Mengulik Polemik Halal-Haram di Hanamasa: Abaikah Peran Negara?

Oleh. Ervan Liem

Awal tahun ini kita dihebohkan dengan polemik dari resto waralaba yang menyatakan diri sebagai pelopor AYCE (all you can eat) di Indonesia yakni Hanamasa. Hal tersebut diawali dengan kekecewaan salah seorang konsumen yang memprotes keras perihal makanan yang telah dikonsumsinya yang ternyata mengandung bahan haram. Polemik masalah tersebut terus mencuat diranah media sosial dan menimbulkan perdebatan sengit antara yang pro dan kontra. Kekurang transparan dari pihak resto atau penyedia jasa makanan memperkeruh keadaan masyarakat bangsa ini yang notabene mayoritas adalah muslim, dimana faktor kehalalan sangat dibutuhkan dan diprioritaskan demi menghormati keyakinan dan menjaga ketertiban masyarakat.

Permasalahan tersedianya jaminan produk halal ditengah masyarakat muslim saat ini, kiranya akan terus menjadi polemik karena meskipun upaya adanya jaminan terhadap produk halal dari pemerintah dalam beberapa waktu belakangan ini berusaha untuk diperbaiki namun justru menjadi semacam tamparan karena antara yang dicanangkan dengan kenyataan dilapangan sering bertolak belakang. Sekelas Hanamasa yang merupakan waralaba nasional yang punya cabang dimana-mana, yang tentunya juga punya izin dalam mendirikan usahanya saja ternyata belum mengantongi sertifikat halal sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang negara, terus bagaimana dengan usaha-usaha makanan yang lebih kecil darinya?

Tentunya polemik semacam itu akan terus berlanjut seiring dengan makin sekulernya masyarakat suatu negara. Kepastian hukum terhadap jaminan produk halal akan menemui tantangannya jika kesadaran umum atau bahkan kesadaran perusahaan makanan saja hanya sebatas kepentingan bisnis, semua akan rawan dan kental dengan nuansa manipulasi. Ditambah lagi situasi politik yang banyak ditunggangi oleh oligarki, tentu tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa jaminan produk halal yang telah dicanangkan melalui proses demokrasi akan hanya menjadi semacam isapan jempol belaka.

Hanamasa Kurang Transparan dalam Menyajikan Produknya

Sebuah unggahan Instagram seorang perempuan menjadi viral lantaran membahas makanan haram di Hanamasa. Perempuan tersebut memberi tahukan kepada masyarakat muslim agar berhati-hati saat menyantap aneka sajian di Hanamasa. Pasalnya, ia baru saja mengetahui ada beberapa jenis makanan di Hanamasa yang ternyata tergolong haram bagi kaum muslim. Jenis sajian di Hanamasa itu tergolong haram sebab mengandung alkohol yang menurut Islam termasuk makanan yang tidak boleh disantap.

Akun Instagram bernama @anggiyusriani itu memperingatkan teman-teman muslim lain agar tidak sembarangan menyantap makanan di Hanamasa. Soalnya ia dan suaminya baru saja mengalami kejadian tak mengenakkan. Ia tanpa sengaja menyantap makanan haram di Hanamasa sebab tidak mengetahui bumbu apa saja yang dimasukkan ke dalamnya. Perempuan itu baru mengetahui bahwa makanan yang sudah telanjur ia makan tergolong haram sebab mengandung sake.

“Tolong di kasih tau juga yah temen2 muslim lain yg kalian bisa supaya ngga jadi korban makanan non halal seperti kebodohan yg gw lakukan,” tulisnya dalam keterangan Instagram.

Mulanya, pemilik akun perempuan itu sedang menikmati aneka sajian all you can eat (AYCE) di Hanamasa. Bersama dengan sang suami, ia menyantap beberapa jenis makanan di sana. Lalu sang suami menyuapinya sepotong jamur yang menurutnya enak. Maka, ia pun tak menolak untuk mencoba. Ia pun menyetujui bahwa jamur itu enak sehingga meminta sang suami untuk mengambilkannya lagi. Namun ketika ia mencoba menyantap jamur itu untuk kedua kali, rasa curiga mulai muncul. Perempuan itu curiga dengan rasa jamur fermentasi yang dirasa sangat kuat.

“Gw : cobain lagi. Kali ini sambil ngerasain sambil mikir ini jamur fermentasi kok rasanya strong banget yah, langsung jantung deg2an coba browsing kehalalan hanamasa di mbah Google.. ,” ceritanya.

Sesudah mencari tahu melalui laman pencarian, ia memanggil pelayan Hanamasa untuk menanyakan resep pembuatan jamur fermentasi. Namun pelayan itu tak tahu dan memanggil chef restoran. Barulah dari chef itu diketahui bahwa jamur fermentasi itu mengandung sake di dalamnya. Wanita itu pun tak menyangka kemudian meminta chef Hanamasa untuk menunjukkan makanan mana lagi yang non halal. Chef pun memberi tahu sajian mana saja yang termasuk haram menurut Islam sebab mengandung alkohol di dalamnya.
Selain jamur fermentasi, ternyata kecap asin yang selalu dituangkan di awal adalah bumbu yang menggunakan sake atau mirin.

Selain dua makanan itu tadi, tidak ada lagi makanan yang mengandung alkohol, sake, dan mirin, menurut chef Hanamasa. Pada akhirnya, sang pemilik akun Instagram tidak jadi menyantap jamur fermentasi yang awalnya sudah ia ambil sepiring. Ia pun mengingatkan teman-teman Muslim untuk selalu berhati-hati menyantap makanan di restoran mana pun. Ada baiknya jika teman-teman Muslim ragu dengan makanan yang akan disantap di restoran, tanyakan resep dan bahan pembuatannya kepada chef. Dengan begitu teman-teman Muslim lebih tenang dan yakin bahwa makanan yang akan disantap tergolong halal.

Dalam hal halal-haram, sesungguhnya masyarakat muslim Indonesia saat ini bisa dikelompokkan dalam dua kutub yang berbeda. Kutub yang pertama adalah Tasahul (gampangan). Sedangkan kutub kedua adalah Tasyaddud (ketat). Gambaran mengenai kedua kutub tersebut dihadirkan dalam rangka menyikapi hiruk pikuk resto waralaba Hanamasa yang dikabarkan masih abu-abu soal halal atau haramnya produk mereka. Kelompok yang masuk dalam kutub Tasahul cenderung permisif, tidak terlalu kaku alias gampangan. Terhadap jenis makanan, mereka lebih santai, tidak mempersoalkan sertifikasi halal. Yang penting tidak jelas-jelas haram, mereka tidak keberatan untuk mengonsumsi.

Di sisi lain, ada kutub Tasyaddud. Mereka yang harus tegas berpegang teguh pada standar halal-haram yang jelas. Kelompok ini bisa pula kita kategorikan menjadi dua sub-bagian. Pertama, kelompok tradisional yang terinspirasi pada ulama klasik. Ada istilah tersendiri untuk ini, yaitu: wara’. Biasanya dianut oleh kalangan santri atau masyarakat yang terpengaruh kultur pesantren. Rujukan dari perilaku ini adalah sejumlah kisah ulama yang teramat hati-hati dalam menentukan sikap terhadap segala hal. Selain itu ada lagi kelompok Tasyaddud yang kedua, yaitu akhi dan akhwat sobat hijrah. Biasanya kelompok ini datang dari masyarakat muslim perkotaan. Mereka yang pada masa pendidikannya sedari dini belum banyak mengkaji Islam, dalam arti tidak sekolah di madrasah, pesantren, atau perguruan Islam. Pada masa itu mereka adalah awam yang bersekolah di sekolah umum non keagamaan. Baru ketika sudah dewasa sadar dan mereka jadi ingin taat akan syariat sehingga cukup bisa dimaklumi kalau mereka begitu hati-hati soal tafsir hukum-hukum agama.

Dari kejadian di resto tersebut, yang sangat disayangkan adalah, keberadaan komunitas masyarakat muslim terbesar didunia namun urusan halal-haram suatu produk makanan yang harusnya dijadikan prioritas utama oleh produsen demi menjaga kondusifitas masyarakat serta menghormati hak-hak konsumen muslim, namun justru diabaikan. Dari sinilah akhirnya gaya hidup sekuler dipaksakan melalui produk makanan, yang berusaha taat agama disuruh menghormati yang tidak taat, konsumen masyarakat disuruh berhati-hati sendiri dan tidak dijelaskan perihal status produk makanan jika tanpa menanyakannya sendiri, mekanisme kehidupan justru dikembalikan kepada masing-masing individu.

Dampak Negatif Adanya Resto yang Tidak Jujur Kepada Konsumen

Jika kita mau jeli terhadap kondisi saat ini, selain masalah penggunaan zat haram semisal sake atau alkohol yang terjadi di dapur resto Hanamasa, sebenarnya masih banyak adanya penggunaan bahan kimia dalam produk makanan atau minuman seperti pengawet makanan, pemanis buatan, bahan pewarna, formalin dan bahan-bahan kimia lainnya masih digunakan dengan kadar melebihi ketentuan sehingga tanpa disadari oleh masyarakat merupakan produk pangan yang dikomsumsi setiap hari oleh masyarakat. Produk-produk pangan yang dikomsumsi oleh masyarakat tersebut, merupakan produk pangan yang telah terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan berbagai penyakit. Banyak pelaku usaha yang tidak transparan dalam mencatumkan komposisi bahan tambahan pangan dan adanya penggunaan bahan-bahan kimia yang lain dalam pembuatan produk dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi konsumen yang mengkomsumsi produk-produk tersebut. Akibat konsumsi produk makanan dan minuman yang mengandung bahan pengawet berbahaya dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan dampak berbahaya bagi kesehatan seperti sakit perut, kanker, jantung, gangguan pencernaan dan dampak buruk lainnya.

Memang bukan hal baru yang terjadi di negeri ini, ditengah gencarnya pemerintah menghimbau dan mengeluarkan serta menciptakan perlindungan hukum kepada konsumen terhadap keamanan dan gizi pangan (makanan dan minuman) dengan menerbitkan undang-undang, namun disisi lain nyatanya banyak juga produsen nakal yang menncampurkan zat haram ke makanan yang dikonsumsi muslim. Disisi lain tentang standarisasi dan pengawasan makanan serta minuman yang beredar di masyarakat juga belum sepenuhnya dilakukan sehingga lagi-lagi yang dirugikan adalah konsumen. Dari segi tanggung jawab hukum pelaku usaha yang memproduksi dan atau mengedarkan makanan dan minuman yang mengandung bahan haram dan berbahayapun juga masih rendah. Seringkali justru main akal-akalan bahkan kongkalikong dengan petugas demi keuntungan pribadi. Permasalahan-permasalahan semacam itu berdampak buruk bagi konsumen, selain itu juga mengakibatkan rusaknya tatanan, peraturan dibuat-buat sendiri namun juga dilanggar sendiri oleh yang seharusnya menegakkan peraturan.

Pengawasan sebagai salah satu faktor yang memberi perlindungan kepada konsumen atas peredaran barang di pasaran memegang perananan penting. Jika lemah maka rusaklah aturan. Tiga minggu dari kasus konsumen resto Hanamasa yang telah merasa dirugikanpun sepertinya kasus ini akan hilang begitu saja, mestinya pihak berwenang menjelaskan ke publik agar efek jera tercipta terhadap resto-resto lain yang melakukan hal serupa. Pemerintah perlu memberikan standar yang jelas dan lengkap terhadap produk halal, penggunaan bahan pengawet dalam produk makanan dan minuman. Jika masyarakat hanya dihimbau hendaknya lebih selektif, teliti dan cermat dalam memilih produk yang akan dikonsumsinya dengan kemampuan masyarakat muslim sendiri maka tentu itu tidak adil. Iman itu bisa naik-turun, jika aturan pemerintah tidak adil, maka sama halnya menjerumuskan rakyat ini kedalam jurang kebinasaan. Butuh keseimbangan, pengawasan yang baik, aturan yang baik dan adanya kecermatan dan kejelian konsumen agar tidak terjadi kasus kerugian konsumen atas makanan dan minuman dengan bahan haram berbahaya.

Strategi Islam Menjamin Kehalalan dan Melindungi hak-hak Konsumen

Sebagimana yang telah dijelaskan oleh masyhur Ulama ahlussunnah waljamaah, bahwa yang namanya ketaqwaan itu adalah diwujudkan dengan kehati-hatian dalam melakukan hal apapun. Nah, dalam hal ini kiranya kita perlu memahmi kisah dari para ulama, salah satunya adalah kisah Abu Hanifah, di mana beliau menghindar untuk berteduh di rumah yang pemiliknya punya utang pada beliau. Khawatir ada tambahan manfaat atas utang, di mana itu bisa dikategorikan sebagai riba. Dalam masalah perkulineran, pernah Abu Hanifah pernah “mengerem” makan sate, tongseng, gulai, dan olahan kambing apapun selama tujuh tahun. Bukan karena kolesterol atau darah tinggi, tapi karena ada kambing Baitul Mal yang kabur dari kandang. Abu Hanifah sempat melakukan riset kepada para peternak, dan beliau tahu bahwa umur terjauh dari kambing adalah tujuh tahun. Dari sana, Abu Hanifah memutuskan tidak mengkonsumsi kambing selama itu. Khawatir apa yang masuk ke perut adalah bagian dari kambing yang tidak jelas halal atau haramnya.

Nah, jika kita belajar dari Imam Abu Hanifah dan menapaki jejak ulama seperti beliau, maka rasanya kecil kemungkinan menjadi konsumen waralaba semacam Hanamasa. Karena jangankan makang di resto tanpa label jaminan halal, jajan dan makan di warung biasa yang pemiliknya tidak berakhlak baik saja bisa menurunkan muru’ah (kharisma). Bagi Anda yang mempelajari Hadis, muru’ah ini termasuk aspek penting pertimbangan diterimanya suatu hadis. Yang bisa dilakukan adalah sebisa mungkin waspada dan berhati-hati dalam memilih makanan yang hendak dikonsumsi. Memilih bahan-bahan yang jelas kehalalannya. Karena inti dari jalan yang diambil adalah menghindari yang haram, jangankan yang haram, yang subhat (tidak jelas) dan berlebihan dalam yang halal sekalipun harus dihindari.

Dalam situasi negara yang tidak menjalankan syariat Islam secara total seperti saat ini, yang mana segala hal yang berbau agama dikembalikan kepada individu muslim masing-masing, maka kiranya untuk penyedia makanan atau resto semisal Hanamasa perlu riset siapa sebetulnya calon konsumen terbesar yang dibidik datang ke resto AYCE tersebut. Jika yang ditargetkan berasal dari kalangan non muslim atau kafir, ya sudah mudah saja tinggal diberi tanda yang jelas bahwa muslim dilarang masuk ke resto tersebut karena menjual makanan yang bercampur dengan yang haram. Akan tetapi, jika konsumen yang ditarget Hanamasa sebenarnya adalah muslim maka harus menghormati hak-hak konsumen muslim, yang salah satunya adalah menjamin kehalalan produk makanan tersebut secara pasti dan tidak abu-abu. Jadi, transparan dengan pelanggan soal apa yang mereka mau makan sebelum mereka pesan itu adalah suatu kewajiban agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat.

Kita perlu kembali kepada yang telah dicontohkan oleh salafus shalih, misalnya dalam pemerintahan Khulafaur Rasyidin, yang mana saat itu tercatat pernah dilakukan proses penindakan pada pihak yang melanggar syariat terkait kehalalan produk. Khalifah Abu Bakar memberlakukan hukuman cambuk 40 kali untuk mereka yang mabuk. Khalifah Umar bin Khattab memberlakukan hukuman cambuk 80 kali dan penolakan kesaksian. Hukuman ini terus berlaku hingga zaman Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ibnu Qayyim mengungkapkan tambahan hukuman cambuk sebanyak 20 kali bisa dilakukan jika orang yang mabuk melakukannya pada bulan Ramadan.

Hukuman digunduli pernah dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, bahkan dicambuk sampai mati karena merupakan anak dari Amirul Mukminin. Saat itu Gubernur Mesir, `Amr bin `Aas memerintahkan penggundulan atas Abdul-Rahman bin `Umar bin Khattab yang kedapatan mabuk, hingga Khalifah Umar menetapkan hukuman terhadap putranya tersebut dicambuk sampai mati. Berbagai bentuk hukuman lain, seperti pencabutan hak, juga pernah dilakukan. Saat negara Khilafah ada, masyarakat tidak tertarik mengonsumsi makanan haram, selain karena ketaatan pada syariat, juga karena melimpahnya kuliner halal, tidak seperti sekarang yang untuk transparan menjelaskan komposisi bahan saja tidak dilakukan. Negara Khilafah mendukung para pakar kuliner untuk membuat kreasi menu halal yang menggugah selera. Pada akhir abad ke-10, muncul buku kuliner pertama berbahasa Arab yang ditulis oleh Ibnu Sayyar al-Warraq. Buku berjudul Kitab al-Tabikh (Book of Dishes) itu berisi catatan mengenai kuliner favorit khalifah Baghdad dan para pegawainya. Kemudian, hadir lima buku kuliner lainnya pada abad ke-13. Di pusat kota, kincir air digunakan untuk menggiling gandum menjadi tepung. Muncul pula tempat-tempat pembuatan gula tebu. Kemudian, ditemukan pula metode baru penyulingan untuk menciptakan sari pati aroma mawar dan jeruk. Demi menghasilkan masakan yang lezat, kemudian berkembang produksi telur, sosis, daging yang diawetkan, mentega, keju, roti, dan gula-gula. Semua proses produksi ini dilakukan oleh tangan-tangan yang terampil dan dijamin kehalalannya.

Jaminan produk halal yang diwujudkan oleh otoritas negara secara penuh akan menjaga rakyat sebagai konsumen merasa terlindungi dari bahaya dosa mengkonsumsi yang haram ataupun subhat. Demi menjaga ketaatan kepada Sang Pencipta dan supaya rakyat merasa dilindungi dan dijaga haknya karena daging anak keturunannya tumbuh dari makanan yang halal. Butuh peran Islam untuk mewujudkan jaminan halal yang paripurna, bukan sekuler kapitalistik seperti sekarang, yang menjadikan genjotan volume produk halal terkesan hanya sekadar aksesori bisnis belaka.

Disadur dari Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi