Pendidikan Berkualitas dan Gratis

Di Eropa, sebelum era pencerahan di Abad 18, pendidikan adalah tanggung jawab orangtua dan gereja.  Setelah revolusi Prancis dan Amerika, baru pendidikan didirikan sebagai fungsi publik. Negara dibuat berperan lebih aktif dalam pendidikan agar pendidikan tersedia dan terakses oleh semua. Pendidikan, yang sejauh itu baru tersedia untuk kelas sosial atas, diubah menjadi sarana mewujudkan cita-cita egaliter dua revolusi tersebut.

Negara memberlakukan undang-undang yang mewajibkan anak-anak bersekolah. Selain itu, undang-undang pekerja anak diberlakukan untuk membatasi jumlah jam perhari anak-anak dapat dipekerjakan. Tujuannya untuk memastikan anak-anak bersekolah. Negara terlibat dalam regulasi kurikulum dan menetapkan standar pendidikan minimum.

Sebagian pemikir liberal Abad 19 masih menunjukkan bahayanya keterlibatan negara yang terlalu banyak dalam pendidikan. Namun, di sisi lain, mereka mengandalkan intervensi negara untuk mengurangi dominasi gereja, dan untuk melindungi hak atas pendidikan anak-anak dari orangtua mereka sendiri.

Pada paruh kedua abad-19, hak pendidikan dimasukkan dalam undang-undang “hak domestik”. Konstitusi 1849 Jerman sangat mempengaruhi Eropa berikutnya dan mengabdikan Pasal 152 sampai 158 dari undang-undang hak atas pendidikan. Konstitusi mengakui pendidikan sebagai fungsi negara, independen dari gereja.

Hebatnya pada saat itu, konstitusi memproklamasikan hak atas pendidikan gratis bagi masyarakat miskin, tetapi konstitusi tidak secara eksplisit mewajibkan negara mendirikan institusi pendidikan.  Konstitusi melindungi hak warga negara untuk mendirikan dan menjalankan sekolah dan menyediakan pendidikan di rumah.  Konstitusi juga memberikan kebebasan ilmu pengetahuan dan pengajaran serta menjamin hak setiap orang untuk memilih pekerjaan dan melatihnya.

Apa Abad 19 muncul teori sosialis. Teori ini menyatakan bahwa tugas utama negara adalah menjamin kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat melalui intervensi dan regulasi. Teori sosialis mengakui bahwa tiap individu berhak atas layanan kesejahteraan dasar dari negara dan pendidikan dipandang sebagai salah satu dari hak ini.  Ini berbeda dengan teori liberal saat itu. Teori ini menganggap aktor non-negara sebagai penyedia utama pendidikan.

Cita-cita sosialis diabadikan dalam UUD 1936 Soviet. Ini merupakan konstitusi pertama yang mengakui hak atas pendidikan dengan kewajiban negara yang sesuai untuk menyediakan pendidikan semacam itu. Konstitusi menjamin pendidikan gratis dan wajib di semua tingkatan, sistem beasiswa negara dan pelatihan kejuruan di perusahaan negara.

Selanjutnya, hak atas pendidikan tampil kuat dalam konstitusi negara-negara sosialis. Sebagai tujuan politik, hak atas pendidikan dinyatakan dalam pidato F. D. Roosevelt di Amerika tahun 1944 tentang Bill of Rights Kedua.

Selanjutnya bisa kita lihat hingga hari ini.  Kebijakan negara-negara di dunia dalam penyelenggaraan pendidikan dapat dikelompokkan dalam empat kluster.

Pertama: Yang menerapkan kebijakan kapitalis parsial. Negara mendirikan dan mensubsidi pendidikan negeri, juga mensubsidi sebagian pendidikan swasta.  Pendidikan negeri masih memungut biaya sebagai “partisipasi” orangtua, walaupun ada juga yang dikembalikan ke siswa miskin sebagai subsidi silang.  Adapun pendidikan swasta ditantang untuk berkompetisi bebas. Mereka yang dinilai berkualitas (terakreditasi) akan mendapat murid dan bertahan, bahkan bisa berkembang. Praktik seperti ini terjadi di Indonesia, Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara persemakmuran.  Dari PAUD hingga perguruan tinggi.

Di Amerika Serikat, beberapa kampus top menerapkan subsidi silang bahkan dengan ekstrem. Mereka memungut biaya sangat tinggi dari orang-orang yang mampu membayar dan menggratiskan sama sekali (bahkan memberi beasiswa penuh) kepada orang-orang sangat cerdas yang tak sanggup membayar.  Contoh kampus ini adalah MIT, Standford, Harvard, dan sebagainya.

Kedua: Yang menerapkan kebijakan sosialis murni: gratis.  Ini pernah terjadi di negara-negara komunis pada masa lalu seperti Uni Soviet, Kuba atau Albania.  Namun,  saat itu mutu pendidikan sering tak bisa dipertahankan.

Hanya sekolah-sekolah tertentu yang dekat dengan pimpinan partai komunis yang dapat kesempatan memutakhirkan perlengkapan pendidikannya sesuai standar teknologi terkini, atau mengirim guru-gurunya belajar lanjut.  Selebihnya hanya formalitas bahwa “buta huruf telah tiada”, pendidikan telah merata, namun mutunya penuh tanda tanya.

Ketiga: Yang menerapkan pendidikan gratis bermutu tinggi dengan dibiayai pajak yang juga tinggi.  Ini terjadi di Eropa Barat yang menerapkan politik “Welfare state”.  Di Skandinavia, Benelux, Jerman, atau Austria, sekolah dari Taman Kanak-kanak hingga S3 semua gratis dan bermutu tinggi.  Beberapa prodi di perguruan tinggi menerapkan tes karena membatasi kuota yang diterima untuk tetap mempertahankan mutu.

Kuncinya pada pengenaan pajak progressif bagi rakyatnya.  Makin kaya seseorang, prosentase pajak yang dipungut dari hartanya makin besar. Mereka memahami bahwa pendidikan adalah investasi yang akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh, dan tentu saja hasilnya wajib kembali pada negara dalam bentuk pajak.

Di situasi seperti ini, prodi atau kampus yang dinilai tak lagi diperlukan masyarakat, atau tak dapat mempertahankan mutunya, akan kehilangan legitimasi, dan akan dilikuidasi.

Keempat: Yang menerapkan pendidikan gratis bermutu tinggi dengan dibiayai pendapatan negara bukan pajak.  Ini hanya terjadi di negara-negara dengan sumberdaya alam melimpah, seperti di Brunei, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar atau Saudi Arabia.

Namun, negara seperti UEA membuka kesempatan swasta membuka kampus.  Beberapa perguruan tinggi dari Amerika membuka cabang di UEA. Tentu saja tidak gratis. Mereka hanya membuka kesempatan orang bersekolah ala Amerika, sambil tetap hidup di negeri Islam UEA.

 

Kritik

Dari empat macam kebijakan penyelenggaraan pendidikan di atas, tak satu pun pasti bisa diterapkan untuk semua negeri di segala zaman.

Kluster pertama tidak menjamin pendidikan gratis untuk semua orang. Hanya bagi yang miskin, yang sangat cerdas saja.  Bagaimana dengan yang miskin, namun kecerdasannya juga pas-pasan?

Kluster kedua memang menjamin pendidikan gratis, tetapi mutunya asal-asalan.

Kluster ketiga rawan terhadap fluktuasi ekonomi.  Saat ekonomi merosot, semisal semasa pandemi ini, maka perolehan pajak juga menyusut, akan banyak subsidi pendidikan yang dikurangi atau bahkan prodi yang dihapus.  Ini sudah terjadi di beberapa negeri Eropa.

Kluster keempat hanya cocok di negeri yang kaya sumberdaya alam dan berpenduduk sedikit.  Jangankan negeri seperti Bangladesh, di Indonesia saja sudah sulit diterapkan. Betul kita masih menghasilkan minyak 900.000 barrel perhari.  Namun, penduduk kita 270 juta.  Bandingkan dengan Saudi Arabia yang memproduksi 10 juta barrel perhari, dan penduduknya hanya 34 juta.

Kebijakan itu juga sangat bergantung pada kondisi minyak itu sendiri.  Saat pandemi Covid-19, ekonomi melesu, kebutuhan dunia akan minyak turun.  Akibatnya, pendapatan dari minyak turun sehingga kemampuan membiayai pendidikan juga melemah.

Selain itu minyak adalah sumberdaya tak terbarukan.  Suatu saat akan habis.  Energi minyak juga penyebab utama krisis perubahan iklim. Dunia yang menyadari bahaya ini lambat-laun akan beralih ke energi baru (nuklir) atau terbarukan (surya, bayu, dll).  Karena itu pendapatan dari minyak untuk pembiayaan pendidikan tak bisa diandalkan untuk jangka panjang.

 

Alternatif Kelima

Fakta, ada masa yang sangat panjang, yaitu selama zaman keemasan Islam, pendidikan terselenggara dengan berkualitas, namun juga gratis.  Pada saat itu tidak ada pajak dan sumberdaya alam melimpah seperti minyak bumi belum ditemukan.

Kuncinya ternyata ada pada tiga hal. Pertama: Energi ruhiah.  Generasi pertama umat Islam adalah orang-orang yang dididik Nabi saw. untuk memiliki visi hidup sebagai hamba Allah yang terbaik yang dihadirkan ke tengah umat manusia, untuk menyerukan kebaikan (Islam), menyuruh yang makruf, mencegah yang munkar dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Dengan visi itu kemudian mereka berbuat maksimal untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslim, termasuk berburu ilmu ke barat dan ke timur, mengajarkannya tanpa lelah ke generasi berikutnya dan ke siapa saja, serta mengembangkannya sampai standar mutu tertinggi.

Guru-guru pertama umat Islam ini tidak mencari nilai materi.  Mereka bukan para kapitalis yang lebih baik ganti profesi bila tidak menerima imbalan yang lebih baik untuk aktivitas akademiknya. Mereka mencari nilai spiritual, ingin mendapatkan pahala pasif yang terus menerus dari ilmu bermanfaat yang dikembangkan, dan doa orang-orang yang menjadi shalih dengan yang mereka ajarkan.

Kedua: Dana wakaf.  Dana wakaf ini berasal dari orang-orang kaya (aghniya’), atau juga pejabat publik (umara), yang ingin berlomba dalam kebaikan dengan para ulama.  Ketika ulama bisa mendapatkan pahala pasif yang berkelanjutan dengan ilmunya dan dengan anak-anak didiknya, maka aghniya’ dan umara menyediakan fasilitas fisiknya, yang dalam konsep wakaf, harus dipertahankan statusnya sampai Hari Kiamat.

Mereka tak hanya berwakaf sarana fisik pendidikan atau laboratorium, tetapi juga sarana produktif seperti kebun atau industri yang dapat membayar biaya operasional sarana pendidikan atau laboratorium itu.  Alhasil, para ulama yang mengajar atau meneliti itu tidak perlu khawatir lagi dengan nafkahnya.  Mereka bahkan masih bisa melawat ke seluruh dunia untuk melakukan survei, mendengarkan hadis atau ilmu baru, dan mengajar ke negeri-negeri yang baru disapa oleh dakwah Islam.

Ketiga: Pembelanjaan yang presisi (“Precission spending”).  Islam adalah ajaran yang menolak gaya hidup hedonis, yakni gaya hidup mewah atau berfoya-foya.  Untuk setiap harta yang dimiliki, seseorang akan dihisab dua hal: bagaimana dia mendapatkan harta itu dan bagaimana dia membelanjakannya.  Harta harus didapat dengan cara yang halal.  Harta hanya boleh dibelanjakan sesuai syariah.

Syariah mengatur bahwa harta hanya dibelanjakan sesuai prioritas, dimulai dari yang fardhu ain, lalu fardhu kifayah, lalu yang sunnah, baru yang mubah.  Karena itu zalim membelanjakan harta secara boros pada yang mubah, ketika yang fardhu kifayah atau fardhu ain ada yang belum tertunaikan.  Dengan filosofi ini, penyelenggaraan pendidikan dalam sejarah Islam hampir selalu dalam kondisi hemat dan tepat manfaat.

Sejarah menunjukkan, pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dengan tiga prinsip ini berhasil menjadikan pendidikan di Dunia Islam merata dan dalam kualitas yang tinggi.  Setiap orang berhak mengikuti pendidikan secara gratis selama memang memiliki kecerdasan yang diperlukan.  Setiap saat juga tersedia ulama yang bersedia mengajar dengan penuh kesabaran, bahkan di tengah-tengah kaum Badui yang hidup berpindah-pindah di tengah padang pasir dari satu oase ke oase yang lain.

Mereka yang beruntung akan disponsori untuk melanjutkan ke kampus-kampus terunggul di dunia saat itu, apakah di Qarawiyyin (Maroko), Al-Azhar (Mesir), atau di bahkan Baitul Hikmah di Baghdad atau Cordoba.   Universitas Qarawiyyin dan Al-Azhar adalah dua universitas tertua di dunia yang masih beroperasi hingga kini.  Keduanya besar dari wakaf.  Kekayaan kampus Al-Azhar bahkan konon lebih besar dari Republik Mesir sendiri. [Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar; Anggota Ikatan Alumni Program Habibie]

 

Bahan Pustaka

1        Shadiya Mohamed S. Baqutayan, Aini Suzana Ariffin, Magda Ismail A. Mohsin, Akbariah Mohd Mahdzir (2018): Waqf Between the Past and Present. Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol 9 No 4 July 2018: 149-155.

Sumber: https://al-waie.id/siyasah-dakwah/pendidikan-berkualitas-dan-gratis/

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi