Diskursus tentang kepemimpinan dan kekuasaan selalu menjadi perhatian semua pihak. Khusus di negeri ini, diskursus tersebut pada tahun ini menemukan momentumnya. Sebabnya, pada 14 Februari 2024 nanti akan ada pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota DPR dan DPRD.
Masyarakat tentu menginginkan adanya kepemimpinan dan kekuasaan yang baik. Kepemimpinan dan kekuasaan yang baik akan menjadikan kondisi masyarakatnya baik. Tentu hal tersebut terkait dengan dua hal sekaligus, yakni terkait kualitas personal orang yang akan menjadi pemimpin serta kualitas sistem yang akan diterapkan.
Secara faktual kualitas sistem itu lebih signifikan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat. Kualitas sistem yang buruk dapat memaksa personal pemimpin yang baik menjadi buruk. Tentu hal ini berlaku pula sebaliknya. Kualitas sistem itu sendiri sangat bergantung pada kualitas ideologi yang dianut. Karena itu banyak ilmuwan dalam buku-buku mereka lebih memilih membahas ideologi suatu negara ketimbang membahas personal pemimpin negara tersebut.
Salah satunya buku The Oxford Handbook of Political Ideologies yang terbit pada tahun 2015. Buku tersebut disunting oleh ilmuwan politik Michael Freeden, Lyman Tower Sargent dan Marc Stears. Kajian utamanya terkait bagaimana peran ideologi politik suatu negara yang berpengaruh pada nasib kehidupan masyarakat dunia. Bahkan menurut mereka, berbagai konflik besar antarnegara pun sebenarnya lebih terkait persoalan ideologi ini ketimbang persoalan personal pemimpin negara tersebut.
Kekuasaan dalam Kapitalisme
Saat ini, ideologi yang banyak dianut oleh berbagai negara termasuk Indonesia adalah Kapitalisme. Pada sisi lain, peradaban Barat yang berbasis pada ideologi Kapitalisme kini justru diprediksi akan segera runtuh.
Sebuah peradaban akan terus eksis dan bertahan jika mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia. Jika yang terjadi sebaliknya atau peradaban itu justru melahirkan berbagai kerusakan dan kesengsaraan, maka peradaban tersebut akan ditinggalkan dan bisa berujung pada keruntuhannya.
Penyebab utama kegagalan ideologi Kapitalisme karena ia bertentangan dengan fitrah dan akal sehat manusia. Ideologi ini memuja manusia sebagai pusat segalanya. Pada ujungnya ideologi Kapitalisme melahirkan ekploitasi dan alienasi manusia yang mengarah pada upaya mementingkan diri sendiri. Inilah yang melahirkan berbagai kerusakan, mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya, moral, politik, kekuasaan, dan sebagainya.
Buku The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power yang ditulis oleh Shoshana Zuboff (2019) turut merekam kerusakan Kapitalisme tersebut. Buku ini mengungkap berbagai fakta pengeksploitasian hak-hak individu rakyat oleh perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa. Penguasa dan pengusaha berkolaborasi mengeruk keuntungan ekonomi untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk rakyat.
Fakta kerusakan itu juga terkonfirmasi oleh World Economic Forum. Melalui laman resminya, www.weforum.org, forum tersebut mempublikasikan “Global Risks Report 2023”. Menurut laporan tersebut, saat ini di tataran global telah terjadi krisis. Berdasarkan Global Risks Perception Survey (GRPS) yang mereka teliti, ada 4 hal teratas yang dirasakan sebagai krisis oleh penduduk dunia saat ini yakni: krisis pasokan energi, krisis biaya hidup, krisis pasokan pangan dan meningkatnya inflasi.
Kepemimpinan dan kekuasaan dalam sistem Kapitalisme global terbukti memunculkan berbagai kerusakan. Bukti-bukti tersebut terjadi pada tataran konsep maupun empiris. Artinya, bagaimana pun baiknya kualitas personal pemimpin suatu negara, akhirnya ia akan terseret juga pada berbagai kerusakan tersebut jika sistem yang dipakai adalah Kapitalisme.
Demokrasi dan Hegemoni Oligarki
Pada aspek kepemimpinan dan kekuasaan, para penganut ideologi Kapitalisme selalu mempropagandakan demokrasi sebagai sistem terbaik. Melalui demokrasi dideskripsikan bahwa kemakmuran, kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan akan tercapai. Demokrasi pun diklaim sebagai mekanisme yang paling bisa menjamin distribusi ekonomi dan pergantian kekuasaan secara tertib dan damai.
Padahal realitas demokrasi tidaklah demikian. Justru yang terjadi sebaliknya. Sebabnya, secara fakta yang berdaulat di dalam sistem demokrasi hanyalah para elit politik yang diklaim sebagai wakil rakyat. Akibatnya, kemakmuran dan kesejahteraan hanya dirasakan oleh segelintir elit tersebut. Mereka adalah elit penguasa, wakil rakyat, partai dan para pemilik modal. Sebaliknya, mayoritas rakyat justru hidup dalam kemiskinan. Demikian pula dengan kesetaraan dan keadilan dalam hukum, yang selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Hegemoni kepentingan para pemilik modal melalui mekanisme demokrasi inilah yang telah menyuburkan money politics, suap, kolusi dan korupsi. Tidak cukup hanya menguasai ekonomi, para pemilik modal dan korporasi itu pun merambah ke wilayah politik dan kekuasaan dengan membentuk jaringan oligarki. Akibatnya, mereka mampu mempengaruhi jalannya pemerintahan beserta segala kebijakannya.
John Perkins (2005) dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man menyebut kondisi ini dengan istilah corporatocracy. Corporatocracy adalah pemerintahan yang kewenangan dan kebijakannya didominasi oleh korporasi atau perusahaan-perusahaan besar. Akibatnya, berbagai kebijakan negara dan undang-undang dijadikan instrumen untuk melayani kepentingan korporasi tersebut ketimbang melayani rakyat.
Jeffrey A. Winters (2011), melalui bukunya Oligarchy: Ancient Lessons for Global Politics, memberikan deskripsi dinamika oligarki dalam politik demokrasi. Winters menyajikan analisis tentang bagaimana kekayaan dapat menghasilkan kekuasaan politik yang kemudian membentuk pemerintahan oligarki. Pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang kekuasaan politiknya dikendalikan sejumlah kecil elite yang memiliki kekuatan ekonomi.
Beberapa pakar politik lainnya bahkan secara khusus menyoroti oligarki yang terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah Edward Aspinall dan Ward Berenschot (2019). Keduanya mempublikasikan kajiannya berujudul, ”Democracy For Sale: Election, Clientilism, and the State of Indonesia”. Menurut keduanya, di Indonesia terdapat jejaring informal politik yang memiliki akses khusus pada kekuasaan. Mereka memaparkan juga bahwa hampir seluruh institusi formal di Indonesia pada setiap tingkatannya telah membentuk koneksi personal untuk kepentingan transaksi kekuasaan.
Secara faktual, kekuatan oligarki di negeri ini memang makin mudah terlihat. Kemunculan berbagai UU kontroversi dalam bidang ekonomi telah disinyalir berpihak kepada oligarki. Tangan-tangan oligarki yang tidak kelihatan itu mengarahkan regulasi di negeri ini sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka bisa mengeruk kekayaan negeri ini dengan membuat peraturan dan perundangan melalui penguasa yang menjadi bagian jaringan mereka.
Misalnya Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan pada 30 Desember 2022 lalu. Pemerintah beralasan Perppu tersebut dikeluarkan karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan perekonomian. Padahal sejatinya Perppu tersebut mendapat penentangan keras secara masif dari kaum pekerja lantaran dianggap tidak pro pekerja. Perppu Ciptaker disinyalir berpotensi membuat pekerja semakin miskin. Sebaliknya, Perppu tersebut bisa membuat para pemilik modal semakin berjaya.
Selain Perppu Cipataker, sebelumnya berbagai peraturan perundangan juga banyak ditolak oleh masyarakat karena dianggap tidak pro rakyat. Misalnya, UU No. 3 tahun 202 tentang Minerba, UU No. 3 tahun 2022 tentang IKN, dll. Berbagai regulasi tersebut semakin makmurlah oligarki, termasuk investor tambang. Sebabnya, salah satu bagian penting dalam Perppu Ciptaker itu adalah perpanjangan otomatis konsesi-konsensi tambang selama 2 kali 10 tahun. Melalui mekanisme demokrasi, para pemilik modal mendapatkan berbagai keistimewaan yang ’dilegalkan’ melalui berbagai undang-undang dan peraturan.
Rakyat Makin Sengsara
Rusaknya kekuasaan dalam sistem Kapitalisme itu akhirnya akan berujung pada makin sengsaranya rakyat. Sebabnya, salah satu problem utama dalam Kapitalisme adalah meningkatnya kesenjangan ekonomi antara kelas yang kaya dan kelas yang miskin. Padahal kesenjangan pendapatan itu dapat mengakibatkan problem sosial dan politik. Berikut beberapa fakta sistem Kapitalisme yang mengakibatkan terjadinya berbagai kesengsaraan.
Pertama: Dalam aspek ekonomi. Lembaga asal Inggris, Oxfam, dalam laporan yang berjudul, “Time to Care Unpaid and Underpaid Care Work and the Global Inequality Crisis”, menyatakan bahwa kesenjangan ekonomi telah berjalan di luar kendali. Pada tahun 2019, sebanyak 2.153 miliarder dunia memiliki kekayaan melebihi total kekayaan 4,6 miliar orang penduduk dunia. Satu persen orang terkaya di dunia memiliki lebih dari dua kali lipat total kekayaan dari seluruh penduduk bumi (Oxfam.org, 2020).
Studi yang dilakukan oleh Credit Suisse pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 1% teratas populasi dunia memiliki hampir 45% dari total kekayaan global. Dalam konteks negara-negara Barat, banyak dari kekayaan ini terkonsentrasi pada kelompok kaya dan korporasi besar. Berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa Kapitalisme telah gagal menciptakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Bahkan sebaliknya, ia menciptakan berbagai ketidakadilan dan kesenjangan yang berujung pada kesengsaraan.
Pada kasus di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia meningkat pada Maret 2023. Artinya, jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Menurut BPS, tingkat kesenjangan ekonomi yang diukur melalui indeks Gini Ratio itu per Maret 2023 berada di level 0,388. Indeks tersebut naik dibandingkan per akhir September 2022 yang berada pada level 0,381 (Bps.go.id, 17/07/2023).
Para akademisi juga banyak melakukan studi yang menyoroti kesenjangan ekonomi yang makin signifikan di negara-negara yang menganut sistem Kapitalisme. Salah satunya adalah Thomas Piketty (2017) yang menuangkan hasil studinya pada bukunya yang berjudul Capital in the Twenty-First Century. Buku ini mengkritik kesenjangan ekonomi yang semakin dalam yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme. Piketty telah menganalisis pertumbuhan ekonomi jangka panjang, distribusi kekayaan dan dampak buruknya akibat kesenjangan tersebut.
Kedua: Dalam aspek sosial. Prinsip dasar Kapitalisme yang berbasis pada liberalisme (kebebasan) telah mengakibatkan penyakit-penyakit sosial semakin marak, kejahatan merajalela dan terus berulang tanpa solusi. Di antara penyakit sosial itu adalah gaya hidup free-sex yang telah merusak tatanan kehidupan masyarakat. Menurut RAIIN (www.rainn.org, 2023) setiap 107 detik, seseorang di Amerika Serikat (AS) diserang secara seksual. Setiap tahunnya, ada 293.000 korban kekerasan seksual di negara ini.
Kejadian bunuh diri juga menggambarkan kondisi sosial yang sedang sakit. Badan Centers for Disease Control and Prevention (www.cdc.gov) di dalam laporan risetnya pada Kamis, 9 Februari 2023, mengungkap angka warga Amerika yang bunuh diri pada 2021 mengalami peningkatan menjadi 48.183 orang. Angka itu sama dengan 14,2 per 100 ribu warga Amerika.
Tingkat kekhawatiran warga AS pada tindak kejahatan dan kekerasan pada tahun 2022 berada di level tertinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut terungkap berdasarkan riset Gallup (www.gallup.com) yang dirilis pada April 2022. Menurut riset tersebut, sebanyak 80 persen warga AS menyatakan kekhawatirannya atas tindak kejahatan.
Data kriminal nasional Pemerintah AS telah mencatat adanya kenaikan dalam tingkat pembunuhan di AS yang mencapai titik tertingginya dalam 25 tahun. Lebih dari 21.000 orang tewas atau terluka akibat kekerasan senjata di AS sepanjang tahun 2022. Menurut basis data yang dikelola oleh kelompok riset nirlaba Gun Violence Archive, setidaknya ada 130 penembakan massal telah terjadi di AS.
Pada kasus di Indonesia, jumlah kejahatan pada 2022 mencapai 276.507 kasus, meningkat 7,3 persen dibanding 2021. Angka 276.507 kasus itu terjadi dalam setahun. Apabila dibagi dalam durasi jam, maka rata-rata ada 31,5 tindak kejahatan per 60 menit (Cnnindonesia.com, 31/12/ 2022). Meskipun belum di-publish datanya, hingga akhir 2023 nanti diperkirakan jumlah kasus kejahatan di Indonesia akan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Tingginya problem sosial dan tingkat kejahatan telah menjadi problematika berkelanjutan dalam sistem Kapitalisme. Hukum yang dibuat berdasar undang-undang yang dibuat manusia ternyata tidak mampu memberikan solusi secara fundamental. Fakta-fakta kerusakan tersebut menunjukkan bahwa peradaban Kapitalisme memang sedang sakit keras.
Penutup
Politik demokrasi yang lahir dari ideologi Kapitalisme itu sejatinya kini menjadi alat penjajahan baru (neo-imperialisme) untuk menguasai negeri-negeri Muslim. Menarik apa yang diungkap William Blum (2013) pada bukunya, America’s Deadliest Export Democracy. Blum menyebut demokrasi merupakan alat dominasi Amerika Serikat beserta sekutunya terhadap seluruh dunia, termasuk Dunia Islam. Faktanya, negeri-negeri Muslim saat ini dalam kondisi terjajah, lemah, terbelakang, tereksploitasi, tentu sebagai dampak dari neo-imperialisme tersebut.
Melalui demokrasi, berbagai hukum dan undang-undang di negeri-negeri Muslim tidak lagi terikat pada ketentuan syariah. Hal itu menjadi jalan bagi Barat untuk mempengaruhi proses penetapan peraturan perundang-undangan demi kepentingan neo-imperialisme mereka. Melalui instrumen media massa, atas nama demokrasi, Barat sangat mudah mempengaruhi opini masyarakat dalam pemilihan pemimpin suatu negara.
Barat akan mengopinikan untuk memilih pemimpin yang bisa menerima paham-paham dari Barat seperti sekularisme, liberalisme, HAM, persamaan gender, LGBT, dan sejenisnya. Akibatnya, paham-paham itu berpengaruh dalam penetapan kebijakan dari pemimpin yang terpilih. Artinya, dominasi korporasi dan oligarki akan turut menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah negara serta akan seperti apa kebijakan negara tersebut.
Pada sisi ini, semakin nyatalah pentingnya dakwah yang berorientasi pada penerapan syariah Islam secara kaaffah. Satu peran politik penting umat Muslim adalah mendakwahkan dan menawarkan syariah itu sebagai solusi terhadap berbagai problem yang membelit negeri ini. Mulai dari problem akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial, keamanan, hingga problem politik. Hal itu juga sebagai wujud kepedulian umat Muslim pada negeri ini untuk mengakhiri berbagai kesengsaraan dan kerusakan yang diakibatkan oleh tatanan kapitalisme global. [Dr. M. Kusman Sadik]