Oleh: Ahmad Sastra
Kata “demokrasi” pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 507-508 SM. Cleisthenes disebut sebagai “bapak demokrasi Athena.
Demokrasi Athena berbentuk demokrasi langsung dan memiliki dua ciri utama: pemilihan acak warga biasa untuk mengisi jabatan administratif dan yudisial di pemerintahan, dan majelis legislatif yang terdiri dari semua warga Athena. Semua warga negara yang memenuhi ketentuan boleh berbicara dan memberi suara di majelis, sehingga tercipta hukum di negara-kota tersebut. Akan tetapi, kewarganegaraan Athena tidak mencakup wanita, budak, orang asing (μέτοικοι metoikoi), non-pemilik tanah, dan pria di bawah usia 20 tahun.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara ikut serta—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya.
Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Landasan demokrasi mencakup kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat dan berbicara, inklusivitas dan kesetaraan, kewarganegaraan, persetujuan dari yang terperintah, hak memilih, kebebasan dari perampasan pemerintah yang tidak beralasan atas hak untuk hidup, kebebasan, dan hak minoritas. Dari ilustrasi diatas menunjukkan hal yang mendasar bahwa demokrasi tidak menjadikan Tuhan sebagai sumber hukum. Sumber hukum demokrasi adalah kesepakatan manusia yang berasal dari akal dan kepentingan.
Plato berpendapat bahwa negara yang menganut sistem demokrasi merupakan negara yang tidak ideal. Tidak idealnya sistem demokrasi terletak pada kedaulatan yang berada ditangan rakyat. Mengapa demikian? Plato menyatakan bahwa demokrasi ialah sistem yang memuja kebebasan artinya bahwa masyarakat secara bebas menyatakan pendapatnya masin-masing. Kebebasan ini akan bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain. kebebasan tersebut ialah tanpa batas, tanpa aturan dan tanpa hukum.
Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat.
Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (Q.S.al-A’raf/7:54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Sokrates sempat menyamakan demokrasi dengan kapal. Sokrates mempertanyakan apabila kita ingin berlayar dengan sebuah kapal, apakah kita lalu sibuk memilih kepada siapa kita percayakan tugas untuk menjadi nahkoda kapal tersebut?
Wajar apabila kita akan lebih percaya kepada orang yang ahli akibat berpengalaman sebagai nahkoda sebuah kapal ketimbang orang yang sama sekali awam soal mengnahkodai kapal. Namun lazimnya sebagai penumpang kapal, kita tidak sibuk menyelenggarakan pemilu untuk memilih nahkoda yang menahkodai kapal yang kita gunakan untuk berlayar. Lazimnya kita percayakan pemilihan sang nahkoda langsung kepada sang pemilik atau manajer kapal yang kita tumpangi.
Sokrates pribadi malah mengalami pengalaman buruk dalam secara demokratis menyerahkan nasib dirinya sendiri kepada mayoritas. Pada tahun 399 sebelum Masehi, Sokrates diadili di pengadilan Athena atas dakwaan menyesatkan generasi muda Athena. Sebuah dewan juri terdiri dari 500 warga Athena diundang untuk memutuskan Sokrates bersalah atau tidak. Ternyata mayoritas menyatakan Sokrates bersalah dan dihukum mati dengan dipaksa minum racun.
Sokrates memang selalu menguatirkan bahwa demokrasi yang lepas kendali bisa tergelincir menjadi demagogi yang berasal dari kata demos = rakyat dan agogos = dipimpin. Rakyat yang dipimpin secara demagogis berarti sama saja dengan dipimpin oleh seorang sesama rakyat yang tidak tahu cara memimpin secara tepat dan benar.
Mendengar istilah khilafah bagi kaum muslimin adalah sesuatu yang biasa, karena memang menjadi bagian dari ajaran Islam. sebagaimana seorang muslim mendengar istilah sholat, zakat, haji dan syahadat. Al Qur’an mengenalkan istilah khalifah sebagai konsep kepemimpinan Islam. Disebut dengan istilah raja karena memimpin kerajaan. Disebut sultan karena memimpin kesultanan. Maka disebut khalifah karena memimpin kekhilafahan. Sederhana kan ?
Itulah mengapa para khalifah seperti Abu Bakar Syiddiq, Umar Bin Khathab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib memimpin sebuah institusi bernama khilafah. Begitupun khilafah bani Umayyah dan Usmaniyah. Esensi khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan.
Masalah Kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah perkara yang sangat penting. Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Siddiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.
Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur urusan manusia agar tertib sejalan dengan nash Al Qur’an serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rasulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah perjalanan .Islam mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat. Ulil Amri ditaati sepanjang dia taat kepada Allah dan RasulNya. Jika menemukan persoalan, maka Islam menganjurkan untuk kembali kepada Allah dan RasulNya.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisaa : 59)
Ulil Amri menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang dipimpinnya. Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan). Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab.
Seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) telah sepakat (ijmak mu’tabar) bahwa hukum menegakkan Khilafah adalah wajib. Tepatnya fardhu kifayah. Tidak ada yang menyalahi ijmak ini melainkan segelintir manusia saja. Itu pun orang-orang yang tidak diperhitungkan pendapatnya dari kalangan Muktazilah dan Khawarij. Seluruh ulama Aswaja juga sepakat bahwa dasar wajibnya Khilafah itu adalah dalil syariah, bukan akal, yaitu : al- Quran, as-Sunnah, Ijmak sahabat dan kaidah yang di gali dari nas-nas syariah.
Dalil Al-Qur’an Allah SWT berfirman: Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi….”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 30).
Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, “Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-‘Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya.”
Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf(menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi ‘Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal al-mu’lim bi-Fawa id Muslim, “ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.” Di antaranya juga berdasarkan hadist Nabi saw:
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang Khalifah), maka dia mati seperti mati jahiliyah (dengan membawa dosa). Berdasarkan hadist ini, keberadaan khalifah yang di baiat menjadi wajib hukumnya. Senada dengan itu adalah hadist yang terkenal di kalangan Ahlul Kalam : Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak mengetahui khalifah pada masanya maka dia mati seperti mati jahiliyah (dengan membawa dosa).
Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-‘Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja. Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, “Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath’i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar’i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah…”
Khilafah sebagai ahammul wajibat juga di kemukakan oleh Sa’duddin At-Taftazani (w. 791 H), Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari (w.926 H), Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani (w.978 H), Syamsuddin ar-ramli (w. 1004 H), Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H), Syamsuddin as-Safarini (w. 1188 H), Hasan bin Muhammad al-‘Aththar (w. 1250 H), Ahmad bin Muhammad ash-sawi (w. 1241 H), Abu al Fadhal as-Sinuri (w.1411 H), dan lainya.
Sudah sangat jelas dalil dari al-Quran, hadist dan juga Ijmak Sahabat yang menunjukan kewajiban menegakkan Khilafah. Kita sebagai umat Islam jangan pernah ada lagi keraguan tentang kebenaran, Khilafah ajaran Islam yang musti harus kita perjuangkan bersama-sama (jamaah) semoga janji Allah yang akan menjadikan kita (kaum Muslim) sebagai penguasa di muka bumi ini segera terwujud.
Dengan demikian jelaslah bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, sebagaimana dengan ajaran lain. Karena ajaran Islam, maka Allah dan RasulNya menjadi rujukannya. Sementara demokrasi juga jelas sebagai ajaran socrates dan plato, meski di kemudian hari mereka sendiri menentangnya. Membela khilafah adalah membela ajaran Islam yang sebagai konsekuensi umat Muhammad. Sementara membela demokrasi berarti membela ajaran bangsa Yunani seperti aristiteles, socrates dan plato. Tinggal pilih, mau menjadi umat Muhammad atau pengikut Plato ?
(AhmadSastra,KotaHujan,24/04/22 : 15. 30 WIB)