Menakar Kerugian Indonesia Atas Sengketa Laut Dengan Vietnam di Kawasan Natuna Utara

Oleh. Ervan Liem

Tiga belas tahun sudah perundingan Indonesia-Vietnam soal konsesi laut Natuna Utara dilakukan, dengan 16 kali pertemuan namun hingga saat ini persoalan tersebut masih mengambang dan belum memberikan kepastian, lagi-lagi Vietnam masih saja menawar kedaulatan negeri tercinta ini yang mana pemerintah kita juga belum mampu tegas dalam memberikan keputusan final. Hal inilah yang kiranya membuat Indonesia dianggap remeh oleh negara lain, baik oleh negara seperti Vietnam maupun China yang juga ikut ‘cawe-cawe’ dikawasan laut Natuna Utara tersebut. Kekayaan Indonesia jelas menggoda negara lain untuk menjarahnya. Ketika sebuah negara kecil seperti Vietnam, bahkan ‘hanya’ nelayannya saja berani berkali-kali mengusik batas laut Indonesia, tentu dengan relita tersebut posisi kedaulatan Indonesia patut ditanyakan.

Laut Natuna Utara Rentan Penjarahan oleh Negara Lain Khususnya Vietnam

Merujuk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia berhak untuk mengklaim kawasan perairan ZEE sepanjang 200 mil dari garis pantai yang ada di Kepulauan Natuna. Pada perundingan terakhir di penghujung 2022, Vietnam mengajukan usulan equal pada remaining area dari ZEE Indonesia. Namun, usulan tersebut dinilai banyak pihak hanya akan merugikan Indonesia, utamanya nelayan skala kecil dan tradisional. Mengikuti keinginan Vietnam hanya akan merugikan kepentingan Indonesia, perundingan sudah berjalan hingga 16 kali, karena belum ada titik temu antara kedua negara. Indonesia tegas bahwa garis batas Negara di laut merujuk pada UNCLOS 1982. Namun, Vietnam menginginkan batas negara sejajar dengan garis batas landas kontinen. Dari perundingan terakhir dipenghujung tahun kemarin, diketahui bahwa Vietnam mengusulkan adanya pembagian remaining area yang mereka sebut dengan istilah equal. Usulan tersebut dilakukan Vietnam untuk mencari keuntungan yang maksimal. Jika usulan tersebut diterima, maka Indonesia kehilangan wilayah laut yang cukup luas dan potensi sumber daya ikan.

Seperti diketahui, perairan laut Natuna Utara sudah dimanfaatkan oleh 5.590 rumah tangga perikanan tangkap lokal. Namun, pemanfaatan ruang laut masih belum maksimal, karena jumlah kapal ikan tidak sebanding dengan banyaknya nelayan lokal. Dilansir dari kantor berita Antara, pertemuan Teknis ke-16 penetapan batas ZEE Indonesia-Vietnam dikonfirmasikan telah diselenggarakan di Hanoi, Vietnam pada 24-25 November 2022. Pada kesempatan tersebut, kedua pihak membahas metode pembagian remaining area lebih lanjut. Namun, posisi saat ini untuk pembagian remaining area sudah jauh melampaui red line berbagai pihak, termasuk Kementerian Perikanan dan Kelautan, pengamat maritim dan organisasi kelautan. Tindakan yang dilakukan Vietnam di kawasan Laut Natuna Utara jelas merugikan kedaulatan nasional dan sektor perikanan tanah air, mengingat tidak ada itikad baik dari kapal-kapal asing tersebut. Tren operasi kapal Vietnam di ZEE Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 2021 hingga September 2022, apa yang dilakukan oleh Kapal ikan Vietnam itu melanggar pasal 56 UNCLOS 1982.

Menurut konsepsi kepentingan nasional Nuechterlein, kepentingan nasional Indonesia di Laut Natuna Utara meliputi kepentingan pertahanan, kepentingan ekonomi, dan kepentingan ketertiban dunia. Kepentingan pertahanan Indonesia terkait dengan kedaulatan teritorial. Manfaat ekonomi kemudian dikaitkan dengan kedaulatan dan yurisdiksi khusus dalam pemanfaatan sumber daya alam di dalam ZEE. Pada akhirnya, adalah kepentingan tatanan dunia untuk menjaga kawasan ini tetap aman dan stabil sebagai jalur perdagangan dan transportasi internasional. Dalam hal kepentingan pertahanan untuk menjaga kedaulatan wilayah, sengketa ini dapat digambarkan sebagai ujian untuk mempertahankan wilayah Indonesia di Laut Natuna Utara. Mengutip Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia mengklaim perairan teritorialnya sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Dasar hukum tersebut jelas memberikan kedaulatan kepada Indonesia untuk menggali kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hal ini juga terkait dengan kepentingan ekonomi Indonesia. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 7 Tahun 2016, Laut Natuna kaya akan sumber daya laut seperti berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Selain itu, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam potensial lainnya di wilayah tersebut. Departemen Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) menyatakan potensi kandungan minyak di Blok East Natuna adalah 36 juta barel minyak, 222 triliun kaki kubik (tcf) cadangan gas awal (IGIP) dan 222 triliun cadangan gas bumi. Berdasarkan potensi tersebut, Indonesia berhak mengelola sumber daya di Laut Natuna bagian utara guna meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi Indonesia.

Dampak Negatif Kurang Tegasnya Indonesia Atas Klaim Wilayah Oleh Vietnam di Laut Natuna Utara?

Jika ditilik lebih dalam, bahasan tentang konsesi laut Natuna Utara antara Indonesia dan Vietnam, termasuk bahasan yang mengkhawatirkan. Penyebabnya, karena jika konsesi dikabulkan, maka berarti nelayan dari Vietnam akan mencari ikan lebih leluasa lagi di zona Indonesia, dan dinilai legal. Artinya, jika konsesi dikabulkan, maka nelayan skala kecil dan tradisional Indonesia akan menderita kerugian yang tak ternilai dan akan berlangsung dalam jangka waktu tak terhingga pula. Kerugian itu muncul karena nelayan akan kehilangan ruang dan klaim atas sumber daya alam yang terkandung dalam konsesi tersebut.

Selain akan merugikan nelayan, jika Indonesia mengabulkan konsesi, maka secara langsung Indonesia memberikan karpet merah kepada negara komunis tersebut. Nelayan dari Vietnam akan lebih leluasa dan tidak lagi harus mencuri ikan di perairan Indonesia. Indonesia akan mengalami penyempitan kedaulatan di laut, karena ada ZEE Indonesia yang bisa dimanfaatkan oleh negara lain. Selain itu, di saat yang sama, justru Vietnam akan mendapatkan keuntungan besar karena wilayah teritorial lautnya justru mengalami perluasan. Itu juga akan memberi negara tersebut keleluasaan untuk memanfaatkan ruang laut tambahan itu secara langsung.

Strategi Agar Sengketa Kawasan Laut Tidak Berkepanjangan?

Pertimbangan Indonesia untuk memberikan konsesi laut kepada Vietnam memang menjadi poin krusial dalam perundingan kedua negara. Jika konsesi tersebut tidak dikabulkan, maka hal tersebut adalah langkah yang tepat. Tetapi jika sebaliknya, maka itu menjadi diplomasi yang mengecewakan, karena kedaulatan teritorial laut Indonesia sudah seharusnya dijaga dan itu sudah dilindungi oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Pemerintah Indonesia harus bisa menunjukkan sikap yang tegas kepada pemerintah Vietnam berkaitan dengan kedaulatan teritorial Indonesia. Sikap tegas diperlukan, karena itu bisa memperlihatkan kekuatan laut Indonesia di mata negara lain. Terlebih selama ini nelayan dari Vietnam sering melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan meski melanggar regulasi (IUUF).

Indonesia harus melakukan penguatan pertahanan dan mengamankan batas wilayah di semua pulau terdepan. Termasuk, dengan menindak tegas semua aktivitas pencurian ikan oleh asing. Dengan kata lain, bahwa kedaulatan teritorial ZEE laut Natuna Utara sudah tidak bisa untuk ditawar lagi, oleh siapa pun dan negara mana pun. Seharusnya, Pemerintah Indonesia menjadikan perundingan yang sudah dilakukan itu sebagai momentum penegasan terhadap wilayah lautnya tanpa bentuk toleransi apa pun. Karena penegasan tersebut akan menjadi pengumuman kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan patuh pada penetapan batas ZEE dalam UNCLOS 1982. Ketegasan Pemerintah Indonesia dalam bernegosiasi dengan Vietnam, atau negara lain dalam memperjuangkan kedaulatan negara di laut, menjadi sangat penting bagi para nelayan dan pegiat pesisir lainnya di wilayah Kepulauan Riau, khususnya di sekitar perairan laut Natuna Utara dan laut Anambas. Negosiasi yang tegas juga menjadi bukti bahwa Negara hadir di laut untuk memberikan perlindungan penuh kepada para nelayan dan wilayah laut. Tanpa negosiasi tegas, kedaulatan Negara akan terus ditekan, dan pencurian ikan serta penjarahan terhadap potensi sumber daya alam lainnya akan terus ada.

Indonesia juga perlu memahami bahwa penyediaan kekuatan militer, perhatian terhadap kekuatan militer, dan pengetahuan tentang pertimbangan kemiliteran adalah bagian pokok untuk kepentingan kedaulatan, yang mana adanya hal tersebut adalah untuk menopang pemberantasan kepada pihak asing yang mengotak-atik kedaulatan negara dalam artian lain bahwa penyediaan angkatan perang adalah untuk mewujudkan jihad. Kekuatan militer menjadi satu-satunya baju pelindung dari hentakan gangguan kekuatan dan negara asing. Sejatinya hal semacam itu ada dalam Islam dan lebih tepat jika Indonesia ini mau menjalankan ketentuan Islam. Melalui perang/jihad sebagai aktivitas utama, maka negara akan mampu menghalau semua gangguan yang mengancam. Seperti yang ditunjukkan Rasulullah Saw, pada saat memerangi pengkhianatan Yahudi. Rasulullah Saw. berangkat ke Khaibar pada Muharam 7 H bersama 1.400 pasukan untuk menaklukkan benteng Khaibar. Dalam perjalanan ke Khaibar, demi menggentarkan para pengganggu negara, Rasulullah Saw. “show of force” militernya untuk menciutkan nyali kabilah Ghathafan yang akan membantu orang-orang Yahudi. Dengan cara semacam itu tentu jika diterapkan di negeri tercinta ini maka pasti tak ada lagi negara asing yang menjarah kekayaan laut Indonesia, Vietnam atau China sekalipun.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi