Lembaga Peradilan ala Demokrasi, Mungkinkah Bebaskan Negeri dari Korupsi?

Oleh: Ummu Aqila

Negeri bebas korupsi adalah impian bagi setiap negara. Negara besar, kecil, modern, terbelakang pun tak terkecuali. Regulasi di lembaga-lembaga pemerintah, regulasi di lembaga peradilan dimaksudkan sebagai tindakan preventif tindak kasus korupsi. Namun, semua itu tidak memberikan hasil yang diharapkan. Bukannya kasus tindak korupsi menjadi berkurang faktanya semakin berlipat.

Tidak hanya terjadi di kalangan pejabat  kasus korupsi, bahkan korupsi juga terjadi di lembaga peradilan dan penegak hukum. Lembaga yang seharusnya bersih dari pelanggaran hukum apa pun.

Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan 5 tersangka pegawai Mahkamah Agung dalam kasus suap Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Peristiwa ini menyeret hakim agung nonaktif Sudrajad Dimyati (dkk). Sedangkan sebagai pemberi suap, Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana. KPK menetapkan 5 orang menjadi tersangka debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana, dua orang pengacara dan dua pengurus koperasi Intidana (suaramerdeka.com, 4/10/2022).

Sebelumnya, seorang perwira polisi di Polda Sumatra Selatan mengaku, setiap bulan harus memberikan setoran ke atasannya yang menjabat Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dikrimsu) Polda Sumsel. Sementara ia sendiri menjadi terdakwa kasus dugaan penerima suap yang diduga bersumber dari Dinas PUPR Kabar Musi Banyuasin, Sumatra Selatan, dan masih banyak lagi peristiwa serupa. Penangkapan demi penangkapan yang melibatkan aparat penegak hukum, terutama hakim agung, sangatlah mempermalukan lembaga peradilan. Penangkapan mereka sekaligus menjatuhkan kepercayaan publik pada penegak hukum terutama dalam pemberantasan korupsi. Kenapa demikian dalam Sistem demokrasi, hakim dipandang sebagai “wakil tuhan di dunia”. Kalau wakilnya aja memberikan contoh korup dan rakus, bagaimana bisa hukum peradilan ditegakkan.
Ditambah kemudahan pemerintah memberikan remisi alias pemotongan masa tahanan terpidana korupsi hingga 60% sering dilakukan. Dengan dalih mengatasnamakan amanat undang-undang.

Benar-benar tampak menjadikan hukum tumpul kepada mereka yang bersama rezim dan tajam kepada kelompok yang berseberangan.
Masyarakat sudah lelah melihat tindak kejahatan korupsi yang tiada henti di negeri ini. Korupsi seperti penyakit kanker stadium lanjut yang menular hampir setiap lini. Korupsi bak lingkaran setan yang melibatkan banyak pihak diberbagai instansi pemerintahan. Korupsi tidak hanya perorangan bahkan korupsi berjemaah seolah sudah menjadi lumrah dalam sistem demokrasi.

Sistem demokrasi dan korupsi ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Simbiosis mutualisme para pemegang jabatan, dengan para oligarki dalam meraih keuntungan. Sistem demokrasi yang ber cost tinggi menjadikan mereka bergandengan erat tak terpisahkan. Kesejahteraan rakyat menjadi janji-janji kosong pada saat kontestasi pemilu.

Di saat mereka menjadi pejabat seakan hilang ingatan dan memanfaatkan masa jabatanya demi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dari sisi mana korupsi bisa diberantas, sedang sisi sistem demokrasi tidak memberikan celah sedikit pun untuk adil. Sistem demokrasi yang merupakan bagian dari sistem kapitalisme, meniscayakan adanya kaidah tujuan menghalalkan segala cara dan keuntungan menjadi hal utama. Sistem yang menjadikan orang baik menjadi jahat dan orang jahat menjadi lebih jahat lagi.

Untuk memberantas perlu langkah baru yang jitu yang dapat memberantas korupsi secara tuntas. Sistem kapitalis demokrasi jelas tidak biasa, maka satu-satunya solusi adalah Sistem Islam yang sudah terbukti selama 13 abad memimpin dunia. Dalam sistem Islam, peradilan benar-benar tegak tidak hanya menuntaskan masalah korupsi. Peradilan didukung tegaknya tiga pilar, negara, masyarakat, dan individu.

Pilar negara yang memberlakukan penerapan seluruh syariat Islam dan kekuasaan pada seorang ķhalifah yang menjadi perisai bagi seluruh umat. Pilar masyarakat yang memiliki perasaan yang sama dalam menerapkan seluruh aturan bernegara dengan memberikan koreksi pada penguasa apabila terjadi pelanggaran hukum. Pilar Individu yang beriman dan bertakwa.

Dalam peradilan, Islam menetapkan seorang hakim adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Hakim yang mengadili dengan hukum Islam dan hakim yang menerapkan hukum secara adil sesuai ketetapan syariat. Khalifah memberikan pengawasan maksimal termasuk pengaudit semua kekayaan para hakim.

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi