Kerusakan Peradaban Barat

Pergolakan politik, ekonomi dan sosial di dunia saat ini diprediksi akan segera mengarah pada suatu perubahan besar. Salah satu perubahan besar itu adalah runtuhnya peradaban Barat sebagai tatanan global yang berbasis pada ideologi Kapitalisme. Kemerosotan perekonomian dunia yang berujung pada krisis disinyalir akan mempercepat keruntuhan tersebut. Apalagi yang terjadi tidak hanya krisis ekonomi, namun juga krisis kepercayaan, politik dan sosial.

World Economic Forum melalui laman resminya, www.weforum.org, telah mempublikasikan tulisan berjudul, “Global Risks Report 2023”. Menurut laporan tersebut saat ini di tataran global telah terjadi krisis. Berdasarkan Global Risks Perception Survey (GRPS) yang mereka teliti, ada 4 hal teratas yang dirasakan sebagai krisis oleh penduduk dunia saat ini yakni: krisis pasokan energi, krisis biaya hidup, krisis pasokan pangan, dan meningkatnya inflasi.

Sebuah peradaban akan terus eksis dan bertahan jika mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia. Jika, yang terjadi sebaliknya atau peradaban itu justru melahirkan berbagai kerusakan dan kesengsaraan, maka peradaban tersebut akan ditinggalkan yang kemudian akan berujung pada keruntuhannya.

Buku “The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power” yang ditulis oleh Shoshana Zuboff (2019) turut merekam kerusakan Kapitalisme tersebut. Buku ini mengungkap berbagai fakta pengeksploitasian hak-hak individu rakyat oleh perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa. Penguasa dan pengusaha berkolaborasi mengeruk keuntungan ekonomi untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk rakyat.

Peradaban Barat dengan sistem kapitalismenya telah membawa banyak penderitaan dan bencana kemanusiaan. Kapitalisme global terbukti gagal dalam menyelesaikan banyak persoalan kemanusiaan. Lahirlah berbagai kerusakan; kerusakan  ekonomi, sosial, budaya, moral, politik, dan sebagainya.

 

Kerusakan Ekonomi

Penyebab utama kegagalan ideologi Kapitalisme sekuler adalah karena bertentangan dengan fitrah dan akal sehat manusia. Ideologi ini memuja manusia sebagai pusat segalanya. Pada ujungnya sistem ekonomi kapitalisme melahirkan ekploitasi dan alienasi manusia yang mengarah pada mementingkan diri sendiri.

Peradaban tersebut telah terbukti banyak menyebabkan kerusakan dan kesengsaraan bagi umat manusia. Salah satu masalah utama dalam Kapitalisme adalah meningkatnya kesenjangan ekonomi antara kelas yang kaya dan kelas yang miskin. Padahal kesenjangan pendapatan yang signifikan dapat mengakibatkan tekanan sosial dan politik yang berpotensi mengancam stabilitas sosial.

Seperti dilaporkan oleh lembaga asal Inggris, Oxfam, yang berjudul, “Time to Care Unpaid and Underpaid Care Work and the Global Inequality Crisis”, kesenjangan ekonomi telah berjalan di luar kendali. Pada tahun 2019, sebanyak 2.153 miliarder dunia memiliki kekayaan melebihi total kekayaan 4,6 miliar orang penduduk dunia. Satu persen orang terkaya di dunia memiliki lebih dari dua kali lipat total kekayaan dari seluruh penduduk bumi (Oxfam.org, 2020).

Studi yang dilakukan oleh Credit Suisse pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 1% teratas populasi dunia memiliki hampir 45% dari total kekayaan global. Dalam konteks negara-negara Barat, banyak dari kekayaan ini terkonsentrasi pada kelompok kaya dan korporasi besar. Berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa Kapitalisme telah gagal menciptakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Bahkan sebaliknya, Kapitalisme menciptakan berbagai ketidakadilan dan kesenjangan yang berujung pada kesengsaraan.

Pada kasus di Indonesia, menurut World Inequality Report 2022, dalam dua dekade terakhir kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan. Laporan itu mencatat, selama periode 2001-2021 sebanyak 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional (total household wealth). Pada laporan ini didefinisikan bahwa total household wealth merupakan jumlah seluruh aset finansial (termasuk saham dan surat berharga lainnya) serta aset non-finansial (seperti rumah) yang dimiliki rumah tangga Indonesia.

PBB memperkirakan masih akan ada 600 juta penduduk miskin pada tahun 2030. Angka perkiraan ini setara dengan 7 persen dari populasi dunia. Dengan kata lain, tujuan penghapusan kemiskinan global pada 2030 akan sulit tercapai atau bahkan tidak akan tercapai sama sekali (Kompas.id, 27/10/2022).

Para akademisi juga banyak melakukan studi yang menyoroti kesenjangan ekonomi yang makin signifikan di negara-negara Barat tersebut. Salah satunya adalah Thomas Piketty (2017). Ia menuangkan hasil studinya pada bukunya yang berjudul Capital in the Twenty-First Century. Buku ini mengkritik kesenjangan ekonomi yang semakin dalam yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme. Piketty menganalisis pertumbuhan ekonomi jangka panjang, distribusi kekayaan, dan implikasi sosialnya akibat kesenjangan tersebut.

 

Kerusakan Sosial

Prinsip dasar Kapitalisme-sekularisme yang berbasis pada liberalisme (kebebasan) telah mengakibatkan penyakit-penyakit sosial semakin marak, kejahatan merajalela, dan terus berulang tanpa solusi. Di antara penyakit sosial itu adalah gaya hidup free-sex yang telah merusak tatanan kehidupan masyarakat. Menurut RAIIN (www.rainn.org, 2023) setiap 107 detik, seseorang di Amerika Serikat (AS) diserang secara seksual. Setiap tahunnya, ada 293.000 korban kekerasan seksual di negara ini.

Menurut survei besar Pemerintah AS yang dilakukan setiap dua tahun, sekitar tiga dekade lalu, lebih dari separuh remaja AS pernah berhubungan seks di luar nikah. Pada 2019, jumlahnya mencapai 38 persen (Republika.co.id, 28/04/2023).

Kejadian bunuh diri juga menggambarkan kondisi sosial yang sedang sakit. Badan Centers for Disease Control and Prevention (www.cdc.gov) di dalam laporan risetnya pada Kamis, 9 Februari 2023, mengungkap angka warga Amerika yang bunuh diri pada 2021 mengalami peningkatan menjadi 48.183 orang. Angka itu sama dengan 14,2 per 100 ribu warga Amerika. Menurut riset tersebut, pemicu utama kasus bunuh diri di AS di antaranya adalah rusaknya hubungan dalam keluarga, pekerjaan, problem keuangan, kesehatan mental, dan sebagainya.

Tingkat kekhawatiran warga AS terhadap tindak kejahatan dan kekerasan pada tahun 2022 berada di level tertinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut terungkap berdasarkan riset Gallup (www.gallup.com) yang dirilis pada April 2022. Menurut Gallup, sebanyak 80 persen warga AS menyatakan kekhawatirannya atas tindak kejahatan.

Data kriminal nasional Pemerintah AS telah mencatat adanya kenaikan dalam tingkat pembunuhan di AS yang mencapai titik tertingginya dalam 25 tahun. Lebih dari 21.000 orang tewas atau terluka akibat kekerasan senjata di AS sepanjang tahun 2022. Menurut basis data yang dikelola oleh kelompok riset nirlaba Gun Violence Archive, setidaknya ada 130 penembakan massal telah terjadi di AS.

Pada kasus di Indonesia, jumlah kejahatan pada 2022 mencapai 276.507 kasus, meningkat 7,3 persen dibandingkan dengan tahun 2021. Angka 276.507 kasus itu terjadi dalam setahun. Jika dibagi dalam durasi jam, maka rata-rata ada 31,5 tindak kejahatan per 60 menit (Cnnindonesia.com, 31/12/ 2022).

Tingginya problem sosial dan tingkat kejahatan telah menjadi problematika berkelanjutan dalam sistem Kapitalisme. Hukum yang dibuat berdasar undang-undang yang dibuat manusia ternyata tidak mampu memberikan solusi secara fundamental. Fakta-fakta kerusakan tersebut menunjukkan bahwa peradaban kapitalisme memang sedang sakit keras.

 

Kerusakan Politik

Demokrasi merupakan politik dalam ideologi Kapitalisme yang bermuara pada prinsip sekularisme. Pada tataran global, demokrasi telah dipropagandakan sebagai sistem terbaik. Melalui demokrasi dideskripsikan bahwa kemakmuran, kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan akan tercapai. Demokrasi pun diklaim sebagai mekanisme yang paling bisa menjamin distribusi ekonomi dan pergantian kekuasaan secara tertib dan damai.

Padahal realitas demokrasi tidaklah demikian. Justru yang terjadi sebaliknya. Secara fakta, yang berdaulat di dalam sistem demokrasi hanyalah elit-elit politik yang diklaim sebagai wakil rakyat. Padahal sejatinya mereka hanyalah wakil partai pengusungnya, wakil para pemilik modal yang menjadi penyokongnya, atau wakil bagi dirinya sendiri. Buktinya, meski mereka dipilih oleh rakyat, banyak kebijakan, hukum, UU dan peraturan yang mereka buat justru merugikan rakyat.

Akibatnya, kemakmuran dan kesejahteraan hanya dirasakan oleh segelintir elit tersebut: elit penguasa, wakil rakyat, partai atau para pemilik modal. Rakyat kebanyakan justru hidup miskin. Demikian pula kesetaraan dan keadilan dalam hukum. Faktanya hukum justru tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Kritik terhadap demokrasi salah satunya terkait dengan keberpihakan sistem ini kepada para pemilik modal tersebut. Hegemoni kepentingan para pemilik modal melalui mekanisme demokrasi inilah yang telah menyuburkan money politics, suap, kolusi dan korupsi. Tak cukup menguasai ekonomi, para pemilik modal dan korporasi itu pun merambah ke wilayah politik dan kekuasaan.

Para pemilik korporasi itu pun mendominasi pemerintahan beserta segala kebijakannya. John Perkins (2005) dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Man, menyebutnya dengan istilah corporatocracy; sebuah pemerintahan yang kewenangan dan kebijakannya didominasi oleh korporasi atau perusahaan-perusahaan besar. Akibatnya, berbagai kebijakan negara dan undang-undang menjadi instrumen melayani kepentingan perusahaan ketimbang rakyat.

Fakta berbagai kerusakan demokrasi tersebut telah mendapat sorotan juga dari para akademisi. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) menuangkannya pada buku, How Democracies Die. David Runciman (2018) mengulasnya pada buku, How Democracy Ends. Kedua buku tersebut mengkaji bagaimana demokrasi bisa mengalami kemunduran hingga kematian. Mereka menganalisis peran kekuasaan, korupsi, ketidakpuasan publik, hingga pergeseran politik yang akan mengarah pada meruntuhkan sistem demokrasi.

 

Dampak Buruk di Dunia Islam

Secara realitas, politik demokrasi kini telah menjadi alat penjajahan baru (neo-imperialisme) untuk menguasai negeri-negeri Muslim. Menarik apa yang diungkap William Blum (2013) pada bukunya, America’s Deadliest Export Democracy. Blum menyebut demokrasi sebagai alat dominasi Amerika Serikat beserta sekutunya atas seluruh dunia, termasuk Dunia Islam. Faktanya negeri-negeri Muslim saat ini dalam kondisi terjajah, lemah, terbelakang, tereksploitasi, tentu sebagai dampak dari neo-imperialisme tersebut.

Melalui demokrasi, berbagai hukum dan undang-undang di negeri-negeri Muslim tidak lagi terikat pada ketentuan syariah. Hal itu menjadi jalan bagi Barat untuk mempengaruhi proses penetapan peraturan perundang-undangan demi kepentingan neo-imperialisme mereka. Melalui instrumen media massa, atas nama demokrasi, Barat sangat mudah mempengaruhi opini masyarakat dalam pemilihan pemimpin suatu negara.

Barat akan mengopinikan untuk memilih pemimpin yang bisa menerima paham-paham dari Barat seperti sekularisme, liberalisme, HAM, persamaan gender, LGBT, dan sejenisnya. Akibatnya, paham-paham itu berpengaruh dalam penetapan kebijakan dari pemimpin yang terpilih nantinya. Artinya, dominasi korporasi akan turut menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah negara dan akan seperti apa kebijakan negara tersebut.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah dijadikan alat imperialisme AS untuk berbagai kepentingan agenda politiknya di seluruh dunia. Itulah yang terjadi dengan serangan AS ke Irak dan Afganistan. PBB juga tampak menutup mata ketika terjadi pembantaian Muslim di Irak, Palestina, Rohingnya, India, hingga Muslim Uigyur di China. Paling jauh PBB hanya menyatakan prihatin terhadap berbagai pembantaian tersebut tanpa diikuti tindakan konkrit untuk menghentikannnya. Misalnya, sudah ada ratusan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk Palestina. Namun, terbukti resolusi tersebut tidak menyelesaikan masalah bahkan justru makin memperpanjang penderitaan umat Islam di sana.

 

Penutup

Jelas, peradaban Barat yang berbasis pada ideologi Kapitalisme itu kini sedang berada di tepi jurang keruntuhannya. AS sebagai pusat Kapitalisme dunia juga sedang dilanda berbagai keterpurukan. Berbagai gejolak kerusakan di berbagai aspek ekonomi, sosial dan politik diindikasi akan semakin mempercepat rangkaian fase kejatuhan ideologi kapitalisme tersebut.

Pada konteks perang peradaban (clash civilization), kondisi ini sangat menguntungkan umat Islam yang sedang berjuang mengembalikan ideologi Islam ke pentas kehidupan melalui berdirinya kembali negara Khilafah. Apalagi secara internal kesadaran umat Islam untuk membangun kembali institusi Khilafah kini semakin menguat. Hal tersebut tentu terkait dengan semakin meningkatnya pemahaman umat terhadap ide Khilafah sebagai ajaran Islam.

Kondisi keterjajahan dan keterpurukan umat Islam saat ini memang membutuhkan institusi Khilafah sebagai kekuatan global untuk menyelesaikannya. Namun, rezim lokal di negeri-negeri Islam justru bersahabat dengan negara penjajah dan refresif kepada umat Islam. Berbagai fakta empiris ini tentu akan semakin memperkuat keinginan umat Islam untuk segera menegakkan kembali Khilafah sebagai satu kekuatan global dan pelindung umat di dunia internasional.

Berbagai potensi SDM dan SDA yang dimiliki umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas, ditambah dengan kekuatan i’tiqaadi akan semakin memperkokoh perjuangan umat untuk segera menegakkan kembali negara Khilafah Rasyidah tersebut. Inilah negara yang akan mengatur dunia berdasarkan hukum syariah yang penuh rahmat.

Karena itu perjuangan untuk menegakkan syariah secara kaaffah dalam naungan Khilafah Rasyidah itu harus dapat dipahami sebagai perjuangan mewujudkan perubahan demi mencapai kesejahteraan hakiki bagi masyarakat dunia, sekaligus mengakhiri berbagai kesengsaraan dan kerusakan yang diakibatkan oleh tatanan Kapitalisme global.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Dr. Muhammad K. Sadik]

 

Referensi:

Global Risks Report 2023. www.weforum.org/reports/global-risks-report-2023, dipublikasikan pada 11 Januari 2023.

Zuboff, Shoshana. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York, PublicAffairs.

Levitsky, Steven dan Ziblatt, Daniel. (2018). How Democracies Die. Crown, Publishers.

Runciman, David. (2018). How Democracy Ends. Basic Books, Publishers.

Piketty, Thomas. (2017). Capital in the Twenty-First Century. Belknap Press: An Imprint of Harvard University Press.

Blum, William. (2013). America’s Deadliest Export: Democracy, the Truth About US Foreign Policy, and Everything Else. Zed Books, Publishers.

Perkins, John. (2005). Confessions of an Economic Hit Man. Berrett-Koehler Publishers.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi