Menguak Liberalisasi Arab Saudi (Bagian 2 – Habis)

Bidang Pariwisata, Hiburan dan Sosial

Pure Beach, pantai privat di kawasan King Abdullah Economic City, Arab Saudi, menjadi sorotan dunia. Pasalnya, di sini para turis perempuan dibebaskan memakai bikini dan berpelukan dengan pasangannya. Pure Beach terletak sekitar 125 kilometer dari kota internasional Jeddah. Pemandangan tak biasa di kerajaan penampung situs tersuci umat Islam ini adalah gebrakan MBS untuk mencitrakan negaranya menjadi bebas. Tak seperti dulu.

Asma (32 tahun), salah satu turis perempuan dan warga Arab Saudi, mengatakan kepada AFP bahwa menghabiskan hari di pantai Arab Saudi bersama kekasihnya tak pernah terpikirkan sebelumnya. Sebabnya, negara itu dikenal sangat ketat. Ia bahkan bisa berdansa dengan pasangannya di atas pasir putih di tepi Laut Merah, diiringi dentuman musik dari pengeras suara.

Pantai ini memiliki taman terapung yang membentuk tulisan “Arab Saudi” dalam bahasa Inggris, jika dilihat dari atas. Untuk masuk ke sini, tiap orang harus mengeluarkan kocek 300 riyal Saudi atau sekitar Rp 1,1 juta (asumsi Rp 3,772/riyal), untuk menikmati musik dan tarian sekaligus bermain air.

Pada saat yang sama, Arab Saudi juga melegalkan minuman keras. Pihak Kerajaan telah membuka diri kepada dunia melalui reformasi ekonomi dan sosial yang luas.

Rencana pengembangan hiburan dalam negeri ini sudah diumumkan pada bulan April. Disebutkan bahwa Pemerintah Arab Saudi berencana membangun kota hiburan di pinggir Kota Riyadh seluas 334 kilometer persegi. Pengembangan industri hiburan asli dalam negeri dan pariwisata berpotensi mendatangkan pemasukan US$22 miliar atau sekitar Rp 293 triliun.

Angka itu didapat dari penghitungan jumlah uang yang dibelanjakan oleh warga Arab Saudi di luar negeri, antara lain untuk tujuan pariwisata dan hiburan. Di sana akan ditawarkan beragam kegiatan seperti kebudayaan, olahraga dan hiburan, termasuk taman rekreasi dengan wahana permainan serta taman safari. Aturan tersebut akan berlaku di kota megafuturistik baru milik Saudi (NEOM). Ini dikaitkan dengan pembukaan sebuah resor pantai di Neom tahun 2023 mendatang, Sindalah. Neom merupakan tonggak perubahan bagi Arab Saudi di bawah pemimpin de facto, MBS, di negaranya. Sebagian bertujuan untuk menarik turis asing dan mendorong pengusaha asing untuk tinggal dan bekerja di sana.

Bukan hanya alkohol, gambar pengemba-ngan Sindalah tertanggal Juni juga memuat gambar-gambar wanita berbikini dan pria bertelanjang dada. Mereka dibuat bersantai di kapal pesiar dan mandi di kolam renang tanpa batas.

Sebelumnya, isu perizinan alkohol di Arab Saudi sudah beredar sejak Mei lalu. Kepala pariwisata Neom Andrew McEvoy kepada surat kabar Nasional Abu Dhabi mengatakan undang-undang proyek akan sesuai dengan ‘target menarik warga asing untuk bekerja dan tinggal di wilayah itu’. “Alkohol jelas tidak lepas dari kebiasaan,” ujarnya kala itu.

Apa kata Pemerintah Arab Saudi? Meski demikian, perwakilan Neom belum memberikan konfirmasi terbaru soal ini. Pada bulan Mei, Pemerintah Arab Saudi sempat membantah sebagian dari isu. Dikatakan, Neom akan tunduk pada kedaulatan Arab Saudi, tetapi memiliki undang-undang ekonomi khusus. “Jawaban singkatnya adalah kami akan melanjutkan undang-undang kami saat ini,” kata Asisten Menteri Pariwisata Putri Haifa binti Mohammed al-Saud. Ia mengatakan itu pada diskusi panel di Forum Ekonomi Dunia.

“Kami telah mengungguli secara global dalam hal pariwisata dengan apa yang saat ini kami tawarkan hari ini,” tegasnya lagi (https://www.cnbcindonesia.com/news/20220921064027-4-373714/raja-salman-izinkan-alkohol-bikini-di-arab-ini-kronologinya)

Di bidang hiburan lainnya, Pesta Halloween diizinkan. Otoritas Hiburan Umum Arab Saudi telah menggelar Perayaan Halloween publik terbesar sepanjang sejarah, yaitu pada 27-29 Oktober 2022 lalu. Perayaan bertajuk “Akhir Pekan Menakutkan” yang berlangsung di Riyadh Boulevard ikut meramaikan Riyadh Season. Masyarakat beramai-ramai mengenakan kostum menyeramkan untuk bersenang-senang.

Perayaan Halloween di Arab Saudi digelar dua hari sebelum perayaan serupa di Amerika Serikat, 31 Oktober. Kepala Otoritas Umum untuk Hiburan, Penasihat Royal Court Arab Saudi, Turki Al-Sheikh, mengatakan melalui akun Facebook-nya: “Suasana di akhir pekan menakutkan.”

Ironisnya, justru Arab Saudi melarang Peringatan Maulid Nabi saw. Pemerintah Arab Saudi melarang Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. karena dianggap tidak sesuai dengan sunnah alias bid’ah. Meski demikian Pemerintah tetap membolehkan jika ada orang yang memperingati maulid secara individu.

Seiring itu pula berlaku beberapa kebijakan sosial seperti pencabutan aturan wajib hijab. Pemerintah Arab Saudi kini membolehkan wanita melepaskan hijab di tempat umum. Wanita juga punya hak yang sama dalam dunia kerja. Sejak 2018 lalu, sesuai Visi 2030 yang dirancang MBS, Arab Saudi menegaskan visinya untuk tidak saja menjadi pusat dunia Arab dan Islam, tetapi juga sebagai kekuatan investasi dunia dan pusat yang menghubungkan benua Asia, Afrika dan Eropa.

Hal tersebut berdampak di segala bidang dan menyentuh semua kalangan, termasuk kaum perempuan. Para wanita mendapatkan kesempatan untuk membantu menyukseskan program pembangunan di berbagai bidang.

Di sisi lain, sebuah pembunuhan mengerikan akibat narkoba memikat media di Arab Saudi pada April 2022, ketika seorang pria di Eastern Province (Provinsi Timur) negara itu membakar rumah keluarganya sebelum berbuka puasa dan menewaskan empat anggota keluarganya.

Polisi mengatakan dia berada di bawah pengaruh sabu-sabu, metafetamin, menurut surat kabar setempat. Arab Saudi kembali dicap menjadi “surga” narkoba di Timur Tengah usai pihak berwenang menyita pil puluhan juta pil narkotika pada akhir Agustus 2022. Mengapa sebutan itu muncul?

Sebutan itu kembali santer terdengar setelah Kepolisian Saudi mengamankan hampir 47 juta pil narkoba jenis amfetamin. Jutaan pil ini tersembunyi dalam paket pengiriman tepung di sebuah gudang di Riyadh.

Direktorat Jenderal Pengendalian Narkotika menyatakan operasi itu sebagai penyelundupan tunggal terbesar di Saudi. Begitu besar penyitaan ini, Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Narkoba dan Kriminal (UNODC) sampai buka suara. “Laporan penyitaan amfetamin dari negara-negara Timur Tengah terus merujuk pada tablet bertuliskan logo captagon,” demikian pernyataan UNODC yang dikutip CNN.

Pengamat Brookings Institution di Washington DC, Vanda Felbab-Brown, menyebut captagon beredar di Arab Saudi sejak 15 tahun lalu. Lima tahun terakhir, pemakaian obat itu makin intensif.

“Mungkin jadi setara dengan ganja. Hal ini karena ada banjir pasokan yang kini sebagian besar datang dari Suriah,” kata Felbab-Brown. Di Suriah, obat-obatan itu memang diproduksi dalam skala industri di pabrik kimia rezim Presiden Bashar al-Assad. Saudi kini disebut menjadi tujuan utama penyelundupan narkoba dari Suriah dan Lebanon.

Para ahli menyebut Negeri Kilang Minyak itu sebagai salah satu wilayah terbesar dan paling menguntungkan untuk peredaran narkoba. Menurut jurnal International Addiction Review, Captagon bisa dijual antara US$10 hingga US$25 dolar atau sekitar Rp 148 ribu hingga Rp 371 ribu perbutir di Saudi. Banyak orang juga mencari obat jenis amfetamin karena dianggap bisa menjadi pelarian untuk warga yang stres di tengah kelaparan dan krisis pangan.

“Serta mendorong euforia yang disebut membantu mengatasi stres traumatis. Disebut pula, sifat yang sama dari captagon itu dicari pekerja asing di negara Teluk,” kata analisis senior dari New Lines Institut, Caroline Rose.

Jelaslah, pencabutan kewajiban menutup aurat baik di pantai dan tempat kerja, legalisasi miras, pesta Halloween dan narkoba adalah bertentangan dengan syariah Islam.

 

Bidang Dakwah dan Kebebasan Sipil

Banyak penangkapan dan pemenjaraan ulama dan mereka yang bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan MBS. Pengadilan Banding Arab Saudi menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Syaikh Shalih ath-Thalib, seorang imam dan pengkhutbah terkemuka di Masjidil Haram di Makkah.

Melansir Middle East Monitor, Rabu (24/8/2022), Pengadilan Banding membatalkan putusan Pengadilan Kriminal Khusus yang membebaskan Syaikh ath-Thalib dari tuduhan terhadap dirinya. Ath-Talib yang berusia 48 tahun ditangkap pada Agustus 2018. Namun, tidak ada penjelasan resmi yang dikeluarkan untuk penangkapannya. Yang jelas, dia adalah seorang imam di Makkah pada saat itu.

Sebuah kelompok advokasi media sosial, Prisoners of Conscience, yang memantau dan mendokumentasikan penangkapan para pengkhutbah dan ulama Saudi, mengatakan bahwa ath-Thalib ditangkap setelah ia menyampaikan khutbah tentang kewajiban dalam Islam untuk berbicara menentang kejahatan di depan umum.

Perlu diketahui, Arab Saudi telah menangkap puluhan ulama sejak musim panas 2017. Beberapa di antaranya karena secara terbuka menyerukan rekonsiliasi antara negara-negara Teluk ketika Saudi mempelopori pengepungan di negara tetangga Qatar. Lebih dari setahun sejak berakhirnya boikot, para ulama tetap di penjara.

Arab Saudi sejauh ini telah menangkap setidaknya empat ulama yang dianggap mengancam kekuasaan kerajaan. Yang terbaru, kerajaan Saudi mengerahkan 20 intelijen untuk menangkap ulama perempuan Aisha al-Muhajirri. Ia ditangkap di kediamannya karena berdakwah dan mengajar ngaji.

Menurut Prisoners of Conscience yang melaporkan penangkapan dan penindasan Pemerintah Saudi terhadap aktivis, al-Muhajiri ditangkap bersama tokoh masyarakat dan dua wanita lainnya. Selain al-Muhajirri, berikut deretan ulama yang sebelumnya ditangkap otoritas Arab Saudi. Di antaranya:

  1. Syaikh Abdullah Basfar. Beliau adalah qari (pembaca al-Quran) yang ditangkap pada Agustus 2020 lalu. Basfar ditahan di Prisoners of Conscience (PoC), namun tidak disebutkan alasan penahanannya. Sebagian orang menganggap penahanan itu sebagai tindakan keras atas dugaan ekstremisme di Kerajaan. Upaya tersebut sejalan dengan rencana MBS yang akan menghapus identitas agama di Arab Saudi. Dilansir Middle East Monitor, Basfar merupakan seorang profesor di Departemen Syariah dan Kajian Islam di King Abdul Aziz University di Jeddah. Dia juga mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Kitab dan Sunnah Dunia.
  2. Syaikh Saud al-Funaisan juga ditangkap pada bulan Maret 2020. Tak berbeda dengan Basfar, penangkapan al-Funaisan diduga sebagai bagian tindakan ekstremisme di Kerajan Saudi. Ia merupakan seorang profesor universitas dan mantan Dekan Fakultas Syariah di Universitas al-Imam di Riyadh.
  3. Syaikh Shalih ath-Thalib. Pada Agustus 2018, Arab Saudi dikabarkan menangkap Shalih ath-Thalib lantaran khutbahnya yang dinilai mengkritik kebijakan Kerajaan. PoC menyebut Thalib menyampaikan ceramah yang menyebut Islam harus melawan godaan-godaan setan dalam lingkup masyarakat, termasuk godaan berkumpul antara kaum laki-laki dan perempuan di tempat publik. Berdasarkan laporan Khaleej Online, dalam khutbahnya, Thalib mengkritik kebijakan yang mulai mengizinkan kaum perempuan dan laki-laki berkumpul di acara-acara publik seperti festival musik hingga pertandingan olahraga.
  4. Syaikh Sulaiman Dweesh. Salah satu cendekiawan terkemuka, Sulaiman Dweesh juga ditangkap setelah mengkritik Pangeran Mohammed. Seminggu sebelum penangkapan Thalib, Dweesh dikabarkan tewas akibat disiksa selama berada dalam penahanan otoritas Saudi.
  5. Syaikh Salman al-Awdaa. Awda merupakan salah satu orang yang ditangkap Otoritas Saudi dalam penggerebekan terhadap penentang Pemerintah, pada September 2017. Kelompok pemerhati HAM, Amnesty Internasional, menyatakan Awda ditangkap tak lama setelah mengunggah pendapatnya di Twitter yang mendukung laporan yang memuat kemungkinan rekonsiliasi antara Saudi dan Qatar. Sejak Juni 2017, Saudi menutup hubungan diplomatik, ekonomi dan segala akses yang berhubungan dengan Qatar. Awda sempat dibawa ke rumah sakit setelah hampir lima bulan ditahan di penjara isolasi. Oleh Otoritas Saudi, pihak keluarganya tidak diperkenankan berkomunikasi dengan Awda sejak ditahan.

 

Sikap ini semua menggambarkan pembungkaman atas sikap kritis dan amar maruf nahi mungkar yang diperintahkan oleh syariah Islam.

 

Bidang Pemerintahan

Pemerintah Amerika Serikat (AS) tidak menjatuhkan sanksi atau menghukum Putra Mahkota Arab Saudi, MBS, dalam kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi. Padahal laporan intelijen Amerika menyalahkan calon raja Saudi tersebut.

Gedung Putih membela keputusannya untuk tidak secara langsung memberi sanksi kepada MBS ketika kritik bermunculan sebelum Washington akan mengumumkan kebijakan baru terhadap Riyadh pada hari Senin (1/3/2021).

Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mendukung langkah untuk tidak menargetkan Putra Mahkota MBS dalam sebuah wawancara pada hari Minggu, meskipun kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) dan beberapa politisi senior Demokrat menyatakan kekecewaannya.

Psaki mengatakan keputusan Pemerintah Biden ini sebagai bagian dari diplomasi. “Kami yakin ada cara yang lebih efektif untuk memastikan hal ini tidak terjadi lagi dan juga dapat memberikan ruang untuk bekerja dengan Saudi di area di mana ada kesepakatan bersama—di mana terdapat kepentingan nasional untuk Amerika Serikat. Seperti itulah bentuk diplomasi,” kata Psaki kepada CNN.

Joe Biden tidak menjelaskan apa yang akan diumumkan pada Hari Senin. Ia hanya mengatakan bahwa pendekatan umum ke Arab Saudi itu akan menjadi “signifikan” dan menjelaskan bahwa “peraturan sedang berubah”.

“Kami akan meminta pertanggungjawaban mereka atas pelanggaran HAM,” kata Biden kepada Univision.

Dia mengaku telah memperingatkan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud tentang pengumuman itu dalam percakapan telepon pada Hari Jumat.

Gedung Putih mengatakan bahwa pihaknya memandang raja berusia 85 tahun itu sebagai rekan Biden daripada putra mahkota berusia 35 tahun, yang memiliki kendali atas kebijakan sehari-hari.

CNN, mengutip dua pejabat Pemerintah yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan bahwa memberi sanksi kepada Pangeran MBS bukanlah pilihan karena akan membahayakan kehadiran AS di Arab Saudi, di mana Amerika memiliki lima pangkalan. Akibatnya, Departemen Luar Negeri bahkan tidak diminta memberikan opsi untuk memberikan sanksi kepada Pangeran Mohammad bin Salman.

Dengan publikasi laporan intelijen AS tentang pembunuhan Khashoggi tahun 2018, Pemerintahan Biden mengatakan pihaknya memberlakukan pembatasan visa pada 76 orang Saudi yang terlibat dalam pembunuhan. Sanksi terhadap 76 warga Saudi itu dikenal sebagai “Khashoggi Ban”.

Tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa Pangeran MBS tidak ada dalam daftar 76 warga Saudi yang terkena sanksi, tetapi pernyataan Psaki pada hari Minggu terlihat mengesam-pingkan hal itu.

Jelas, pembunuhan politik tanpa ada dasar hukum sebagaimana pemenjaraan para lawan politik adalah tindakan yang bertentangan dengan Islam.

 

Masa Depan Arab Saudi

Melihat berbagai kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan MBS sebagai penguasa de facto Arab Saudi, sulit melihat akan ada perubahan islami. Yang terjadi adalah makin menderasnya sekularisasi dan liberalisasi.

Satu peluang terakhir adalah membangun pemahaman dan opini umum yang berbasis kesadaran politik umum dari masyarakat, para tokoh ulama dan masyarakat. Mereka semua tidak boleh diam. Melalui dakwah kolektif berkarakter intelektual dan politis, yang meneladani Rasul saw. dan para Sahabat, peluang bagi tegaknya syariah Islam secara kaaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah adalah keniscayaan.

Jangan biarkan Arab Saudi terus menjadi  tragedi!  

WalLâhu a’lam. [Dr. Riyan M.Ag.; (Pengamat Politik Islam)]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi