebih dahulu melakukan perjanjian untuk membagi wilayah Timur Tengah untuk mereka sendiri—dikenal dengan Sykes-Picot Agreement yang dilakukan antara Sir Mark Sykes, seorang diplomat Inggris dan François Georges-Picot, diplomat Prancis pada musim dingin tahun 1915-1916.

Dalam kesepakatan tersebut, Inggris mendapatkan wilayah yang sekarang dikenal dengan Kuwait, Iraq, dan Jordan, dengan Prancis yang mendapatkan Lebanon dan Suriah. Status Palestina ditentukan di kemudian hari, bersamaan dengan ambisi Zionis untuk mendapatkan wilayah tersebut.

Peta pembagian wilayah ‘Utsmani di Jazirah Arab yang disepakati Sykes-Picot. Biru menunjukkan wilayah dalam pengaruh Prancis, sedangkan merah menunjukkan pengaruh Inggris. Wilayah-wilayah tersebut kemudian berkembang menjadi beberapa negara mandiri. Umat Islam dipecah belah.

Meski demikian, di beberapa wilayah, Inggris dan Prancis mengizinkan beberapa pemimpin Arab untuk mengontrol wilayahnya, meski pada dasarnya Inggris dan Prancislah yang mengontrol wilayah tersebut.

Makar yang dilakukan oleh Sharif Hussein bersama Inggris terhadap ‘Utsmani, ternyata dikhianati Inggris sendiri yang menggandeng Prancis dalam Perjanjian Sykes-Picot tersebut. Perjanjian ini diketahui publik pada 1917 ketika pemerintahan Bolshevik Rusia mengungkapkannya. Perjanjian ini jelas bertentangan dengan janji Inggris kepada Sharif Hussein. Walhasil, hubungan antar mereka pun memanas.

Inggris juga telah berhianat terhadap bangsa Arab melalui Deklarasi Balfour, yakni surat pernyataan yang dikirim oleh Arthur Balfour (Sekretaris Luar Negeri Inggris) kepada Baron Rothschild—seorang pimpinan komunitas Zionis— pada 2 November 1917, yang meresmikan dukungan pemerintah Inggris atas pendirian negara Yahudi oleh Zionisme di Palestina.

Sampai tahun 1917, Inggris telah melakukan tiga perjanjian berbeda dengan tiga pihak yang berbeda pula, yakni Arab, Prancis, dan Zionis. Pasca PD I dan kekuasaan ‘Utsmani diruntuhkan, situasi Timur Tengah justru semakin rumit. Wilayah Timur Tengah dibagi-bagi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB—embrio PBB) menjadi beberapa negara modern seperti yang kita kenal sekarang ini.

Bendera Revolusi Arab bersama bendera-bendera lain yang didesain Inggris (kiri) dan Jl. Balfour di Israel (kanan)

Organisasi ini membagi wilayah Timur Tengah tanpa memandang letak geografis, etnis maupun agama. Tindakan LBB dan negara-negara Eropa yang dengan sewenang-wenang membagi Timur Tengah, pada dasarnya bertujuan memecah belah Arab supaya saling berkonflik satu sama lain.

Demikianlah sejarah mengajarkan kita tentang bagaimana negara imperialis meruntuhkan Khilafah dan memecah belah bekas wilayah kekuasaannya, serta merestui pemimpin-pemimpin yang haus akan kekuasaan di sana. Implikasi dari hal ini, akhirnya berujung kepada “kebutaan” mereka tentang siapa musuh yang sesungguhnya, yang selama ratusan tahun telah mengeksploitasi mereka.

Hingga saat ini karakter dasar imperialis Barat tak pernah berubah. Hanya berubah tampilan dengan polesan yang lebih “manis”, namun dengan tujuan yang tetap sama: menguasai total dan memeras kekayaan suatu wilayah.[]

Sumber:

Fromkin, David. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East. New York: H. Holt, 2001.

Hourani, Albert Habib. A History Of The Arab Peoples. New York: Mjf Books, 1997. Print.

Pandawa, Nicko. Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda. Bogor: Komunitas Literasi Islam, 2001. Print.

Ochsenwald, William, and Sydney Fisher. The Middle East: A History. 6th. New York: McGraw-Hill, 2003. Print.

Sumber: https://literasiislam.com/sejarah-sykes-picot-dan-awal-mula-terpecahnya-persatuan-umat-islam-di-timur-tengah/

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi