Menyoal Diskriminasi Hukum

Dengan menyaksikan retorika para politisi atau para pakar di media televisi, mungkin kita akrab dengan kata-kata “Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat).” Dengan bangga hati, Pemerintah menyatakan Indonesia adalah negara yang menjunjung dan bergerak berdasarkan hukum.

Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Persoalan penegakan hukum, atau supremasi hukum, masih menjadi PR/pekerjaan rumah. Kepentingan penguasa yang menggunakan sarana hukum dan oknum penegak hukum yang dekat dengan penguasa sering membuat proses hukum di Indonesia tidak berjalan secara ideal atau minimal dikatakan baik, bahkan terjadi diskriminasi.

 

Bentuk-bentuk Diskriminasi Hukum

Penulis berpendapat bahwa diskriminasi hukum terjadi pada kebijakan hukum yaitu: produk hukum berupa peraturan perundang-undangan dan diskriminasi pada implementasi kebijakan hukum.

 

  1. Diskrimasi kebijakan dan regulasi.

Dalam perkembangannya tentu tidak dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari karakteristik hukum yang menjadi produk politiknya. Karakteristik hukum ternyata berjalan linier dengan karaktersitik rezim kekuasaan yang melatarbelakangi hukum.

Namun, ada asumsi bahwa antara demokrasi dan diktator ambigu. Artinya tidak bisa dilihat secara tegas pembedanya. Bisa saja penguasa yang otoriter di suatu negara berdalih bahwa karakterisitik produk hukum yang bersifat konservatif digunakan untuk melindungi masyarakat. Dalam hal ini demokrasi—dari, untuk dan oleh rakyat—mengalami pengurangan peran hanya untuk rakyat. Artinya, rakyat sekadar menikmati hasil atau kemanfaatannya.

Ada beberapa fakta dan peristiwa terkait diskriminasi kebijakan dan regulasi. Di antaranya: Pertama, terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan. Pemerintah cenderung menerbitkan banyak produk hukum Undang-Undang (terutama Keppres dan Perppu) yang dalam implementasinya memberikan banyak delegasi kepada Pemerintah atau Presiden untuk mengatur dan membuat aturan delegasi dari Undang-Undang yang sesuai kehendak Pemerintah. Muncul Perppu dalam jumlah banyak yang kemudian lebih berfungsi untuk menggantikan Undang-Undang guna menggerakan roda Pemerintahan adalah kateristik pemerintah presidensial diktator.

Rakyat menilai Pemerintah melakukan tindakan ‘diktator’ sejak menerbitkan Perppu 2/2017 tentang organisasi kemasyarakatan. Pasalnya, Perppu 2/2017 telah memindahkan kewenangan Yudikatif ke tangan Ekskutif. Dalam hal ini Perppu telah menyalahi dan melanggar prinsip negara hukum. Pemerintah telah menghilangkan bagian penting dari negara hukum. Pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di Pengadilan. Padahal, proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil. Mekanisme ini juga mencegah kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan ormas.

Kedua, Perppu Corona. Beberapa yang menjadi catatan di antaranya terkait Pasal 2. Pasal ini  menghilangkan peran DPR dalam penganggaran, terutama terkait APBN. Menjadikan eksekutif (Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi) tanpa kontrol terkait anggaran. Pasal ini mengatur bahwa Pemerintah berwenang menetapkan sejumlah perubahan APBN. Salah satunya defisit anggaran melampaui 3 persen. Ini bertentangan dengan Pasal 20A UUD 1945.  Kemudian aturan kekebalan hukum bagi anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) penanganan Virus Corona dinilai harusnya batal demi hukum. Sebenarnya tidak boleh. Hal-hal yang sifatnya mengecualikan suatu asas tidak bisa dicantumkan di dalam sebuah undang-undang.

Ketiga, BKN (Badan Kepegawaian Negara) mengeluarkan Siaran Pers dengan nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018 dengan judul, “Enam Ujaran Kebencian Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN”.  Kebijakan tersebut pada pokoknya yaitu larangan menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dan/atau mengadakan, mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci; serta Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di media sosial yang bermuatan ujaran Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah. Semua yang melakukan tersebut kemudian dituduh dan distigma sebagai ASN radikal, pemecah-belah, intoleran dan lain sebagainya.

Kebijakan ini menjadi legitimasi bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan sanksi hingga pemecatan. Saya menduga Pemerintah memainkan peran antisipatif untuk meredam segala bentuk kritik. Kita melihat upaya Pemerintah menggunakan jimat suci “NKRI Harga Mati” yang sering berputar dalam retorika disintegrasi dan anti-Pancasila. Apalagi Pemerintah memiliki kewenangan menafsirkan mana kelompok atau individu yang bertentangan dengan Pancsila. Meski tujuannya tampak “patriotik”, yakni menjaga ideologi Pancasila, ini sangat rentan menjadi alat represi dan kesewenang-wenangan Pemerintah.

Ketiga, SKB Pembubaran FPI/Front Pembela Islam. UU Ormas yang dijadikan rujukan bagi SKB 6 Menteri itu tak selaras dengan konsep negara hukum yang menjunjung kebebasan berserikat. Sejak UU Ormas direvisi melalui Perppu lalu ditetapkan sebagai UU Ormas yang baru (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017), mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas dicabut. Akibatnya, hal ini memberikan kewenangan yang terlalu besar bagi Eksekutif untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan. FPI memang selalu berseberangan dengan Pemerintah. Namun,  mengapa harus ada SKB enam pejabat setingkat menteri dan kepala lembaga untuk urusan larangan FPI. Padahal diktum satu, yaitu FPI tidak terdaftar, maka otomatis telah resmi bubar sebagai ormas. Diktum ini bermasalah dari sisi hukum, karena apa? Organisasi kemasyarakatan itu eksisistensinya tidak bergantung pada pendaftaran. Tidak terdaftarnya sebuah organisasi kemasyarakatan tidak berarti organisasi itu bubar secara de jure.

 

  1. Diskriminasi implementasi kebjikan hukum.

Politik hukum dalam tataran implementasi praktis seharusnya dibangun di atas asas dan prosedur hukum yang diterapkan secara egaliter dan menyeluruh. Tidak tebang pilih dan tidak pilih tebang. Tidak menyimpang dari norma dan asas-asas hukum. Juga tidak menjadikan hukum sebagai dalih dan legitimasi untuk melakukan kebijakan politik kekuasaan. Tentu miris melihat praktik penegakan hukum rezim pemerintahan saat ini. Kekuasaan begitu mudah mengaduk-aduk hukum. Kebijakan, baik sengaja atau tidak, dibiarkan menabrak aturan atau produk hukum.

Harusnya ada persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Berpegang pada asas equality before the law (sama kedudukan dalam hukum dan pemerintahan) seharusnya tidak ada yang mendapat perlakukan istimewa antara satu dengan yang lainnya. Namun, penerapan asas equality before the law dalam penegakan hukum saat ini tidak dilaksanakan sebagaimana yang menjadi semangat yang telah digariskan dalam negara hukum.

Hal ini tampak nyata pada kasus Ahok. Jutaan rakyat turun ke jalan meminta agar penegak hukum memproses atas dugaan delik penistaan agama. Bahkan aksi demonstrasi terjadi berjilid-jilid dengan jumlah massa sekitar 7 (tujuh) juta. Seharusnya ini tidak perlu terjadi jika penegak hukum melakukan hal yang sama pada Ahok, seperti yang pernah mereka lakukan kepada para penista agama. Sayang, berbagai alasan dicari dan dipertontonkan dengan senyata-nyatanya tanpa keraguan sedikitpun akan pembelaanya pada Ahok. Kasus Viktor Bungtilu Laiskodat. Diduga Viktor menghasut masyarakat untuk melakukan kekerasan dan menebarkan kebencian. Soal bagaimana Viktor memprovokasi rakyat untuk saling membunuh. Viktor menyatakan, kalau (kelompok ekstremis) datang ke kita, daripada kita yang dibunuh, kita bunuh duluan. Hingga saat ini belum jelas kedudukan perkaranya.

Kasus Abu Janda dilaporkan ke Bareskrim Polri pada 10 Desember 2019 lantaran diduga menyebarkan ujaran kebencian di media sosial dengan menyebut, “Teroris punya agama dan agamanya adalah Islam.” Ade Armando dilaporkan anggota DPD Fahira Idris karena mengunggah meme Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan editan Joker dengan caption: “Gubernur Jahat Berawal dari Menteri yang Dipecat”. Kasus Deni Siregar terkait Tasikmalaya juga mandek meski telah lama dilaporkan.

Sebaliknya, Habib Rizieq Shihab segera ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Di antaranya atas tuduhan kerumunan pendukung menyambut Habib Rizieq di Bandara Soekarno Hatta, Petamburan, Puncak. Terakhir pada acara Maulid Nabi dan pernikahan putrinya.

Sebaliknya, pelanggaran protokol Corona pertama di Pilkada terjadi saat masa pendaftaran 4-6 September 2020. Bawaslu RI mencatat 243 bakal pasangan calon melanggar protokol Corona dalam hal ini adalah terjadi kerumunan. Pertanyaannya, apakah mereka juga ditetapkan tersangka dan ditangkap? Tidak. Polri malah meminta kasus kerumunan saat pendaftaran putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming, sebagai calon wali kota Solo tak disamakan dengan kasus kerumunan acara pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habub Rizieq Shihab.

Oleh karena itu wajar jika rakyat menyimpulkan ada diskriminasi penegakan hukum.

Saat ini para dai/ustadz mengalami banyak kekhawatiran dalam menggelar pengajian-pengajian. Mereka kerap mendapat persekusi berupa pembubaran pengajian. Pelakunya dari oknum ormas yang mengklaim dirinya sebagai paling pancasilais dan paling cinta NKRI. Mereka lalu melakukan tudingan kepada dai/ustadz dengan anti kebhinekaan, intoleran, garis keras, tidak pancasilais dan seterusnya. Namun, sampai saat ini belum ada proses hukum terhadap mereka.

Ada pula dugaan adanya partai yang bekerjasama dengan partai komunis dari negara luar. Tentu jika memiliki kesamaan di hadapan hukum maka partai yang diduga melakukan kerjasama tersebut harus dibubarkan.

Fakta dan peristiwa yang penulis sampaikan di atas hanyalah secuil. Masih banyak lagi fakta dan peristiwa yang menunjukkan adanya diskriminasi implementasi kebijakan hukum.

Perlu diketahui bahaya bukan berasal dari demontrasi rakyat dan bukan dari kritik, melainkan pergeseran dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. Salah satunya ditandai dengan adanya penggunaan hukum sebagai legitimasi untuk membungkan dan menghentikan rakyat untuk tidak melakukan kritik.

 

Faktor Penyebab

Terdapat 2 (dua) faktor terjadinya diskriminasi hukum. Pertama: Intervensi penguasa. Konfigurasi kekuasaan atau politik yang terjadi terhadap perkembangan karakter produk hukum di Indonesia telah mengalami dominasi yang sangat kental. Akibatnya, konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat dibandingkan dengan energi politik atau kekuasaan. Kentalnya konfigurasi politik terhadap perkembangan produk hukum telah mendegradasi penegakan hukum. Akibatnya, hukum hanya dijadikan alat kekuasaan atau politik. Kekuasaan atau politik selalu mengalami abuse of power. Ini karena yang menjadi orientasinya adalah kepentingan kelompok sesaat tanpa melihat orientasi penegakan hukum.

Kedua: Oknum penegak hukum. Intervensi penguasa sebetulnya tidak akan berjalan baik jika tidak terdapat oknum penegak hukum yang dengan sengaja dan sukarela mendekat kepada penguasa. Tentu dengan beragam alasan. ‘Perselingkuhan’ ini menjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan dan kesejahteraan umum (public welfare) atau mengatasnamakan peraturan hokum. Hal ini sering terjadi dalam suatu pemerintahan dari negara yang berdasarkan hukum (pemerintahan konstitusional), termasuk negara Indonesia. Kepentingan umum sering tidak dirumuskan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Akibatnya, interprestasi yang sah dilakukan secara sepihak (justification) untuk membenarkan tindakan pemegang kekuasaan.  Hukum sering digunakan sebagai alat untuk mencapai maksud dan tujuan penguasa yang sulit dipertanggungjawabkan secara konstitusional.

 

Solusi Islam

Karut-marut penegakkan hukum di negeri ini semakin menyadarkan bahwa sistem politik dan hukum sekular nyata-nyata gagal mewujudkan kemaslahatan. Selama manusia diberi hak untuk membuat hukum, hukum hanya menjadi alat untuk mewujudkan “kepentingan kelompok berkuasa”, bukan untuk mewujudkan apa yang benar-benar maslahat bagi manusia. Hak untuk mengatur manusia dengan hukum tertentu mestinya diserahkan kepada pihak yang paling mengerti jatidiri manusia dan apa yang paling baik bagi dirinya. Itulah Allah SWT. Dialah Zat Yang menciptakan dan mengatur manusia dan alam semesta. Menyematkan hak ini kepada selain Allah SWT adalah kesalahan mendasar dalam pengaturan urusan manusia dan sumber dari semua mafsadah. Alam semesta teratur karena berjalan di atas hukum-Nya. Begitu pula manusia. Kehidupannya pasti teratur tatkala aturan yang mengatur kehidupan mereka adalah hukum Allah SWT.

Islam telah menggariskan sejumlah aturan untuk menjamin keberhasilan penegakkan hukum, antara lain: Pertama, semua produk hukum harus bersumber dari wahyu Allah SWT. Seluruh konstitusi dan perundang-undangan yang diberlakukan dalam Daulah Islamiyah bersumber dari wahyu-Nya. Ini bisa dipahami karena netralitas hukum hanya bisa diwujudkan tatkala hak penetapan hukum tidak berada di tangan manusia, tetapi di tangan Zat Yang menciptakan manusia.

Kedua, kesetaraan di depan hukum. Di mata hukum Islam, semua orang memiliki kedudukan setara; baik ia Muslim, non-Muslim, pria maupun wanita. Tidak ada diskriminasi, kekebalan hukum atau hak istimewa. Siapa saja yang melakukan tindakan kriminal (jarimah) dihukum sesuai dengan jenis pelanggarannya. Dituturkan dalam riwayat sahih, bahwa pernah seorang wanita bangsawan dari Makhzum melakukan pencurian. Para pembesar mereka meminta kepada Usamah bin Zaid membujuk Rasulullah saw. agar memperingan hukuman. Rasulullah saw. murka seraya bersabda, “Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah tatkala ada orang yang terhormat mencuri, mereka biarkan; jika orang lemah yang mencuri, mereka menegakkan had atas dirinya. Demi Zat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (HR al-Bukhari).

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Chandra Purna Irawan]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi