Pierre Suteki
Viral video Ade Armando yang pada intinya dapat dikatakan bahwa dia meragukan bahkan tidak setuju jika syariat Islam diterapkan di Indonesia. Pertanyaannya adalah seberapa bisa dikatakan suatu opini disebut perbuatan melanggar hukum?
Sesuai dengan Konstitusi kita, setiap WN memiliki kebebasan BERPENDAPAT (lisan, tulisan). Bahkan dijamin pula oleh UU HAM, dan UU Menyatakan Pendapat di Muka Umum.
Yang dilarang adalah opini yang mengandung unsur:
1. Hoaks (UU 1 1946 Passl 14, 15).
2. Penghinaan (Pencemaran nama baik, Fitnah); KUHP, UUITE.
3. Penodaan atau Penistaan Agama 156a KUHP
4. Diskriminasi Rasis dan Etnis; UU Anti Rasis 40 /2008.
Lalu, ketika opini menyentuh hal yang paling esensial dalam Islam (akidah dan syariah) dan membuat kegaduhan apakah bisa disebut perbuatan melanggar hukum? Kalau sekedar menyatakan dia tidak setuju dan diberikan alasan tanpa melakukan penghinaan tidak dapat dikatakan melanggar hukum, hanya dari sisi moral itu tidak dibenarkan apalagi dari sisi agama yang bersangkutan. Bagaimana bisa seseorang yang beragama Islam tidak setuju jika syariat Islam dijalankan? Ini merupakan hal yang ironis, karena pada umumnya seorang yang beragama X akan setuju dan berbahagia jika hukum agamanya diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ada kebanggaan tersendiri. Ade Armando saya nilai tidak berbangga bahkan terkesan tidak menyetujuinya dengan alasan tidak kontekstual lagi.
Kalau bicara di konteks Ade Armando, jelaslah ia menyatakan secara terbuka menentang syariah, artinya opininya melawan hukum syariah. Namun, kita juga harus menyadari dan kita juga harus konsisten, bahwa negara ini bukan negara yang sistem pemerintahannya berdasar syariat Islam. Jadi adalah hak dia untuk menentang syariat Islam dan jika kita terapkan syariat Islam untuk mengukumnya justru kita yang dikatakan melanggar hukum nasional, di negara demokrasi ini.
Dalam persoalan hukum, apakah konteks memang perlu diperhatikan namun juga tidak dapat dikatakan lebih penting dari teks. Mengapa, hal ini bisa jadi akan terlalu subjektif sementara hukum juga mempunyai prinsip unifikasi dan bahkan prediktif. Konteks sebenarnya juga sudah diperhitungkan ketika teks disusun. Untuk itu dalam teks biasanya juga ada escape clausule, berupa pengecualian.
Teks dan konteks sama sama penting. Sebenarnya kalau umat Islam berpikir waras, mestinya berprinsip DI MANA ADA SYARIAT DI SITU ADA MASLAHAH, bukan sebaliknya DEMI MASLAHAH SYARIAT DIPINGGIRKAN. Itu kalau sistem pemerintahan menganut sistem pemerintahan Islam. Jika sistemmya demokrasi (konteks keindonesiaan), prinsip itu tidak bisa ditegakkan karena akan berhadapan dengan hukum kesepakatan manusia. Bahkan untuk berlakunya hukum Alloh saja harus MENDAPAT PERSETUJUAN DEWAN LEGISLASI NEGARA.
Akhirnya DI NEGARA DEMOKRASI tidak mungkin memaksakan agar SYARIAT ISLAM dapat ditegakkan.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan adalah mengapa seorang Muslim meragukan Syariat Islam, bahkan menolaknya? Syariah Islam itu mestinya menjadi bagian yg melekat pada setiap diri muslim. Namun, kenyataannya SEORANG MUSLIM JUSTRU MERAGUKAN SYARIAH ISLAM! Mengapa?
Ada 2 alasan mengapa umat Islam terombang-ambing dalam keraguan, yaitu:
(1) Orang ragu itu karena prinsipnya KURANG atau bahkan TIDAK BERILMU. Saudaraku, mungkin kita akan debatable terkait masalah ini, mengingat situasi politik kita sekarang yang sangat absurd dan begitu banyak distorsi penalaran sebagai insan berpikir. Bagi saya, sebagai sebuah ilmu pemerintahan, khilafah itu bukan sesuatu yang menjijikkan, atau berbahaya bagi eksistensi suatu rezim manapun selama kita tidak menggunakan cara kekerasan dan pemaksaan apalagi penggunaan perilaku ekstrim untuk memberlakukan suatu sistem pemerintahan tertentu.
(2) Selain penguasaan ilmu, dibutuhkan KEDEWASAAN BERPIKIR untuk memahami semua sistem apa pun di dunia ini sehingga kita tidak antipati bahkan PREJUDICE terhadapnya sementara pengetahuan kita terhadapnya sangat minim dan terbatas.
Mari kita tingkatkan literasi kita sehingga tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan suka melempar tanggung jawabnya. Kita buktikan bahwa Islam itu rahmatan lil ‘alamiin, rahmat bagi seluruh alam.
Seandainya memang sistem pemerintahan Islam itu dikatakan tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk, beragam, pluralistik dan lain-lain, namun pernahkah kita juga berpikir bahwa apakah zaman Rasululloh dan Khulafaur Rasyidin itu masyarakat Madinah juga HOMOGEN? Masyarakatnya semua muslim? Tidak bukan? Ada yang muslim, musyrik, kafir dan tidak beragama juga ada. Jadi, ketika hukum Islam diterapkan masyarakat Madinah juga plural, majemuk, beragam. Lalu, benarkah alasan menolak ide kekhalifahan itu karena pluralitas masyarakatnya? Bukan itu! Alasannya ya karena kita tidak mau dan tentu saja banyak yang merasa terancam karena ditegakkannya hukum-hukum Alloh atau setidaknya hukum yang bersumber dari hukum Islam.
Keraguan dan keengganan sebagian orang terhadap syariat Islam seringkali juga karena TAKUT HUKUM ISLAM. Mereka menilai hukum Islam itu KEJAM. BENARKAH KEJAM? Hal ini misalnya didasarkan pada jenis hukum PENCURIAN yakni POTONG TANGAN, dan hukum PEMBUNUHAN, yakni dengan HUKUM MATI PENGGAL KEPALA (pancung).
Terkait dengan pencurian, faktanya dalam ajaran Islam, hukuman untuk tindak pidana pencurian adalah potong tangan. Sebab, Islam menganggap harta adalah salah satu hal yang harus dijaga. Karena itu, harus ada hukuman setimpal untuk masalah pencurian.
Abdul Qadir Audah dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid V menuliskan, empat imam mazhab, ulama zahiriyah, dan syiah zaidiyah mendefinisikan hukuman potong tangan dari telapak sampai pergelangan. Sebab, mereka beranggapan batas minimal tangan, yakni dari jari sampai pergelangan tangan.
Dalam QS Al-Maidah ayat 38, Allah SWT berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Kendati demikian, hukuman potong tangan tidak bisa diterapkan semena-mena. Syeh Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan penghilangan atau pemotongan tidak diwajibkan kecuali terpenuhi beberapa syarat, yakni orang yang melakukannya, sesuatu yang dicuri, maupun tempat yang dicuri.
Muhammad Amin Suma dan kawan-kawan dalam buku Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek, dan Tantangan menuliskan, Ibnu Abdulbar mengemukakan Rasulullah SAW pernah mengeksekusi potong tangan terhadap perempuan bernama Fatimah binti al-Aswad bin Abdul ‘Asadal-Makhzumi yang mencuri harta. Hukuman potong tangan yang ditegaskan dalam Alquran tidak boleh ditukar dengan bentuk hukuman lain yang lebih ringan.
M Nurul Irfan dalam buku Fiqih Jinayah menuliskan, hukuman potong tangan telah ditetapkan untuk tindak pidana pencurian. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tangan pencuri akan dipotong jika mencuri sesuatu yang harganya seperempat dinar atau lebih.”
Umar bin al-Kattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits, Al-Syafi’i beranggapan, pencurian kurang dari seperempat dinar tidak terkena hukuman potong tangan. Imam Malik mengatakan, “Tangan pencuri dipotong karena mencuri seperempat dinar atau tiga dirgam. Kalau mencuri sesuatu seharga dua dirgam yang senilai seperempat dirgam, tangan pencuri tersebut tidak boleh dipotong.”
Kemudian tekait dengan PEMBUNUHAN, hukumannya adalah mati dan penggal kepala (pacung). Kata mereka yang menentang syariah tindakan itu tidak manusiawi. Namun, tahukah kalian, bahwa sebenarnya hukuman mati dengan cara memenggal kepala pelaku pembunuhan yang status hukumnya sudah inchract ge wisjde tersebut adalah cara paling manusiawi.
Banyak pendapat menyebutkan jika hukuman mati selain pancung, membuat pelaku yang dihukum mati tidak langsung menemui ajalnya dan tersiksa hidup-hidup selama beberapa detik bahkan menit. Seperti yang diungkapkan penerima penghargaan nobel penemuan struktur DNA, dr. Francis Crick. Hukum pancung ternyata merupakan jenis hukuman mati yang paling manusiawi, dengan pertimbangan:
1. Ternyata orang yang dihukum pancung lebih cepat mati kurang dari 8 detik.
2. Lidah tidak sampai terjulur keluar
3. Mata tidak sampai melotot
4. Sperma dan Sel telur tidak Keluar
5. Menimbulkan Efek Jera
Banyak orang yang membayangkan hanya dalam satu tebasan, kepala pelaku kejahatan langsung putus dan nyawa hilang seketika. Sehingga di sebagian daerah hukuman ini masih terus diterapkan karena terbukti dapat ‘menakut-nakuti’.
Akhirnya perlu ditegaskan kembali bahwa seorang muslim masih meragukan syariat Islam sangat dimungkinkan terjadi. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor minimnya atau ketiadaan pemahaman (berbasis ilmu) dan kesadarannya sendiri terhadap simbol Islam dan ajarannya. Pemahaman itu sangat penting dalam membentuk kesadaran seseorang. Orang mengerti saja belum tentu memahami kebenaran ajaran Islam apabila pada dirinya tidak dilengkapi dengan cara berpikir yang mendalam bahkan bila perlu berpikir mustanir.
Oleh karena itu, ngerti saja tidak cukup, paham juga pun tidak cukup melainkan harus ditambah dengan aspek kesadaran diri untuk menerima bahwa simbol dan ajaran Islam adalah benar meskipun secara letterlijk tidak secara tegas dikatakan di dalam Al Quran. Ajaran itu tetap dapat dirujuk pada dalil Quran, Hadist, dan hasil Ijtihad para ulama yang jelas dapat dipertanggungjawabkan keilmuan dan kesholehannya.
So, masihkah Anda meragukan syariah Islam seperti Ade Armando?
Tabik..!!!
Semarang, 30 Oktober 2021