Politik Identitas Kembali Dipersoalkan: Benarkah Akan Menghambat Jalannya Perjuangan Dakwah Islam Kaffah?

Oleh: Christiono

”Apa yang salah dengan politik identitas …?” Sebuah pertanyaan yang menggelitik terlontar menanggapi dipersoalkannya kembali politik identias. Deputi Pengkajian Strategik Lemhannas RI, Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P., mengatakan pada acara Focus Group Discussion (FGD) kajian strategis jangka panjang dengan judul “Pengaruh Politik Identitas terhadap Demokrasi di Indonesia,” pada Rabu (03/03/2021), “Kehidupan bangsa Indonesia menghadapi tantangan, salah satunya adalah merebaknya politik identitas.” Politik identitas yang merebak adalah adanya sikap yang mengedepankan golongan atau simbol tertentu guna mendapatkan pengaruh politik.

Padahal sejatinya, semua hal di dunia ini pastilah memiliki identitas. Dengan identitas itulah, dia dikenal. Ada yang secara iseng mengatakan bahwa sesuatu yang tidak memiliki identitas atau identitasnya meragukan dinamakan ”banci,” padahal bukankah itu pun adalah identitas bagi dirinya?

Jadi kesimpulannya, semua hal pasti memiliki identitas. Masalahnya adalah seberapa besar dia menyadari akan identitas yang dimiliki dan seberapa istikamah dia bertingkah laku sesuai dengan identitasnya tersebut. Maka, menjadi naif ketika ada yang mempersoalkan identitas terhadap apa atau siapa pun dia. Karena, identitas itu merupakan sesuatu yang inheren dalam diri setiap sesuatu.

Bermula dari kemenangan Anies Baswedan dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 ketika berhadapan dengan gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal dengan sebutan Ahok, istilah politik identitas mulai digemakan. Pihak yang berlawanan dengan gubernur terpilih, Anies Baswedan, mempermasalahkan politik identitas sebagai biang keladi kemenangannya dan menganggap itu adalah sesuatu yang buruk yang tidak layak untuk dilakukan. Setelah itu, sampai hari ini orang atau lembaga, khususnya yang terafiliasi dengan kekuasaan selalu mengungkit-ungkit masalah politik identitas tersebut khususnya di saat menjelang pilkada, pemilihan anggota legislatif, maupun pilpres.

Namun, karena pihak yang disasar oleh isu politik identitas tersebut adalah umat Islam, khususnya yang mengusung dakwah penegakan syari’at Islam, maka mau tidak mau, hal ini akan berimplikasi terhadap jalannya dakwah tersebut. Dakwah yang tujuannya adalah agar ajaran Islam bisa diamalkan secara menyeluruh (kaffah) tersebut akan banyak mengalami hambatan, tantangan, bahkan perlawanan dari pihak penguasa dengan cara membuat aturan-aturan yang mempersempit dan mempersulit ruang gerak dakwah Islam kaffah.

Mereka beralasan bahwa dakwah Islam kaffah tersebut meresahkan dan menakutkan masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya perpecahan di masyarakat. Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, sudah seharusnya para tokoh Islam dan ulama bertemu dan duduk bersama membahas strategi apa yang akan dilakukan karena dampaknya cukup signifikan dalam menghambat gerak dakwah Islam kaffah yang sangat dibutuhkan oleh umat. Dialog dengan pihak penguasa juga sangat dibutuhkan untuk membuat semua permasalahan menjadi jelas sehingga solusi yang akan dihasilkan bisa optimal dan berdaya guna.

Politik Identitas Kembali Dipersoalkan dan Menyasar Islam Kaffah

1. Pengertian politik identitas

Identitas diri pada dasarnya merupakan suatu perasaan subjektif mengenai dirinya sendiri yang didalamnya memiliki ciri, sifat atau karakter. Dalam konteks sosial, identitas diartikan sebagai pemaknaan keberadaan diri seseorang dalam interaksinya dengan lingkungan sosial sehingga menjadi penghubung antara individu dengan masyarakat.

Dari pemahaman tersebut, maka muncul konsep identitas sosial 7sebagai pemaknaan akan kesamaan sifat, ciri, atau karakter terhadap suatu kelompok tertentu dalam masyarakat yang didasarkan atas kesamaan simbol seperti pakaian, kepemilikan, pemikiran dan lain sebagainya, dengan begitu identitas sosial dimaknai sebagai aktivitas menyamakan simbol oleh satu individu dengan individu lain yang kemudian akan membentuk kelompok yang didasarkan atas kesamaan tertentu, hal ini juga dimaksudkan menjadi pembeda simbolik dengan kelompok lainnya yang pada akhirnya membentuk sifat persamaan dan perbedaan antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial yang lainnya.

Kajian identitas dalam konteks politik dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu identitas politik (political identity) dan politik identitas (political of identity). Identitas politik diartikan sebagai konstruksi yang akan menentukan posisi kepentingan dalam suatu komunitas atau masyarakat. Sedangkan politik identitas merujuk kepada suatu mekanisme pengorganisasian identitas.

Politik identitas secara umum difokuskan kepada proses menemukan perbedaan-perbedaan yang didasarkan kepada simbol tertentu seperti kondisi fisik/ras, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Meskipun demikian praktiknya identitas politik dan politik identitas memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Politik identitas mendasarkan dirinya kepada identitas politik yang telah dimiliki, baik berupa latar belakang keturunan/etnisitas maupun dari latar belakang yang secara sengaja dibentuk seperti latar belakang pendidikan, ekonomi dan kultur.

Politik identitas lahir didasarkan kepada 2 (dua) tujuan, pertama, sebagai alat untuk menentukan posisi seseorang atau politisi yang akan menjadi ciri kesamaan dengan kelompok tertentu, sehingga selain akan memunculkan sikap kepemilikan/belonging juga akan memunculkan sikap dukungan dari kelompok yang dimaksud. Kedua, sebagai alat yang sengaja dibuat untuk mempertegas perbedaan identitas dengan kelompok lainnya, dalam prakteknya hal ini digunakan untuk menunjukan superioritas terhadap kelompok yang dianggap lemah atau secara kuantitas merupakan minoritas, baik itu didasarkan asal-usul suku, agama maupun pembeda lainnya, sehingga akan memunculkan terminologi minoritas dan mayoritas atau asli pribumi dan pendatang.

Tuntutan terhadap politik identitas dalam konteks perebutan kekuasaan semakin terbuka mengingat desakan akan keberpihakan kelompok mayoritas yang ada di masyarakat untuk senantiasa mendukung posisi politiknya, terlebih dalam karakterstik masyarakat yang heterogen dengan adopsi terhadap stratifikasi sosial yang kuat akan semakin menumbuhkan politik identitas.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari beberapa ahli seperti Morowitz (1998) yang menyatakan bahwa politik identitas adalah pemberian garis secara tegas yang ditujukan untuk menentukan kelompok mana yang akan diterima atau disertakan dan kelompok mana yang akan ditolak. Dengan begitu akan memunculkan manipulasi perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya yang pada akhirnya ditujukan untuk memperoleh dukungan agar apa yang menjadi tujuan politiknya dapat tercapai.(Dian Herdiana, “Pengertian Politik Identitas,” kompasiana.com, Maret 2020)

2. Politik identitas di bawah bayang-bayang Islamofobia.

Tidak bisa dipungkiri lagi, aroma Islamofobia semakin hari semakin semerbak seakan terus dikipasi dengan tujuan pasti: deskralisasi Islam! Agama Islam dijadikan target untuk dibidik agar ajarannya dibatasi hanya sekedar ritual ibadah saja, sebagaimana pernah dikatakan oleh Bapak Bangsa kita Moh. Natsir, ”Umat Islam beribadah dibiarkan, umat Islam berekonomi diawasi, umat Islam berpolitik diberantas sampai ke akar-akarnya.”

Virus Islamofobia inilah sepertinya yang melatarbelakangi dipersoalkannya kembali masalah politik identitas, sehingga kesan bahwa hanya umat Islam yang dibidik, menjadi sangat kuat. Pihak-pihak yang mempersoalkan politik identitas tersebut mungkin beranggapan bahwa masyarakat merasa ketakutan dengan hadirnya dakwah Islam kaffah sehingga merasa perlu untuk membatasinya dengan membangun narasi-narasi negatif terhadap Islam kaffah khususnya dan tentu berdampak kepada ajaran Islam itu sendiri. Narasi-narasi negatif terhadap Islam tadi mempunyai maksud agar masyarakat menolak partai politik yang menyerukan ajaran Islam kaffah dan agar lebih mengedepankan masalah kemanusiaan menurut versi mereka sendiri yang cenderung kepada paham humanisme.

Dampak dari Dipersoalkannya Kembali Isu Politik Identias Bagi Perjuangan Islam kaffah

Perjuangan umat Islam untuk menegakkan Syari’at Islam dimaksudkan agar umat Islam bisa mengamalkan ajaran agamanya secara kaffah (menyeluruh), bukan seperti keadaannya sekarang ini yang lebih banyak diamalkan secara prasmanan, dipilih mana yang mengenakkan bagi dirinya diambil yang tidak mengenakkan ditinggalkan. Dengan menyematkan istilah politik identitas terhadap dakwah Islam kaffah khususnya dalam konteks politik, diharapkan masyarakat akan menjauhi partai politik yang beridentitas Islam dan memperjuangkan Islam. Juga mereka mengharapkan semua partai politik yang ada untuk meninggalkan identitas Islam dan tidak menggunakan simbol-simbol Islam dalam aktifitas politiknya.

1. Menghambat jalannya dakwah Islam kaffah di masyarakat yang dilakukan melalui partai politik.

Partai politik yang memperjuangkan ditegakkannya Syari’at Islam agar umat bisa mengamalkan ajaran Islam secara kaffah akan dibatasi ruang geraknya dalam beraktifitas yang membawa atau mendakwahkan Islam kepada konstituennya. Narasi negatif terhadap politik identitas tersebut juga akan menjadikan setiap aktifitas yang bernuansa Islam bisa dituduh sebagai melakukakan politik identitas, misalnya partai politik mengadakan kegiatan pengajian atau acara keagamaan yang lain. Partai politik juga akan dicurigai melakukan politik identitas ketika diketahui mengadakan pertemuan dengan tokoh Islam atau Ulama yang dianggap mendakwahkan Islam kaffah.

Padahal kalau diperhatikan kancah perpolitikan di Indonesia, bisa dikatakan semua partai politik yang ada mempraktekkan apa yang mereka sebut dengan politik identitas tersebut. Lihatlah apa yang dilakukan para tokoh politik dari semua partai yang mendadak berperilaku Islami dengan mengenakan berbagai atribut fisik seperti memakai hijab dan bergamis, memakai peci dan bersorban, mengunjungi pondok pesantren dan lain-lainnya yang bahkan dilakukan juga oleh tokoh politik yang nonmuslim. Mereka saling berebut dukungan dari umat Islam hanya sebatas untuk meraih suara dan memenangkan kontestasi, setelah itu dilupakan.

2. Narasi negatif terhadap politik identitas memberi peluang bagi kelompok yang tidak menginginkan ditegakkannya Syari’at Islam untuk terus merapat kepada ideologi modern yang banyak bertentangan dengan Islam.

Ideologi yang ada seperti Kapitalisme dan Sosialisme beserta semua turunannya sepertinya sudah dijadikan rujukan utama banyak orang saat ini termasuk sebagian besar umat Islam. Mereka dengan berbagai alasan, yang tentunya tidak berdasarkan ajaran Islam, selalu menentang diberlakukannya Syari’at Islam dan membenci pejuang dakwah Islam kaffah. Mereka beragama Islam tetapi memilih yang sesuai dengan ideologi lain seperti humanisme, feminisme, pluralisme dan lain-lain.

Dengan adanya narasi negatif yang dibangun oleh penguasa terhadap politik identitas, orang-orang ini akan merasa senang karena apa yang menjadi kepercayaannya menjadi aman dari celaan dan koreksi yang dilakukan oleh para pejuang dakwah Islam kaffah. Mereka merasa bahwa negara melindunginya dalam meyakini paham kemanusiaan sesuai azas ideologi-ideologi selain Islam tersebut. Tentunya hal tersebut menjadi hambatan bagi pejuang dakwah Islam kaffah dalam mengajak mereka untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar secara menyeluruh, tidak setengah-setengah.

3. Memberikan legitimasi kepada penguasa untuk menekan dakwah Islam kaffah.

Dengan disebarkannya opini kepada masyarakat bahwa partai politik yang melakukan politik identitas itu adalah buruk dan menyalahi aturan, pihak penguasa berharap bisa mendapatkan legitimasi dari rakyat untuk menekan dan melarang politik identitas dipakai oleh partai politik. Mereka kemudian memperkuatnya dengan membuatkan aturan-aturan yang membatasi ruang gerak para pejuang dakwah Islam kaffah dalam melakukan aktifitas dakwahnya. Kondisi yang demikian itu akan semakin menyulitkan para pejuang dakwah Islam kaffah dan berpotensi semakin menjauhnya umat Islam dari jangkauan dakwah.

Strategi yang Sebaiknya Dilakukan Umat Islam dalam Menyikapi Persoalan Politik Identitas

Upaya dari pihak-pihak yang tidak menyukai ditegakkannya Syari’at Islam untuk menghambat, menentang bahkan melarang para pejuang dakwahnya beraktifitas menyerukan ajakan untuk mengamalkan Islam kaffah semakin hari terasa semakin intensif dilakukan. Berbagai cara dilakukan mulai dari yang halus sampai kasar, melalui penyebaran opini negatif mengenai Islam kaffah serta melalui penerbitan aturan-aturan yang menghambat aktifitas dakwah Islam kaffah. Oleh karena itu umat Islam harus memberi respon yang memadai agar keadaan seperti ini bisa segera didihentikan dan diperbaiki demi tercapainya tujuan untuk menegakkan Syari’at Islam.

1. Melakukan instropeksi diri dan mengevaluasi strategi dakwah Islam kaffah yang telah dan sedang dilakukan.

Apabila kita menelisik ke belakang untuk mencari tahu tentang penyebab dari dibuatnya opini negatif terhadap ajaran Islam kaffah antara lain dengan memberikan definisi secara peyoratif terhadap politik identitas, adalah karena persangkaan mereka bahwa dakwah Islam kaffah mengakibatkan ketakutan dan membuat masyarakat terpecah. Mereka selalu memberikan contoh beberapa praktek dakwah Islam yang dilakukan dengan cara ‘kasar’ antara lain dengan penyematan istilah ”bid’ah” terhadap beberapa praktik yang selama ini telah dilakukan oleh sebagian umat Islam, menganggap kafir sesama Muslim yang berbeda pendapat dan dakwah yang dianggap intolern serta praktek-praktek dakwah ‘keras’ lainnya. Dasar pemikiran yang selalu mereka gaungkan adalah masalah kemanusiaan sesuai paham humanisme, pluralisme dan juga feminisme atau kesetaraan gender.

Dengan melihat latar belakang alasan seperti yng disebutkan di atas, maka respon pertama yang perlu dilakukan oleh umat Islam terutama para tokoh Islam dan Ulama adalah dengan melakukan instropeksi ke dalam diri umat Islam sendiri, melihat dengan jujur seperti apa metode dakwah yang selama ini dilakukan. Bisa jadi dalam praktek dakwah yang dilakukan memang terdapat hal-hal yang perlu diadakan perbaikan atau penyempurnaan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapi. Substansi dakwah adalah untuk mengajak orang yang berada di ‘luar’ kelompok kita agar bersedia mendekat sehingga apa yang ingin kita tawarkan kepada mereka bisa lebih mudah dilakukan.

2. Memberikan dukungan penuh terhadap partai politik yang menjadikan dakwah Islam sebagai tujuan.

Salah satu tujuan dipersoalkannya politik identitas adalah supaya partai politik yang menyuarakan penegakan Syari’at Islam menjadi tidak laku dan dijauhi oleh umat Islam yang merupakan warga negara mayoritas di negeri ini. Partai politik yang bersangkutan digiring untuk meninggalkan asas Islam dan meninggalkan aktifitas dakwah Islamnya, atau paling tidak dibatasi ruang geraknya dalam berkiprah dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Salah satu aturan itu adalah adanya ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik sebagai syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau disebut dengan istilah ”Presidential Treshold”.

Oleh karena itu umat Islam harus meresponnya dengan memberikan dukungan penuh terhadap partai politik tersebut agar bisa melewati ambang batas yang ditentukan sehingga memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan perannya dalam memperjuangkan dakwah Islam. Potensi kekuatan umat Islam Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas sebenarnya sangat luar biasa besarnya jika disatukan. Momentum dibebaskannya secara bersyarat Imam Besar sudah seharusnya dijadikan titik tolak untuk menggalang persatuan agar bisa tersusun agenda perjuangan bersama dalam segala bidang, baik dari dalam maupun luar sistem.

3. Melakukan dialog yang intensif dengan pihak penguasa untuk mendapatkan gambaran yang jernih dan komprehensif atas segala permasalahan yang dihadapi umat Islam.

Hambatan dakwah Islam kaffah yang paling besar tentu saja datangnya adalah dari pihak penguasa yang bisa membuat aturan-aturan dan memiliki aparat yang bisa mengawal dipatuhinya aturan-aturan tersebut, serta sarana dan prasarana untuk melakukan semua itu. Maka menjadi sesuatu yang sangat perlu dilakukan untuk mengadakan dialog dengan pihak penguasa agar didapat gambaran yang komprehensif tentang permasalahan yang dihadapi baik oleh pihak penguasa maupun oleh umat Islam. Tanpa adanya penjelasan secara langsung oleh masing-masing pihak yang terlibat, yang akan terjadi adalah saling curiga karena semua hanya didasari oleh masing-masing prasangka yang didapatkan dari pihak kedua.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi