H. M. Ali Moeslim
Bagi umat Islam yang sering berkunjung ke tanah Suci Medinah mungkin memperhatikan sebuah bangunan kuno berada di kota madinah tidak jauh dari mesjid Nabawi, bangunan itu adalah stasiun kereta api medinah, mengingat di dalamnya masih berdiri kokoh lokomotif dan beberapa gerbong yang diam membisu di atas rel.
Ternyata kereta api itu pernah berjaya pada zamannya, jalur jalur relnya pernah menghubungkan beberapa wilayah daulah khilafah mulai dari istanbul, damaskus, hingga madinah. Stasiun, lokomotif, gerbong yang berdiri di tempat itu adalah bagian dari proyek raksasa *”the Hejaz Railway” (Kereta Api Hejaz)*.
Mungkin muncul pertanyaan, kenapa kereta api tersebut tidak sampai ke suci Mekkah? Apakah mangkrak? Sesungguhnya proyek raksasa itu direncanakan sampai Mekkah, namun karena “penolakkan” dari pemimpin hejaz saat itu yakni *Sultan Syarif Husein* atas pengaruh agen barat yakni Pangeran Lawrence untuk upaya melepas sedikit demi sedikit hejaz dari keterikatan dengan kekhilafahan islam Turki Utsmani.
Proyek pembangunan rel kereta api Hijaz adalah salah satu proyek pembangunan terpenting pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. Proyek ini dimulai pada 1900 M dan berakhir pada 1908 M. Proyek pembangunan rel kereta api Hijaz ini melahirkan semangat keislaman yang tinggi di antara kaum muslimin di seantero pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Sultan Abdul Hamid II berhasil menyebarkan edaran yang menyerukan kaum muslimin di seluruh dunia untuk ikut andil dalam pembangunan proyek rel kereta api Hijaz ini.
Sultan Abdul Hamid II memulai pendaftaran para penyumbang kaum muslimin dengan dimulai oleh dirinya sendiri yang memberikan 50.000 keping uang emas Utsmani. Kemudian dibayar juga uang sebanyak 100.000 keping emas Utsmani dari kas negara. Kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia juga turut berlomba-lomba dalam membantu pembangunan rel kereta api Hijaz baik dengan harta maupun jiwa.
Proyek ini juga sangat didukung oleh para pejabat pemerintahan serta pegawai perusahaan saat itu. Media massa seperti Al Muayyid, Al Liwa’, Al Manar serta Al Raid Al Mishr turut mengampanyekan *proyek pembangunan rel kereta api Hijaz* dengan sangat antusias.
Pada 1907 M, proyek pembangunan rel kereta api Hijaz ini dikerjakan oleh sekitar 7.500 pekerja yang hampir kesemua pekerja itu adalah kaum muslimin.
Sultan Abdul Hamid II memaksimalkan tenaga para kaum muslimin. Dengan menghabiskan total biaya yang sangat besar, sekitar 4.283.000 lira Utsmani, pada Agustus 1908 M rel kereta api Hijaz ini telah sampai pada *Madinah Al Munawwarah.*
Proyek raksasa ini tidak sama sekali meninggalkan hutang luar negeri Daulah, bahkan Sultan Abdul Hamid 2 sebagai khalifah penggagas dan pelaksana proyek tersebut justeru mampu membayar hutang luar negeri pemimpin sebelumnya.
Hutang Daulah Utsmani ketika kita Abdul Hamid II sedang berkuasa yaitu 2.582 juta lira emas Turki. Dan ketika beliau dijatuhkan, hutang Turki hanya tersisa 106 juta lira. Artinya beliau berhasil memotong jumlah hutang sekitar 1/20 dari hutang sebelumnya.
Proyek raksasa kereta api Hejaz dianggap selesai 1 September 1908, dioperasikan tahun 1912. Tercatat, jasa Sultan Abdul Hamid II sukses menyumbangkan transportasi antarbangsa dengan kereta api sekitar 30.000 penumpang per tahun.Terjadi perubahan besar dalam transportasi, jumlah penumpang sampai tahun 1914 bahkan mencapai 300.000 orang. Tak hanya untuk berhaji, angkatan bersenjata Ustmaniyah menggunakan jalur itu untuk mengirimkan *suplai pasukan dan barang.*
Kekhilafahan islam memerintahkan aktivitas apa pun demi agama, pada masanya, imperium inilah yang menggerakkan dunia memiliki infrastruktur perhajian. Mengingat berhaji kebutuhan riil umat manusia, khususnya umat muslim, maka mengurus haji menjadi urgen, dan menjadi urusan negara, dan diabdikan untuk melayani ibadah sebesar-besarnya urusan rakyat.
Pada masa khalifah Abdul Hamid 2 inilah pembangunan universitas of istanbul, rumah sakit modern, sekolah sekolah dasar, pembangunan sarana olahraga seperti klub sepak bola *Galatasaray, Besiktas dan Fenerbache*. Kemudian sarana perjalanan dan pondok pondok perjalanan untuk memudahkan jamaah haji menuju Mekkah, pembangunan drainase mejid al haram Mekkah al mukaromah, renovasi mesjid yang berada di sekeliling kabah.
lain pula kereta api cepat KCIC Bandung Jakarta. Kekisruhan sudah muncul sejak perencanan yang terkesan serampangan, asal jadi dan hanya mencari prestise, bagaimana tidak transportasi yang tersedia masih mumpuni dan bisa menanggulangi kebutuhan transportasi khusunya masyarakat Jakarta dan bandung atau sebaliknya.
Kereta yang biasa melayani kebutuhan transportasi kereta api ada *argo-parahyangan* yang menempuh waktu 3 jam, adanya transportasi bis atau kendaraan travel cukup dengan 2 jam untuk menempuh perjalanan Bandung Jakarta atau sebaliknya, jika ingin lebih cepat bisa menggunakan pesawat terbang menempuh waktu 45 menit.
Belum lagi ibu kota negara mau dipindahkan ke pulau Kalimantan, ini penting diperhatikan karena terkait dengan lalu lintas antar daerah dengan ibu kota negara. Lalu pembiayaan proyek kereta api cepat ini dengan pinjaman hutang dari China, yang konon untuk mengembalikan pinjaman tersebut dengan mengandalkan tarif dari penumpang yang sangat mahal saja membutuhkan waktu lunas pinjaman sekitar *100 tahun lebih.*Belum selesaipun terjadi pembengkakan pembiayaan sampai tiga kali dan sekarang mangkrak.
Apakah pembangunan kereta api cepat tersebut merupakan infra-struktur yang betul betul dibutuhkan rakyat? Atau apakah sarana transportasi lain tidak memadai lagi? sungguh ironis, ditengah belum memadainya sarana yang mendasar bagi rakyat dalam pendidikan misalnya atau sarana transportasi rakyat yang masih kurang di daerah misalnya atau menurunnya tingkat daya beli karena kemiskinan yang semakin merajalela, tega membangun sarana transportasi yang justeru dengan pinjaman dan itu berbunga, bukankah itu akan menjadi alat untuk menjerat bahkan menjajah negeri?