Laut Natuna Utara Kembali Diusik, Pemerintah Seolah Tak Berkutik?

Oleh Ervan Liem

Terkait isu mengenai kepemilikan sumber energi, beberapa hari terkhir ini China mulai melangkah dengan mengancam Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran di wilayah Laut Natuna Utara. Meski Indonesia telah lama memiliki perusahaan yang bertanggung jawab terhadap sumber energi di kawasan tersebut. Desakan China yang meminta Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran minyak bumi tersebut merupakan klaim negara berhaluan komunis itu terhadap Laut Natuna Utara. China memberikan klaim jika Indonesia melakukan pengeboran minyak di wilayah miliknya.

Jika ditilik lebih lanjut, memang bukan hal yang baru bahwa China dibeberapa tahun terakhir selalu saja mengusik wilayah kedaulatan Indonesia, beberapa kapal miliknya sering berseliweran di lautan Indonesia, juga termasuk banyaknya drone laut yang diduga sebagai pengintai kekayaan bawah laut Indonesia. Nah untuk kasus yang terakhir yakni ancaman China untuk menghentikan aktivitas pengeboran minyak di laut Natuna Utara juga kuat dugaan sebagai intervensi terhadap Indonesia berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Diketahui bahwa klaim tersebut terjadi setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan jika UU Cipta Kerja inkonstitusional beberapa hari lalu.

Tindakan yang dilakukan China kepada Indonesia jika dilihat dengan kacamata politik global, maka bisa berarti dan berhubungan dengan keinginan negeri yang dipimpin Xi Jinping itu supaya Indonesia tidak membatalkan UU Cipta Kerja setelah adanya putusan dari MK yang menyatakan inkonstitusional. Diketahui bersama bahwa mayoritas masyarakat memang menolak adanya UU Cipta Kerja tersebut, hal itu terbukti dari adanya masa demonstrasi buruh beserta penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Hal aneh pun terjadi bahwa meskipun UU tersebut dinyatakan inkonstitusional namun nyatanya masih berlaku setidaknya hingga 2 tahun kedepan.

Jika di analogikan, sama halnya China mengancam dan memberikan somasi kepada Indonesia, agar jangan membatalkan kontrak, dan jangan batalkan UU Cipta Kerja. Jadi dari situ bisa disinyalir kalau China minta untuk perpanjang UU Cipta Kerja selama dua tahun. Makanya laut Natuna Utara di usik, untuk menekan mental Indonesia yang dinilai selalu kikuk menghadapi China selama ini. Begitu besar masalah dinegeri ini, sementara kekuasaan mau menyembunyikan seolah-olah Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja hanya untuk hukum, tapi nyatanya tidak, bahkan terindikasi punya konsultasi dengan oligarki. Kalau dipaksakan dua tahun, berarti mungkin ada investasi China yang harus diamankan. Tak peduli lagi atas banyak rakyat yang harus terdampak, Armada laut yang sering terjadi ketegangan, masyarakat nelayan yang juga sering dirugikan dan masih banyak hal lagi yang selalu tidak berpihak pada ketentraman dan kesejahteraan rakyat.

China Mengusik Kawasan Laut Natuna Utara

Tak ada henti-hentinya dalam mengintervensi kebijakan Indonesia, ancaman China kembali lagi dilontarkan untuk menghentikan aktivitas pengeboran minyak di perairan Natuna Utara, hal tersebut terjadi atas dampak putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional. Hal tersebut membuat China geram karna diduga akan ada banyak proyek-proyek milik China yang rugi jika UU Cipta Kerja benar-benar dihapus. Oleh karena itu, sepertinya ancaman China tersebut juga mempengaruhi keputusan MK yang masih membiarkan UU yang katanya inkonstitusional tersebut nyatanya masih berlaku setidaknya untuk 2 tahun kedepan. Sebenarnya bukan kali ini saja China berulah kepada Indonesia, hubungan sering seolah memanas, ejekan dan intervensi politik juga dinampakkan tahun lalu ketika kapal patroli milik badan keamanan laut (coast guard) Tiongkok mengawal kapal-kapal ikan mereka di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Kapal penjaga pantai (coast guard) milik Angkatan Laut China sering nekat menerobos perbatasan. Tak hanya itu, mereka juga menabrak dan menarik paksa kapal yang baru saja ditangkap operasi gabungan Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL.

Meski coast guard Cina berhasil diusir Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan militer Indonesia, namun mereka mengklaim bahwa mereka memiliki hak di perairan tersebut. Hal ini membuat pemerintah Indonesia kini berencana meningkatkan pengamanan wilayah perbatasan itu. Sejatinya kejadian ancam mengancam seperti itu bukan yang pertama, tapi sudah pernah terjadi sebelumnya. Tahun lalu pelanggaran dilakukan oleh China, Komando Armada I Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut melaporkan kehadiran Coast Guard Cina di perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara, Kamis (2/1/2020). Coast Guard Cina mengawal beberapa kapal nelayannya yang sedang melakukan aktivitas perikanan. Walaupun dinilai telah melakukan pelanggaran, Cina berdalih tidak ada pelanggaran hukum internasional di perairan Natuna. Hal itu disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RRC Geng Shuang dalam press briefing di kantornya, Kamis (2/1/2020).

Cina mengklaim perairan Natuna masuk wilayahnya. Dasar yang digunakan adalah sembilan garis putus-putus (nine dash line/ NDL). NDL merupakan garis yang dibuat sepihak oleh Cina tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). UNCLOS 1982 memutuskan perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Meski Cina juga merupakan anggota UNCLOS, negara itu tidak mengakui ZEE di Laut Cina Selatan. Sikap ini menunjukkan arogansi Cina terhadap Indonesia. Mengapa Cina sedemikian ngototnya ingin menguasai kawasan ini ? Tentu saja hal ini tidak lepas dari SDA yang melimpah yang ada di kawasan tersebut. Banyak media mainstream maupun citizen journalistyang sudah memberitakan apa sebetulnya yang diincar Cina di Natuna, yaitu kekayaan alam.

Kepulauan Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik bahkan di Dunia. Di dalam perut buminya juga bergelimang minyak. Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion kubik feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT merupakan salah satu sumber terbesar di Asia. Menurut data Ditjen Migas Kementerian ESDM pada Januari 2016, Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di Indonesia, yakni mencapai 49,87 persen. Bahkan disebutkan oleh para ahli, cadangan gas alam Natuna ini adalah yang terbesar di dunia. Belum lagi dengan potensi sumber daya lautnya, di kepulauan yang terletak di teras depan negara Indonesia ini terhampar aneka jenis terumbu karang yang sangat memukau. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, perairan Natuna memiliki potensi ikan pelagis mencapai 327.976 ton, ikan demersal 159.700 ton, cumi-cumi 23.499 ton, rajungan 9.711 ton, kepiting 2.318 ton, dan lobster 1.421 ton per tahun. Kemudian, juga ada potensi ikan kerapu, tongkol, teri, tenggiri, ekor kuning, udang putih, dan lainnya (dikutip dari: cnnindonesia.com).

Sedangkan untuk komoditas perikanan tangkap potensial Kabupaten Natuna terbagi dalam dua kategori, yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Potensi ikan pelagis Kabupaten Natuna mencapai 327.976 ton/tahun, dengan jumlah tangkapan yang dibolehkan sebesar 262.380,8 ton/tahun (80% dari potensi lestari). Pada tahun 2014, tingkat pemanfaatan ikan pelagis hanya mencapai 99.037 atau 37.8% dari total jumlah tangkapan yang dibolehkan. Selebihnya yaitu sebesar 163.343,8 ton/tahun (62.25%) belum dimanfaatkan (kompas.com, 4 Januari 2020). Kekayaan alam itulah yang membuat banyak kapal asing ilegal mengintai Natuna, terutama Cina. Sangatlah wajar bagi RRC untuk sungguh-sungguh mengklaim sepihak wilayah tersebut sebagai miliknya. Inilah yang menjadi inti masalah, kedaulatan wilayah Indonesia telah diklaim sepihak oleh Cina. Sangatlah jelas bahwa hal ini merupakan upaya perebutan wilayah kedaulatan sebuah negara merdeka yang berdaulat. Ini adalah perampokan sebuah negara terhadap negara lain yang sama-sama berdaulat. Nampak Cina ingin menunjukkan hegemoninya di kawasan Indo Pasifik. Jelas ini merupakan “serangan” yang efeknya bisa bermacam-macam. Dari mulai stabilitas keamanan sebuah kawasan, sampai pada konflik ideologi.

Dampak Negatif Intervensi China Terhadap Indonesia

Indonesia semakin bergantung terhadap Cina dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut dapat membawa akibat ekonomi dan politik yang negatif bagi negara ini. Karena Indonesia memiliki keterikatan dan ketergantungan yang sangat besar terhadap Cina. Berdasarkan data Badan Koordinator dan Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi dari Cina di Indonesia selama triwulan ketiga 2019 mencapai 1,023 miliar dollar AS. Jumlah proyek Cina di Indonesia pun mencapai 1.619 proyek. Inilah yang menjadi batu sandungan untuk kasus Natuna. Ini pula yang membuat Cina menjadi arogan, sehingga Pemerintah seperti terbata-bata dan kikuk untuk secara frontal bersikap. Selain itu, Indonesia mulai meningkatkan penggunaan mata uang Cina, Yuan, dalam transaksi luar negerinya. Kedua hal tersebut menghadirkan risiko yang perlu diantisipasi Indonesia agar tidak mengalami kasus seperti Sri Lanka yang harus kehilangan mayoritas sahamnya di sebuah proyek pelabuhan karena gagal membayar utang kepada Cina. Upaya membatasi ketergantungan terhadap Cina penting juga untuk menjaga posisi tawar Indonesia dalam mengamankan wilayah di sekitar perairan Laut Natuna yang selalu diklaim sebagai milik Cina.

Selama masa kepemimpinan Presiden Jokowi, Cina telah menjadi salah satu investor terbesar Indonesia. Ini terlihat dari gencarnya pendanaan proyek-proyek infrastruktur berskala besar yang digalakkan oleh Cina di Indonesia sebagai bagian dari program Belt and Road Initiatives (BRI). Peran Cina yang semakin kuat dalam perekonomian Indonesia membuat beberapa pengamat percaya bahwa Indonesia semakin bergantung pada Negeri Tirai Bambu tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa nilai utang Indonesia kepada Cina telah mencapai besaran yang cukup mengkhawatirkan, yaitu US$ 17,75 miliar pada 2019, atau meningkat 11% dibandingkan pada 2017. Jumlah utang tersebut diperkirakan akan semakin menggelembung seiring dengan masuknya proyek-proyek BRI yang sudah ditandatangani. Hal ini membuat banyak ahli khawatir karena akan meningkatkan risiko Indonesia gagal bayar, seperti yang terjadi pada Sri Lanka.

Sri Lanka membangun pelabuhan Hambantota senilai US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 18 triliun dengan pinjaman dari China Harbour Engineering Company dan Sinohydro Corporation. Pelabuhan tersebut akhirnya dibuka pada 2010, tapi pemerintah Sri Lanka mengalami kesulitan dalam melunasi utang karena proyek itu mengalami kerugian besar. Ditambah dengan proyek-proyek pembangunan infrastruktur lain yang didanai oleh Cina, Sri Lanka kini terjebak dalam utang dengan besaran yang fantastis, yakni US$ 8 miliar. Karena utang yang demikian besar itu, pemerintah Sri Lanka terpaksa menyerahkan sebagian besar saham pelabuhan tersebut kepada Cina. Pada akhirnya, Cina akhirnya sekarang memegang 70% saham di pelabuhan Hambantota. Pengalaman Sri Lanka ini memunculkan spekulasi bahwa Cina sengaja merencanakan “diplomasi perangkap utang” melalui pembebanan kredit yang berlebihan dengan dugaan berniat untuk mengeksploitasi ekonomi dari negara pengutang.

Persyaratan pinjaman dari Cina untuk proyek BRI juga menjadi pertanyaan bagi para ahli ekonomi. Pasalnya, pencairan pinjaman untuk setiap proyek BRI mewajibkan negara mitra untuk membeli 70% bahan baku dari Cina dan mempekerjakan para pekerja Cina. Kebijakan yang lebih memihak pada investor Cina ini tentunya akan semakin memberatkan pelaku industri lokal. Selain itu, perjanjian antara kedua negara yang mendorong penggunaan mata uang Cina dan Indonesia dalam transaksi luar negeri Cina dan Indonesia juga akan mendatangkan risiko besar bagi Indonesia. Salah satu alasan mengapa kesepakatan tersebut dapat berakibat negatif pada kestabilan ekonomi Indonesia adalah karena Cina sering mendevaluasi mata uangnya. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan devaluasi dilakukan oleh Cina dengan tujuan melindungi ekonominya. Pada 2019, misalnya, Cina mendevaluasi Yuan untuk membuat barang-barang produksi Cina lebih murah akibat dampak negarif dari perang dagang dengan Amerika Serikat.

Ketika Yuan didevaluasi, produk Cina akan menjadi lebih murah dan kompetitif di pasar internasional. Jika Indonesia mulai intensif menggunakan Yuan sebagai konsekuensi atas perjanjian di atas, barang impor dari Cina bisa membanjiri pasar lokal karena harganya yang murah dan ini dapat menghantam pasar domestik. Terlepas dari implikasi ekonomi, ketergantungan Indonesia yang semakin meningkat pada Cina juga akan mengakibatkan dampak politik yang serius pula. Sebagai contoh, kondisi tersebut dapat menyebabkan Indonesia kesulitan untuk memberikan perlawanan yang tegas atas Cina yang semakin agresif di Laut China Selatan. Dilaporkan bahwa kapal-kapal penangkap ikan dari Cina sering masuk tanpa izin ke wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan. Namun, ketergantungan Indonesia pada Cina dapat menghalangi pemerintah untuk bertindak tegas karena pemerintah enggan kehilangan mitra dagang dan salah satu sumber investasi terbesar negeri ini. Pada saat yang sama, ketergantungan Indonesia pada Cina dapat menjadi bumerang karena berpotensi melukai prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang selalu menekankan netralitas dalam menerapkan kebijakan luar negerinya. Hal ini juga berpotensi menodai reputasi bangsa Indonesia dalam politik global karena tidak melaksanakan prinsip yang dianutnya.

Strategi Islam Menjaga Kedaulatan

Indonesia harus segera mengurangi ketergantungannya terhadap China. Salah satu strategi awal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi kerja sama internasional. Negara-negara Teluk yang kaya akan sumber minyak dunia bisa menjadi alternatif pilihan yang baik, terutama karena mereka punya kesamaan dan sejarah yang sama-sama pernah bersatu dalam sistem pemerintahan Islam di era Turki Ottoman, mereka juga telah lama ingin menjalin hubungan yang lebih erat dengan Indonesia sebagai pengejawantahan kebijakan mereka yang diberi nama “Look-East Policy”. Pada saat yang sama, pemerintah pun perlu memastikan bahwa keikutsertaan Indonesia pada proyek BRI Cina tidak mengalami kerugian seperti yang terjadi pada Sri Lanka. Salah satu strategi yang mendesak segera diambil untuk menghindari kemungkinan jebakan utang adalah dengan menegosiasi ulang dengan Cina mengenai syarat dan ketentuan proyek-proyek pembangunan infrastruktur tersebut.

Pemerintah Indonesia perlu belajar dari Malaysia mengenai hal yang serupa pernah terjadi. Setelah dihadapkan pada pilihan untuk menegoisasi ulang atau membayar biaya penghentian proyek sekitar US$ 5,3 miliar, Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, memutuskan untuk bernegoisasi dengan Beijing. Pada akhirnya, Malaysia sukses membuat perjanjian ulang dengan total nilai biaya proyek yang dikurangi. Walau Malaysia masih perlu mengambil pinjaman dari bank Cina untuk mendanai proyek tersebut, tapi jumlahnya berkurang dari kesepakatan awal. Pemerintah harus menyadari bahwa Cina sesungguhnya lebih membutuhkan Indonesia daripada sebaliknya. Hal ini karena Indonesia memegang posisi kunci yang sangat strategis dalam implementasi BRI. Proyek ambisius milik Cina tersebut harus melewati wilayah maritim Indonesia dan Cina tidak dapat merampungkan proyek tersebut tanpa melibatkan Indonesia.

Sesungguhnya jika bangsa ini mau kembali kepada Islam, maka sangat jelas apa yang seharusnya dilakukan. Dalam Islam, menjaga keutuhan wilayah adalah wajib, karenanya wajib untuk mempertahankan wilayah kepulauan Natuna dari gangguan negara-negara lain yang hendak menguasainya, termasuk Cina. Hal ini didasarkan pada hadis dari Arfajah, ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Jika ada orang yang datang kepada kalian, ketika kalian telah sepakat terhadap satu orang (sebagai pemimpin), lalu dia ingin merusak persatuan kalian atau memecah jama’ah kalian, maka perangilah ia.”(HR Muslim)
Selain itu, sudah seharusnya memutus hubungan dengan Cina, bukan bekerja sama dengannya. Dalam Islam, Cina dapat dikategorikan sebagai negara kafir harbiy , yaitu negara asing yang sedang memerangi negara muslim. Terlebih lagi, saat ini dapat dikategorikan kepada ad-dawlah al-kafirah al -harbiyah al-muhâribah bi al-fi’li yaitu negara kafir harbi yang benar-benar sedang memerangi umat Islam secara nyata. Terbukti dengan tindakannya yang biadab terhadap kaum muslimin di Uighur.

Sikap yang harus diambil terhadap negara kafir harbiy muharibah fi’lan, asas interaksinya adalah interaksi perang, tidak boleh ada perjanjian apa pun dengan negara kafir seperti ini, misalnya penjanjian politik (seperti hubungan diplomasi), perjanjian ekonomi (seperti ekspor-impor), dan sebagainya. Benar-benar tidak ada kerja sama apa pun (An-Nabhaniy, Syakhshiyyah Islamiyyah 2). Sudah saatnya negeri ini melepaskan seluruh ketergantungan pada Cina dan negara-negara lainnya, termasuk Amerika, sehingga menjadi negara yang mandiri, tidak bergantung pada negara lain.
Mengelola sendiri kekayaan alam yang melimpah ruah, menjamin keamanan rakyatnya sendiri. Meski hal ini memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih lagi, negeri Tirai Bambu ini mengusung ideologi selain Islam, maka lawannya juga harus berupa ideologi, yaitu Islam yang secara kaffah diterapkan oleh Negara Khilafah, daulah khilafah Islamiyah. Maka, jika ingin kasus seperti Natuna tak berulang, harus terapkan Islam! Aturan dari Allah SWT. Sehingga kedaulatan dikembalikan pada fitrah hakikinya, yakni anugrah Allah yang harus dilaksanakan secara total sesuai petunjuk-Nya.

 

Makalah ini disampaikan sebagai MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO

Kamis, 9 Desember 2021
Di bawah asuhan: Pierre Suteki

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi