NEGARA ANGKAT TANGAN

H. M Ali Moeslim

Bismillahirrahmanirriim

MENTERI PERDAGANGAN meminta maaf, mengaku tak bisa mengontrol mafia minyak goreng. Dia tidak mampu menepati janji akhir Februari harga terkendali, nyatanya harga semakin meroket.

Setelah antrian dan tragedi terjadi dimana-mana, ada viral sandal antri, emak-emak berebut di ritel modern sampai wafat karena kelelahan.

Ironi di negeri subur makmur loh jinawi, negara penghasil sawit terbesar di dunia menyerah untuk sediakan minyak goreng dengan harga terjangkau. Semua diserahkan kepada harga pasar, semula harga 14 ribu saat ini menjadi 24 ribu. Minyak goreng yang awalnya langka, sekarang berbaris dan berjibun di pasar dengan harga selangit.

Jurus minta maaf dan pendekatan “represif” dilakukan, mulai menuduh rakyat menimbun sampai ada mafia. Mestinya kalau tahu ada mafia kenapa tidak ditangkap? Belum ketemu, rakyat akhirnya yang dikorbankan. Harus membeli minyak goreng dengan harga tinggi.

Kasihan sekali rakyat negeri ini. Saat mereka berdesak-desakan antri minyak goreng, pemerintah malah sibuk siapkan IKN yang menelan biaya ratusan trilyun.

Rakyat semakin menderita, Ini adalah praktek penimbunan atau ihtikar yang nyata di depan mata.

Penimbunan (al-ihtikâr) dihukumi haram secara mutlaq menurut syariat berdasar pada adanya larangan tegas dalam hadits. Nabi saw. bersabda:

لا يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

“Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan” (HR Bukhari dan Muslim).

Al-Qasim telah meriwayatkan dari Abu Umamah yang berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُحْتَكَرَ الطَّعَامُ

“Rasulullah saw. telah melarang makanan ditimbun (HR al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah).

Jadi larangan dalam hadis tersebut berfaedah thalab at-tarki (tuntutan untuk meninggalkan). Celaan terhadap orang yang menimbun (al-muhtakir) dengan mensifati dirinya sebagai orang yang berbuat kesalahan (al-khâthi’) adalah orang yang berdosa lagi bermaksiat. Ini merupakan qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan tersebut berfaedah haram.

Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan ini bermakna pasti. Dari sini pula, hadis-hadis tersebut menunjukkan keharaman menimbun.

Pelakunya disebut Al-Muhtakir (orang yang menimbun) adalah orang yang mengumpulkan barang menunggu harganya mahal, lalu dia jual dengan harga tinggi. Hal itu membuat susah warga negeri untuk membelinya.

Sesunggunya negeri ini memiliki UU dalam menangani penimbunan, namun di tengah kelemahan aparat menangani ini, terkadang terjadi tebang pilih, di saat penguasa yang dikendalikan oligharki, belum lagi dengan pasal pasal hukuman yang tidak membuat jera, serta pengurangan masa hukuman semakin menggerus kepercayaan publik terhadap perkara perkara pidana termasuk dalam menangani penimbunan ini.

Pelaku usaha yang melakukan penimbunan dapat disangkakan Pasal 107 jo Pasal 29 ayat 1 UU Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan jo Pasal 11 ayat 2 Perpres 71 tahun 2015.

Adapun Pasal 107 menuliskan pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Bagaimana dalam negara Islam menangani pelaku penimbunan? Penimbun dijatuhi sanksi ta’zîr. Dia dipaksa untuk menawarkan dan menjual barangnya kepada para konsumen dengan harga pasar, bukan dengan dipatok harganya oleh negara. Pasalnya, pematokan harga adalah haram sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits.

Abu Dawud dari Abu Hurairah yang berkata:

إِنَّ رَجُلاً جَاءَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ, سَعِّرْ. فَقَالَ: بَلْ اَدْعُوْا. ثُمَّ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ سَعِّرْ. فَقَال: بَلِ اللَّهُ يَخْفِضُ وَيَرْفَعُ

Seorang laki-laki datang dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga!” Beliau menjawab, “Akan tetapi, saya berdoa.” Kemudian seorang laki-laki yang lain datang dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga!” Beliau bersabda, “Akan tetapi, Allah-lah yang menurunkan dan menaikkan (harga).” (HR Abu Dawud).

Hadis ini menunjukkan pengharaman pematokan harga. Pematokan harga itu merupakan kezaliman. Jika penguasa melakukan pematokan harga maka dia berdosa di sisi Allah sebab dia melakukan kaharaman.

Setiap orang dari rakyat boleh mengadukan “syakwa” (pengaduan) kepada Mahkamah Mazhalim atas penguasa yang mematok harga, baik dia seorang wali ataupun khalifah. Rakyat mengadukan kezaliman ini ke Mahkamah Mazhalim agar memutuskannya dan menghilangkan kezaliman ini.

Adapun penimbun itu harus menjual barangnya dengan harga pasar karena itu adalah hukum syariah dalam jual-beli. Jika barang tersebut tidak ada kecuali pada orang yang menimbun ini, yang menjualnya dengan harga yang ia inginkan sehingga ia mengendalikan harganya karena barang itu hanya ada padanya, maka dalam kondisi ini, negara harus menyediakan barang tersebut di pasar. Dengan begitu tidak seorang pun pedagang bisa mengendalikan harga barangnya.

Jadi solusi terkait masalah orang yang menimbun adalah menjatuhkan atas dirinya sanksi ta’zîr dan memaksa dia untuk menawarkan barangnya di pasar dengan harga pasar. Jika barang itu hanya ada pada dia saja maka negara harus menyediakan barang tersebut di pasar. Dengan begitu pedagang itu tidak mengendalikan harga. Masalah ini telah dijelaskan di dalam kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî pada bab “At-Tas’îr (Pematokan Harga)”:

Terlalu sering kasus kasus kriminal di negeri ini diberitakan dan yang tertangkap dilakukan rekontruksi kejadian perkara, namun sangat jarang diberitakan hukuman yang maksimal pada para pelakunya, di tengah hukum yang tidak membuat jera bagi para pelakunya.

Wallahu a’lam bishawab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi