PILKADA ALA DEMOKRASI VS PILKADA ALA KHILAFAH

Muhammad Ayyubi ( Direktur Mufakkirun Siyasiyyun Community )

Lazimnya sebuah sistem pemerintahan, pastilah ada struktur pemerintahan di level provinsi atau kota/kabupaten yang kepala pemerintahannya disebut gubernur atau walikota.

Begitu pula di dalam sistem Khilafah, ada struktur pemerintahan di level provinsi atau kota/kabupaten yang kepala pemerintahannya disebut dengan wali dan amil.

Tetapi berbeda dengan sistem demokrasi di mana kepala daerah di pilih secara langsung oleh rakyat. Cara seperti ini meniscayakan politik berbiaya tinggi, karena setiap calon kepala daerah harus membentuk tim sukses dari tingkat kota hingga desa serta rawan konflik horizontal.

Belum lagi biaya kampanye dan alat alat peraga yang tidak sedikit nilainya. Semakin luas wilayah semakin besar biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap calon. Rata rata biaya yang diperlukan setiap calon kepala daerah untuk bisa mengikuti kontestasi pilkada berkisar antara Rp. 30 miliar hingga Rp. 100 miliar.

Pada sisi inilah biasanya para oligarki akan datang menawarkan sponsor pembiayaan. Dan ini tidak gratis, ada kompensasi proyek proyek strategis jika berhasil menjadi kepala daerah.

Alhasil, kepala daerah yang lolos otomatis menghamba kepada kepentingan oligarki bukan pada kepentingan rakyat.

Sementara dilihat pemasukan dari gaji rata rata kepala daerah Rp 200 juta kali 12 (bulan), Rp 2,4 (miliar), lima tahun Rp 12 miliar. Pastilah nilai sebesar itu belum cukup untuk mengganti biaya kampanye. Jadi, bagaimana cara mereka balik modal? Pastilah dengan korupsi.

Tidak heran jika pada tahun 2021 saja menurut Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengatakan ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang terjerat kasus korupsi.

Pilkada ini semakin diperparah dengan praktik money politik setiap calon yang semakin terang terangan. Rakyat semaakin pragmatis, mumpung masih calon mereka akan meminta apa saja kepada calon kepala daerah karena kalau sudah duduk di pemerintahan pasti lupa.

Momentum ini dimanfaatkan para calon untuk menyuap rakyat dan mereka merasa memberikan kepada rakyat haknya dan segera melupakan ketika menjabat, ibarat kuali yang ketemu tutupnya, klop.

Pilkada Dalam Islam.

Hal ini berbeda dengan sistem Khilafah. Para kepala daerah di tunjuk langsung oleh Khalifah. Mereka akan bertanggung jawab langsung kepadanya.

Khalifah sebagai pihak yang telah mengangkatnya akan senantiasa mengontrol aktivitas mereka. Selain itu majelis wilayah berhak memberi masukan yang bersifat mengikat atas kinerja para wali dan amil di daerah.

Kepala daerah yang diangkat akan bekerja fokus demi kepentingan rakyat tidak ada politis balas jasa dan sejenisnya kepada oligarki.

Kepala daerah hanya bertanggung jawab kepada Khalifah yang telah mengangkatnya. Mereka terikat akad dengan Khalifah untuk melaksanakan syariah Islam di level provinsi atau kota/kabupaten.

Metode pengagkatan kepala daerah seperti ini menihilkan biaya dan hura hura pada saat kampanye. Juga akan meniadakan konflik horizontal yang seringkali terjadi di dalam pilkada demokrasi.

Sungguh, syariah Islam yang diturunkan oleh Allah ini mengandung banyak kemaslahatan bagi manusia. Meski kadang mereka tidak memahaminya. Dalam kaidah fiqh disebutkan

حيثما تكون الشرع تكون المصلحة

Manakala ada syara’ makan di sana ada kemaslahatan.

Pilkada di dalam Khilafah akan melahirkan berkah dan rahmah bagi seluruhnya, baik untuk pejabatnga dan rakyat di bawah. Karena Syariah meniscayak itu semua. In sya Allah [].

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi