Restorasi Kepemimpinan Indonesia untuk Mewujudkan Misi Perubahan

Prof. Pierre Suteki

Indonesia yang didirikan dengan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur kini menghadapi berbagai tantangan sebagai bangsa. Sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia, kita sedang dihadapkan pada ancaman tiga krisis; krisis pangan, krisis energi, dan krisis keamanan. Karena itu, isu tentang kepemimpinan bangsa ke depan merupakan hal krusial yang harus didiskusikan secara cermat dan hati-hati.

Agar tidak terjadi kekecewaan berulang karena pemimpin yang sebelumnya diidolakan ternyata tak sesuai harapan, kita perlu merestorasi (mengembalikan atau memulihkan) makna kepemimpinan agar kembali pada pengertian yang sejati: bahwa pemimpin negeri bukanlah seseorang yang diangkat sebagai petugas partai juga bukan sebagai raja yang berkuasa di atas negeri ini, tanpa kehendak untuk menomorsatukan kepentingan warga negara di atas kepentingan lainnya.

Ada banyak sekali teori dan konsep kepemimpinan di negeri ini, namun ada baiknya kita mengeksplorasi makna kepemimpinan “hikmat kebijaksanaan” sesuai yang dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945. Sebab, konsep tersebut masih terbuka untuk dieksplorasi dan dikembangkan untuk menjadi panduan bagi kita bersama.

Ada 3 permasalahan yang perlu didiskusikan dalam artikel ini, sbb:

Pertama, tentang maksud kepemimpinan “hikmat kebijaksanaan” itu dalam tataran makna yang lebih operasional.

Dalam Pembukaan UUD 1945 di alinea 4 kita mempunyai 4 tujuan nasional bangsa ini mendirikan pemerintah negara, yaitu:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

2. Memajukan kesejahteraan umum,

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Untuk itu dibentuk NKRI yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada: Pancasila. Sila keempat berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Kerakyatan dan rakyat berakar dari kata yang sama, ra’iyyat. Artinya, sekumpulan orang atau penduduk, atau komunitas yang terpimpin. Makna ini selaras dengan ujaran terkenal bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpin (rakyat)nya.

Kerakyatan mengarah pada konsep yang sepenuhnya bermuara pada rakyat. Pada sila keempat, kerakyatan dipahami sebagai prinsip yang mengutamakan rakyat. Secara operasional dapat dimaknai mengakui kedaulatan negara ada di tangan rakyat. Mengakui manusia Indonesia sebagai warga masyarakat dan warga negara punya kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Bermusyawarah untuk mencapai mufakat untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama dengan diliputi semangat kekeluargaan.

Lalu apa makna Hikmat Kebijaksanaan yang menjadi pemimpin kerakyatan?

Pengertian “Hikmah”:

Kata hikmat merupakan kata benda turunan dari kata kerja hakama-yahkumu-hukman-hikmatan. Hikmat berarti pengetahuan mendalam tentang hakikat sesuatu. Ini merupakan bentuk tunggal. Bentuk jamaknya, hikam atau hikmaat. Dari sini, kemudian muncul istilah ahli hikmat yang dalam budaya Nusantara sering dilekatkan pada seseorang yang memiliki kemampuan melihat sesuatu (lewat mata batin) yang melampaui mata awam.

Pembaharuan yang dilakukan tidak boleh lepas dari Ketuhanan seperti yg tersebut dlm perintah Tuhan dalam Kitab Suci (Al-Qur’an) dan harus sejajar dgn ikatan garis besar menurut adat pusaka Indonesia.

Pengertian “Kebijaksanaan”:

Kebijaksanaan merupakan jalan rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan dari watak anarkhi, liberalisme dan semangat penjajahan.

Itulah makna operasional kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Intinya: “Kepengurusan rakyat harus berdasar pada wahyu Illahi dan akal sehat.” Jadi, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dapat dipahami sebagai prinsip bahwa pemimpin harus memiliki bekal pengetahuan mendalam atas segala sesuatu yang digunakan secara arif, cermat, dan hati-hati. Jika sungguh-sungguh memegang prinsip hikmat kebijaksanaan, pemimpin akan dapat menghindari sikap sewenang-wenang, apalagi hanya mengutamakan kepentingan kelompoknya atau diri sendiri.

BerandaANALISISRestorasi Kepemimpinan Indonesia untuk Mewujudkan Misi Perubahan
Restorasi Kepemimpinan Indonesia untuk Mewujudkan Misi Perubahan
UnstoppableApril 28, 2023

 

TintaSiyasi.com — Indonesia yang didirikan dengan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur kini menghadapi berbagai tantangan sebagai bangsa. Sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia, kita sedang dihadapkan pada ancaman tiga krisis; krisis pangan, krisis energi, dan krisis keamanan. Karena itu, isu tentang kepemimpinan bangsa ke depan merupakan hal krusial yang harus didiskusikan secara cermat dan hati-hati.

Agar tidak terjadi kekecewaan berulang karena pemimpin yang sebelumnya diidolakan ternyata tak sesuai harapan, kita perlu merestorasi (mengembalikan atau memulihkan) makna kepemimpinan agar kembali pada pengertian yang sejati: bahwa pemimpin negeri bukanlah seseorang yang diangkat sebagai petugas partai juga bukan sebagai raja yang berkuasa di atas negeri ini, tanpa kehendak untuk menomorsatukan kepentingan warga negara di atas kepentingan lainnya.

Ada banyak sekali teori dan konsep kepemimpinan di negeri ini, namun ada baiknya kita mengeksplorasi makna kepemimpinan “hikmat kebijaksanaan” sesuai yang dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945. Sebab, konsep tersebut masih terbuka untuk dieksplorasi dan dikembangkan untuk menjadi panduan bagi kita bersama.

Ada 3 permasalahan yang perlu didiskusikan dalam artikel ini, sbb:

Pertama, tentang maksud kepemimpinan “hikmat kebijaksanaan” itu dalam tataran makna yang lebih operasional.

Dalam Pembukaan UUD 1945 di alinea 4 kita mempunyai 4 tujuan nasional bangsa ini mendirikan pemerintah negara, yaitu:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

2. Memajukan kesejahteraan umum,

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Untuk itu dibentuk NKRI yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada: Pancasila. Sila keempat berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Kerakyatan dan rakyat berakar dari kata yang sama, ra’iyyat. Artinya, sekumpulan orang atau penduduk, atau komunitas yang terpimpin. Makna ini selaras dengan ujaran terkenal bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpin (rakyat)nya.

Kerakyatan mengarah pada konsep yang sepenuhnya bermuara pada rakyat. Pada sila keempat, kerakyatan dipahami sebagai prinsip yang mengutamakan rakyat. Secara operasional dapat dimaknai mengakui kedaulatan negara ada di tangan rakyat. Mengakui manusia Indonesia sebagai warga masyarakat dan warga negara punya kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Bermusyawarah untuk mencapai mufakat untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama dengan diliputi semangat kekeluargaan.

Lalu apa makna Hikmat Kebijaksanaan yang menjadi pemimpin kerakyatan?

Pengertian “Hikmah”:

Kata hikmat merupakan kata benda turunan dari kata kerja hakama-yahkumu-hukman-hikmatan. Hikmat berarti pengetahuan mendalam tentang hakikat sesuatu. Ini merupakan bentuk tunggal. Bentuk jamaknya, hikam atau hikmaat. Dari sini, kemudian muncul istilah ahli hikmat yang dalam budaya Nusantara sering dilekatkan pada seseorang yang memiliki kemampuan melihat sesuatu (lewat mata batin) yang melampaui mata awam.

Pembaharuan yang dilakukan tidak boleh lepas dari Ketuhanan seperti yg tersebut dlm perintah Tuhan dalam Kitab Suci (Al-Qur’an) dan harus sejajar dgn ikatan garis besar menurut adat pusaka Indonesia.

Pengertian “Kebijaksanaan”:

Kebijaksanaan merupakan jalan rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan dari watak anarkhi, liberalisme dan semangat penjajahan.

Itulah makna operasional kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Intinya: “Kepengurusan rakyat harus berdasar pada wahyu Illahi dan akal sehat.” Jadi, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dapat dipahami sebagai prinsip bahwa pemimpin harus memiliki bekal pengetahuan mendalam atas segala sesuatu yang digunakan secara arif, cermat, dan hati-hati. Jika sungguh-sungguh memegang prinsip hikmat kebijaksanaan, pemimpin akan dapat menghindari sikap sewenang-wenang, apalagi hanya mengutamakan kepentingan kelompoknya atau diri sendiri.

Kedua, seperti apa kriteria kepemimpinan nasional yang tepat untuk mengatasi ancaman berbagai macam krisis di masa depan? Saya mengajukan 8 karateristik kepemimpinan untuk keperluan tersebut, yaitu:

1. Timbul Tenggelam Bersama Rakyat Bukan Timbul Tenggelam Bersama Oligarki.

Pada tahun 17 H terjadi Aam Ramadah ( tahun abu) di wilayah Hijaz, termasuk Mekah dan Madinah mengalami kemarau panjang, 9 bulan lebih tidak turun hujan sementara cuaca panas dan kering. Sehingga perkebunan dan peternakan nyaris hancur total. Kelaparan terjadi dimana mana. Banyak penduduk dusun (Badui) yang mengungsi ke Madinah untuk mencari makanan.

Khalifah Umar bin Khatab bahkan menyaksikan tidak ada lagi penduduk Madinah yang ngobrol dan bercengkrama, karena saking laparnya. Khalifah Umar pun segera bersurat kepada para gubernurnya, ke Amr bin Ash gubernur Mesir, Muawiyah bin Abu Sufyan gubernur Syam dan Saad bin Abi Waqas gubernur Irak dan beberapa gubernur lainnya agar mereka segera mengirim bantuan makanan dan pakaian ke wilayah Hijaz. Yang kemudian segera ditindaklanjuti oleh mereka. Umar pun bersumpah selama penduduk yang kelaparan ini belum bisa dientaskan maka dirinya hanya akan makan remahan roti dan minyak curah. Dia mengharamkan daging, susu dan minyak samin.

Umar yang warna kulitnya putih kemerahan sudah berubah menjadi hitam akibat kemarau panjang dan hanya menyantap remahan roti dengan minyak biasa, bahkan sering mengalami kelaparan. Sampai-sampai para penduduk Madinah berkata: “Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun Abu ini, kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin…” Hal ini tentu saja karena Umar sangat menepati sumpah dan janjinya untuk timbul dan tenggelam bersama rakyat. Janjinya bukan lipe servis.

2. Menjaga Marwah Negara dengan Membangun Kekuatan Strategis

Umar menjadi khalifah selama 13 tahun. Dibawah kepemimpinannya Islam menaklukan Mesir, Syam dan Persia (Irak dan Iran). Dimasanya, Umar melakukan reformasi di bidang militer, ekonomi dan administrasi negara. Kalender Hijriyah pun ditetapkan di zamannya.

3. Tegas, Tidak Plin-Plan

Khalifah Umar sangat memperhatikan masyarakat yang miskin. Beliau tak segan memikul gandum dipunggungnya sambil menenteng minyak ditangannya untuk masyarakat miskin. Meskipun kalau mau, dia bisa menyuruh stafnya atau melemparkan bantuan dari atas onta nya. Apalagi tampangnya pun bukan culun seperti orang kampung. Postur tubuhnya tinggi besar dan perangainya keras dan tegas. Tidak plan plin. Tetapi bukan berarti tidak bisa dinasihati. Karena setelah dipilih menjadi khalifah, dia mengadu kepada Allah, Ya Allah sesungguhnya perangaiku keras dan kata kataku kasar, maka lembutkanlah. Sehingga sejak menjadi khalifah, Umar perangainya halus dan kata katanya juga leboh lembut.

4. Mendengar Nasihat (Aspirasi Rakyat) dalam Ketakwaan

Imam Al-Qurthubi menceritakan pada suatu hari saat Umar bin Khattab menjadi khalifah, berjumpa dengan seorang perempuan di jalan. Saat itu, Umar diiringi banyak orang yang menunggang kuda.

Perempuan itu memintanya berhenti. Umar pun berhenti. Dan dinasihatilah Umar oleh perempuan itu. Ia berkata, “Hai Umar, dulu kau dipanggil Umair (Umar kecil), kemudian engkau dipanggil Umar, kemudian engkau dipanggil Amirul Mukminin, maka bertakwalah engkau, hai Umar. Karena barang siapa yang meyakini adanya kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan. Dan barang siapa yang meyakini adanya perhitungan (amal), maka ia pasti takut kepada siksa.” Umar bin Khattab menyimak nasihatnya sambil berdiri.

5. Tidak Nepotis, Kolutif dan Koruptif

Saat Umar bin Khatab sakit menjelang meninggal, sahabat Mughirah bertanya kepadanya, apakah engkau ingin anakmu Abdullah diangkat menggantikan mu sebagai khalifah? Umar menjawab dengan tegas: “Tidak, saya haramkan dari keluargaku untuk menduduki jabatan itu. Cukuplah Umar seorang yang menanggung beban berat ini…”

Umar yang kepemimpinan terkenal sangat adil dan perduli kesejahteraan rakyat pun masih sering mengadu, Ya Allah aku ridha bila masa kepemimpinan ku tidak berpahala, asalkan tidak dinilai dosa.

6. Taat pada Hukum dan Hakim

Banyak kasus yang ia tangani berakhir dengan sangat menakjubkan tanpa ada perpecahan di antara banyak pihak. Pengalaman perselisihan juga dialami Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Alkisah, Ali kehilangan baju besi miliknya. Baju besi mahal dan berharga itu ditemukan oleh seorang non-Muslim (dzimmi) dan hendak dijual di pasar. “Ini baju besiku yang jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘begini’,” kata Ali.

“Tidak, ini baju besiku karena ia ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin,” jawab dzimmi itu.

“Tak salah lagi, baju besi itu milikku. Aku tidak merasa menjual dan memberikannya pada orang lain. Dan sekarang tiba-tiba baju itu ada di tanganmu.”

“Di antara kita ada seorang hakim Muslim.”

“Engkau telah meminta keadilan. Mari kita ke sana.”

Keduanya lantas pergi ke Syuraih al-Qadhi. “Apa yang ingin Anda katakan, wahai Amirul Mukminin?”

“Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini karena benda itu benar-benar jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘ini’. Lalu, baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya.”

Sang hakim bertanya kepada si dzimmi, “Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?”

“Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah.”

Sang hakim menoleh ke arah Amirul Mukminin sembari berkata, “Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi.”

“Ya, saya sanggup. Budakku, Qanbar, dan anakku, Hasan, bisa menjadi saksi.”

“Namun, persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai Amirul Mukminin.”

“Maha Suci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi. Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah saw. bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?”

“Ya. saya mendengarnya, Amirul Mukminin. Hanya saja Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya.”

Khalifah lalu berkata pada si dzimmi, “Ambillah baju besiku karena aku tidak punya saksi lagi selain keduanya.”

Mendengar kerelaan Ali bin Abi Thalib, si dzimmi berujar, “Aku mengaku baju besi ini memang milik Anda, Amirul Mukminin,”

Ia lalu mengikuti sang Khalifah sambil berkata, “Amirul Mukminin membawa keputusan ke depan hakim. Dan, hakim memenangkan perkara ini untukku. Sungguh aku bersaksi bahwa agama yang mengatur perkara demikian ini adalah benar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammmad hamba dan utusan Allah! Ketahuilah wahai hakim, baju besi ini miliknya. Aku mengikuti tentaranya ketika mereka berangkat menuju Shiffin. Baju besi ini jatuh dari unta, lalu aku ambil.”

Ali bin Abi Thalib berkata, “Karena engkau telah masuk Islam, aku berikan baju ini padamu, berikut kudaku ini.” Beberapa waktu kemudian, laki-laki itu gugur sebagai syahid ketika ia ikut berperang melawan kaum Khawarij di Nahrawan.

7. BerandaANALISISRestorasi Kepemimpinan Indonesia untuk Mewujudkan Misi Perubahan
Restorasi Kepemimpinan Indonesia untuk Mewujudkan Misi Perubahan
UnstoppableApril 28, 2023

 

TintaSiyasi.com — Indonesia yang didirikan dengan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur kini menghadapi berbagai tantangan sebagai bangsa. Sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia, kita sedang dihadapkan pada ancaman tiga krisis; krisis pangan, krisis energi, dan krisis keamanan. Karena itu, isu tentang kepemimpinan bangsa ke depan merupakan hal krusial yang harus didiskusikan secara cermat dan hati-hati.

Agar tidak terjadi kekecewaan berulang karena pemimpin yang sebelumnya diidolakan ternyata tak sesuai harapan, kita perlu merestorasi (mengembalikan atau memulihkan) makna kepemimpinan agar kembali pada pengertian yang sejati: bahwa pemimpin negeri bukanlah seseorang yang diangkat sebagai petugas partai juga bukan sebagai raja yang berkuasa di atas negeri ini, tanpa kehendak untuk menomorsatukan kepentingan warga negara di atas kepentingan lainnya.

Ada banyak sekali teori dan konsep kepemimpinan di negeri ini, namun ada baiknya kita mengeksplorasi makna kepemimpinan “hikmat kebijaksanaan” sesuai yang dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945. Sebab, konsep tersebut masih terbuka untuk dieksplorasi dan dikembangkan untuk menjadi panduan bagi kita bersama.

Ada 3 permasalahan yang perlu didiskusikan dalam artikel ini, sbb:

Pertama, tentang maksud kepemimpinan “hikmat kebijaksanaan” itu dalam tataran makna yang lebih operasional.

Dalam Pembukaan UUD 1945 di alinea 4 kita mempunyai 4 tujuan nasional bangsa ini mendirikan pemerintah negara, yaitu:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

2. Memajukan kesejahteraan umum,

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Untuk itu dibentuk NKRI yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada: Pancasila. Sila keempat berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Kerakyatan dan rakyat berakar dari kata yang sama, ra’iyyat. Artinya, sekumpulan orang atau penduduk, atau komunitas yang terpimpin. Makna ini selaras dengan ujaran terkenal bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpin (rakyat)nya.

Kerakyatan mengarah pada konsep yang sepenuhnya bermuara pada rakyat. Pada sila keempat, kerakyatan dipahami sebagai prinsip yang mengutamakan rakyat. Secara operasional dapat dimaknai mengakui kedaulatan negara ada di tangan rakyat. Mengakui manusia Indonesia sebagai warga masyarakat dan warga negara punya kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Bermusyawarah untuk mencapai mufakat untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama dengan diliputi semangat kekeluargaan.

Lalu apa makna Hikmat Kebijaksanaan yang menjadi pemimpin kerakyatan?

Pengertian “Hikmah”:

Kata hikmat merupakan kata benda turunan dari kata kerja hakama-yahkumu-hukman-hikmatan. Hikmat berarti pengetahuan mendalam tentang hakikat sesuatu. Ini merupakan bentuk tunggal. Bentuk jamaknya, hikam atau hikmaat. Dari sini, kemudian muncul istilah ahli hikmat yang dalam budaya Nusantara sering dilekatkan pada seseorang yang memiliki kemampuan melihat sesuatu (lewat mata batin) yang melampaui mata awam.

Pembaharuan yang dilakukan tidak boleh lepas dari Ketuhanan seperti yg tersebut dlm perintah Tuhan dalam Kitab Suci (Al-Qur’an) dan harus sejajar dgn ikatan garis besar menurut adat pusaka Indonesia.

Pengertian “Kebijaksanaan”:

Kebijaksanaan merupakan jalan rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan dari watak anarkhi, liberalisme dan semangat penjajahan.

Itulah makna operasional kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Intinya: “Kepengurusan rakyat harus berdasar pada wahyu Illahi dan akal sehat.” Jadi, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dapat dipahami sebagai prinsip bahwa pemimpin harus memiliki bekal pengetahuan mendalam atas segala sesuatu yang digunakan secara arif, cermat, dan hati-hati. Jika sungguh-sungguh memegang prinsip hikmat kebijaksanaan, pemimpin akan dapat menghindari sikap sewenang-wenang, apalagi hanya mengutamakan kepentingan kelompoknya atau diri sendiri.

Kedua, seperti apa kriteria kepemimpinan nasional yang tepat untuk mengatasi ancaman berbagai macam krisis di masa depan? Saya mengajukan 8 karateristik kepemimpinan untuk keperluan tersebut, yaitu:

1. Timbul Tenggelam Bersama Rakyat Bukan Timbul Tenggelam Bersama Oligarki.

Pada tahun 17 H terjadi Aam Ramadah ( tahun abu) di wilayah Hijaz, termasuk Mekah dan Madinah mengalami kemarau panjang, 9 bulan lebih tidak turun hujan sementara cuaca panas dan kering. Sehingga perkebunan dan peternakan nyaris hancur total. Kelaparan terjadi dimana mana. Banyak penduduk dusun (Badui) yang mengungsi ke Madinah untuk mencari makanan.

Khalifah Umar bin Khatab bahkan menyaksikan tidak ada lagi penduduk Madinah yang ngobrol dan bercengkrama, karena saking laparnya. Khalifah Umar pun segera bersurat kepada para gubernurnya, ke Amr bin Ash gubernur Mesir, Muawiyah bin Abu Sufyan gubernur Syam dan Saad bin Abi Waqas gubernur Irak dan beberapa gubernur lainnya agar mereka segera mengirim bantuan makanan dan pakaian ke wilayah Hijaz. Yang kemudian segera ditindaklanjuti oleh mereka. Umar pun bersumpah selama penduduk yang kelaparan ini belum bisa dientaskan maka dirinya hanya akan makan remahan roti dan minyak curah. Dia mengharamkan daging, susu dan minyak samin.

Umar yang warna kulitnya putih kemerahan sudah berubah menjadi hitam akibat kemarau panjang dan hanya menyantap remahan roti dengan minyak biasa, bahkan sering mengalami kelaparan. Sampai-sampai para penduduk Madinah berkata: “Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun Abu ini, kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin…” Hal ini tentu saja karena Umar sangat menepati sumpah dan janjinya untuk timbul dan tenggelam bersama rakyat. Janjinya bukan lipe servis.

2. Menjaga Marwah Negara dengan Membangun Kekuatan Strategis

Umar menjadi khalifah selama 13 tahun. Dibawah kepemimpinannya Islam menaklukan Mesir, Syam dan Persia (Irak dan Iran). Dimasanya, Umar melakukan reformasi di bidang militer, ekonomi dan administrasi negara. Kalender Hijriyah pun ditetapkan di zamannya.

3. Tegas, Tidak Plin-Plan

Khalifah Umar sangat memperhatikan masyarakat yang miskin. Beliau tak segan memikul gandum dipunggungnya sambil menenteng minyak ditangannya untuk masyarakat miskin. Meskipun kalau mau, dia bisa menyuruh stafnya atau melemparkan bantuan dari atas onta nya. Apalagi tampangnya pun bukan culun seperti orang kampung. Postur tubuhnya tinggi besar dan perangainya keras dan tegas. Tidak plan plin. Tetapi bukan berarti tidak bisa dinasihati. Karena setelah dipilih menjadi khalifah, dia mengadu kepada Allah, Ya Allah sesungguhnya perangaiku keras dan kata kataku kasar, maka lembutkanlah. Sehingga sejak menjadi khalifah, Umar perangainya halus dan kata katanya juga leboh lembut.

4. Mendengar Nasihat (Aspirasi Rakyat) dalam Ketakwaan

Imam Al-Qurthubi menceritakan pada suatu hari saat Umar bin Khattab menjadi khalifah, berjumpa dengan seorang perempuan di jalan. Saat itu, Umar diiringi banyak orang yang menunggang kuda.

Perempuan itu memintanya berhenti. Umar pun berhenti. Dan dinasihatilah Umar oleh perempuan itu. Ia berkata, “Hai Umar, dulu kau dipanggil Umair (Umar kecil), kemudian engkau dipanggil Umar, kemudian engkau dipanggil Amirul Mukminin, maka bertakwalah engkau, hai Umar. Karena barang siapa yang meyakini adanya kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan. Dan barang siapa yang meyakini adanya perhitungan (amal), maka ia pasti takut kepada siksa.” Umar bin Khattab menyimak nasihatnya sambil berdiri.

5. Tidak Nepotis, Kolutif dan Koruptif

Saat Umar bin Khatab sakit menjelang meninggal, sahabat Mughirah bertanya kepadanya, apakah engkau ingin anakmu Abdullah diangkat menggantikan mu sebagai khalifah? Umar menjawab dengan tegas: “Tidak, saya haramkan dari keluargaku untuk menduduki jabatan itu. Cukuplah Umar seorang yang menanggung beban berat ini…”

Umar yang kepemimpinan terkenal sangat adil dan perduli kesejahteraan rakyat pun masih sering mengadu, Ya Allah aku ridha bila masa kepemimpinan ku tidak berpahala, asalkan tidak dinilai dosa.
Baca Juga
Akibat Framing Jahat: Bakal Capres Mana yang Alergi dengan Dakwah Khilafah Ajaran Islam?
Palestina Kembali Berduka di Bulan Ramadhan: Inikah Dampak Rutinitas Bar-Bar Kaum Zionis Israel?
Restorasi Kepemimpinan Indonesia untuk Mewujudkan Misi Perubahan
6. Taat pada Hukum dan Hakim

Banyak kasus yang ia tangani berakhir dengan sangat menakjubkan tanpa ada perpecahan di antara banyak pihak. Pengalaman perselisihan juga dialami Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Alkisah, Ali kehilangan baju besi miliknya. Baju besi mahal dan berharga itu ditemukan oleh seorang non-Muslim (dzimmi) dan hendak dijual di pasar. “Ini baju besiku yang jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘begini’,” kata Ali.

“Tidak, ini baju besiku karena ia ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin,” jawab dzimmi itu.

“Tak salah lagi, baju besi itu milikku. Aku tidak merasa menjual dan memberikannya pada orang lain. Dan sekarang tiba-tiba baju itu ada di tanganmu.”

“Di antara kita ada seorang hakim Muslim.”

“Engkau telah meminta keadilan. Mari kita ke sana.”

Keduanya lantas pergi ke Syuraih al-Qadhi. “Apa yang ingin Anda katakan, wahai Amirul Mukminin?”

“Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini karena benda itu benar-benar jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘ini’. Lalu, baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya.”

Sang hakim bertanya kepada si dzimmi, “Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?”

“Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah.”

Sang hakim menoleh ke arah Amirul Mukminin sembari berkata, “Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi.”

“Ya, saya sanggup. Budakku, Qanbar, dan anakku, Hasan, bisa menjadi saksi.”

“Namun, persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai Amirul Mukminin.”

“Mahasuci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi. Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?”

“Ya. saya mendengarnya, Amirul Mukminin. Hanya saja Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya.”

Khalifah lalu berkata pada si dzimmi, “Ambillah baju besiku karena aku tidak punya saksi lagi selain keduanya.”

Mendengar kerelaan Ali bin Abi Thalib, si dzimmi berujar, “Aku mengaku baju besi ini memang milik Anda, Amirul Mukminin,”

Ia lalu mengikuti sang Khalifah sambil berkata, “Amirul Mukminin membawa keputusan ke depan hakim. Dan, hakim memenangkan perkara ini untukku. Sungguh aku bersaksi bahwa agama yang mengatur perkara demikian ini adalah benar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammmad hamba dan utusan Allah! Ketahuilah wahai hakim, baju besi ini miliknya. Aku mengikuti tentaranya ketika mereka berangkat menuju Shiffin. Baju besi ini jatuh dari unta, lalu aku ambil.”

Ali bin Abi Thalib berkata, “Karena engkau telah masuk Islam, aku berikan baju ini padamu, berikut kudaku ini.” Beberapa waktu kemudian, laki-laki itu gugur sebagai syahid ketika ia ikut berperang melawan kaum Khawarij di Nahrawan.

7. Kepemimpinan Karismatik

Karismatik merupakan kata yang memiliki bentuk dasar kata karisma, artinya pesona atau daya tarik seseorang pada orang lain.

Dengan demikian, bentuk kepemimpinan yang satu ini menekankan pada kemampuan seorang pemimpin dalam menarik hati para pengikut atau bawahannya. Hal tersebut berkat karisma serta pesona yang menonjol hingga mampu memberikan inspirasi pada para pengikut atau bawahannya.

Hal tersebut berkat karisma serta pesona yang menonjol hingga mampu memberikan inspirasi pada para pengikut atau bawahannya. Maka dari itu menurut para ahli di banyak makalah, pemimpin yang memiliki pesona tersebut akrab disebut dengan pemimpin karismatik.

Secara umum biasanya pemimpin yang memilih gaya dan metode karismatik ini memiliki karakteristik atau ciri-ciri seperti berikut ini.

(1) Ciri yang paling utama yaitu visioner, dimana pemimpin akan merencanakan semua keputusan dengan bijaksana demi masa depan yang lebih baik.

(2) Pemimpin dengan gaya ini cukup kreatif dan mampu memikirkan segala sesuatu di luar kotak.

(3) Umumnya mereka dapat melihat serta menerima masalah sebagai tantangan yang menarik untuk diselesaikan.

(4) Pemimpin seperti ini juga memiliki kepribadian yang kuat dan penuh rasa percaya diri. Sehingga tidak heran jika para pengikutnya setia dalam mengikuti dan menerima seluruh arahannya.

(5) Pemimpin yang karismatik juga rendah hati dan termasuk sangat peka terhadap sekitarnya. Mereka selalu mencoba untuk tidak melukai perasaan orang lain.

(6) Karakteristik lainnya yaitu berani mengambil resiko dalam mewujudkan visi dan misi secara optimal.

(7) Pemimpin dengan model seperti ini juga merupakan komunikator yang handal. Mereka dapat mengkomunikasikan maksud dan tujuan mereka dengan baik melalui pidato dan kata-kata yang menghanyutkan.

(8) Ciri berikutnya yaitu mampu menjadi agen perubahan yang membawa pengikutnya menuju pada masa depan yang lebih baik.

(9) Pemimpin karismatik juga pantang menyerah dan tidak putus asa dalam menjalankan visi dan misinya. Meskipun membutuhkan perjuangan besar yang sulit, namun umumnya mereka tidak mudah merasa takut akan kegagalan begitu saja.

(10) Karakteristik menonjol lainnya termasuk mudah merasa bangga terhadap diri sendiri yang membuat mereka merasa puas dan bahagia dengan pencapaiannya.

8. Berani Mundur Jika Sudah Tidak Dipercaya

Melalui Tap MPR No VI Tahun 2001, MPR menyarankan pejabat yang merasa melanggar aturan mengundurkan diri. Dalam norma MPR tersebut ada konsensus yang menyatakan pejabat yang melanggar aturan sebaiknya mengundurkan diri.

Proses pengunduran diri ini juga dilindungi secara konstitusional, berdasarkan Tap MPR RI No. VI/MPR-RI/2001 tentang etika kehidupan berbangsa. Dalam Tap MPR ini, diatur pokok-pokok Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam bagian etika politik dan pemerintahan, disebutkan bahwa:

“Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”

“Etika ini diwujudkan dalam sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif, dan tindakan tidak terpuji lainnya.”

Ketiga, apa yang harus disiapkan oleh organisasi seperti sukarelawan dan kalangan lain (misalnya kalangan politik atau bisnis atau akademik, sesuai background pembicara) dalam mempersiapkan munculnya kepemimpinan nasional yang diidam-idamkan rakyat?

Kepemimpinan nasional bukan sesuatu yg jatuh dari langit melainkan ia tumbuh berkembang bersama dan di tengah rakyat dengan segala amanat penderitaan rakyatnya. Sosoknya juga bukan satrio piningit, tetapi ia telah timbul tenggelam bersama rakyat, dan sosok ini biasanya jumlahnya hanya sedikit yang bisa dihasilkan dalam sebuah wadah yg sifatnya minoritas kreatif (creative minority).

Kelompok mana yang berpotensi menjadi creative minority yang berfungsi untuk melakukan perubahan (bukan hanya sebagai the agent of change tetapi menjadi the leader of change.

Sebagaimana Sabda Rasululloh dalam HR Muslim yang artinya: “Jika di antara kamu melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu, dan jika kamu tidak cukup kuat untuk melakukannya, maka gunakanlah lisan, namun jika kamu masih tidak cukup kuat, maka ingkarilah dengan hatimu karena itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).

Maka, Perubahan itu bisa meliputi:

1. Perubahan Struktur (dengan tangan)
2. Perubahan Kultur (dengan lidah)
3. Perubahan Mobilitas Massa (dengan hati)

Syarat agar Creative Minority mampu menjadi the leader of change:

1. Kukuh akidahnya
2. Kuat Ibadahnya
3. Pecinta Ilmu
4. Zuhud

Kelompok apa pun saya kira sejak dini harus menjadi creative minority yang mampu menjaring dan melahirkan sosok leader yang gaya kepemimpinannya karismatik.

Sanggupkah menjadi creative minority dengan keempat karakteristik tersebut? Jika tidak, jangan pernah berharap dapat menghasilkan, melahirkan sosok pemimpin yang dapat mengatasi krisis di bidang pangan, energi, moral serta hukum dan keamanan di Indonesia.

Siapakah gerangan bakal calon presiden Pilpres 2024 yang memiliki karakteristik kepemimpinan kharismatik dan termasuk dalam creative minority yang diprediksikan mampu mengubah peradaban bangsa Indonesia? Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo ataukah Prabowo Subianto? Hati dan pikiran jernih Anda yang mampu menjawabnya! Tabuk!

(Artikel dirangkum dari berbagai sumber)

Semarang, 28 April 2023

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi