Kepala Daerah Dalam Kuasa Koalisi Parpol Dan Bohir Politik

Pilkada serentak di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota berakhir sudah. Tahap berikutnya adalah perhitungan hasil suara dan pengumuman pemenang di masing-masing daerah. Ini bagian yang menegangkan karena rawan terjadi gugat menggugat yang bisa jadi berkepanjangan.

Usai Pilpres, mungkin ada sebagian dari publik yang berharap bahwa pilkada akan mengubah nasib mereka di daerah masing-masing. Maka himbauan dan seruan untuk tidak golput beredar sebelum hari pencoblosan. Fatwa MUI dan sejumlah ormas Islam juga berputar di grup-grup WA. ”Pilih paslon yang kemudharatannya paling ringan” jadi tagline orang-orang yang menaruh nasib mereka lewat pilkada, seperti saat pilpres.

Namun, bagaimana rakyat bisa tahu dibalik para paslon itu mana yang paling ringan kemudharatan atau keburukannya? Apa pula standar mudharat dan tidak mudharat? Apakah paslon yang berasal dari partai berlabelkan Islam itu otomatis paling ringan kemudharatannya?

Pada bagian inilah terjadi sesuatu yang absurd. Pada umumnya orang sulit untuk tahu secara nalar sehat latar belakang dan siapa yang menjadi pendukung dan pemodal paslon-paslon yang bertarung di pilkada.

Sebabnya dua; pertama, parpol-parpol besar dengan tentakel kekuasaannya di pemerintahan sudah mengendalikan informasi lewat media massa mainstream baik televisi maupun media berita online. Media massa mainstream secara sepihak menjagokan calon yang mereka usung dan tidak mengkritisi cacat-cacat politik mereka. Baik dengan cara halus ataupun vulgar.

Mereka juga menguasai lembaga-lembaga survey untuk memainkan polling yang berpengaruh secara psikologis dan alam bawah sadar masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi sejumlah pemilik lembaga survey itu melacurkan diri mereka pada parpol dan kekuasaan untuk mendapatkan imbal balik jabatan ataupun uang.

Kedua, rakyat Indonesia secara umum sudah mengalami pembodohan politik. Nalar kritis dibuat mati suri. Dunia pendidikan tidak menghasilkan penduduk yang punya cukup pemikiran kritis terhadap keadaan. Misalnya, sekian kali kasus korupsi terjadi yang dilakukan pejabat dari parpol x misalnya, tidak membuat rakyat kapok memilih partai itu lagi dan lagi.

Matinya nalar kritis politik ini bertemu dengan kemiskinan yang menghasilkan warga yang sudah merasa puas dengan serangan fajar, bansos, termasuk janji-janji populis. Rendahnya kesadaran dan nalar kritis ini dimanfaatkan oleh para politisi untuk mengumbar janji-janji bombastis seperti program pangan, stop impor, produksi mobil dalam negeri, dsb. Celakanya sebagian dari janji-janji itu tidak pernah terwujud bahkan bisa dibilang kebohongan. Para politisi itu pun tidak pernah meminta maaf atau menarik ucapannya. Juga sama sekali tidak ada konsekuensi hukum atas kebohongannya.

Rakyat hanya bisa mengeluh ketika pemilu atau pilkada usai tapi hidup mereka malah tambah susah. Namun dalam pemilu atau pilkada berikutnya mereka lagi-lagi termakan kampanye-kampanye yang sama untuk memilih paslon dari parpol yang sama.

Padahal, andaikata rakyat punya nalar kritis maka akan melihat bahwa pemilu, pilkada, dan jajaran elit pejabat negara mulai dari pusat sampai daerah, dikuasai dua kekuatan besar; koalisi gemuk parpol dan kuasa oligarki. Termasuk menguatnya politik dinasti.

Dalam pilkada tingkat propinsi terjadi persaingan sengit antara paslon yang diusung koalisi KIM plus dengan PDIP. Ini terjadi misalnya di pilkada DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Sumatera Barat. Kepala daerah yang berasal dari koalisi besar sulit untuk bisa independen, apalagi mengambil kebijakan politik yang bertentangan dengan keinginan koalisi.

Koalisi gemuk itu menyebabkan kekuasaan menjadi berada pada satu kutub besar. Mungkin menjadikan pemerintahan berjalan efesien. Namun kemudharatan yang besar adalah akan terjadi bancakan politik yang lebih masif di antara peserta koalisi. Seperti kata Lord Acton; “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

Di sisi lain dengan koalisi gemuk – dimana banyak parpol bergabung – menyebabkan proses check and balances berisiko tidak berjalan. Sehingga kontrol terhadap kekuasaan sulit dilakukan di level DPR maupun DPRD karena banyak parpol berada pada sumbu kekuasaan. Ini juga menjadikan kepala daerah harus tunduk pada kepentingan koalisi. Maka kepentingan warga sangat mungkin akan dipinggirkan.

 

Cengkraman Bohir Politik

Politik dalam demokrasi sudah membuka peluang bagi oligarki untuk ‘berinvestasi’ dalam percaturan politik. Pintu terbesar untuk itu adalah pemilu baik pilpres, pileg, dan pilkada salah satunya. Politik demokrasi yang berbiaya tinggi menjadikan parpol, capres, caleg, dan calon kepala daerah bekerja sama dengan para cukong politik.

Para cukong itu adalah para pengusaha yang membaca peluang bisnis akan lebih terbuka dengan pendekatan kekuasaan. Hal ini seperti ini sudah menjadi pola umum dan klasik dalam sistem politik demokrasi. Para capres dan parpol di Amerika Serikat menjalin relasi dengan para pengusaha untuk mengongkosi kompetisi politik mereka. Dalam buku Perang Demi Uang yang ditulis Amy Goodman dan David Goodman, diturunkan investigasi bagaimana para politisi Gedung Putih seperti dinasti Bush menjalin hubungan finansial dengan banyak pengusaha. Sebagai kompensasinya mereka diberikan berbagai megaproyek seperti di Irak pasca invasi AS di tahun 2003.

Di Tanah Air peluang itu kian terbuka dengan disahkannya PP no. 42/2021, yakni Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Dimana pemerintah pusat dan daerah berwenang memberikan kemudahan segala bentuk perizinan bagi badan usaha yang dinilai punya sifat strategis untuk pertumbuhan dan pemerataan. Izin itu kemudian dimasukkan sebagai Proyek Strategis Nasional.

Penentuan apa dan siapa yang berhak mendapatkan Proyek Strategis Nasional ini berpeluang tidak transparan dan minim kajian. Jadi, bersifat subyektif dan tentu saja politis. Rawan sebagai imbal balik atas dukungan yang diberikan pada kompetisi pemilu termasuk pilkada. Kisruh PSN pada PIK 2 misalnya, adalah potret tidak transparannya penentuan PIK 2 sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional. Belum lagi penentuan harga lahan yang dinilai warga jauh dari keadilan.

Namun, bagaimana lagi? Demokrasi meniscayakan terjadinya hal demikian. Mahfud MD pernah menyatakan 92 persen pilkada dibayari cukong. Sedangkan KPK menyatakan keterlibatan bohir politik dalam pilkada mencapai 82 persen. Kalau sudah begitu, pilkada bukanlah pesta rakyat, tapi hajatan para bohir politik. Mereka berani jor-joran menanam uang, dan mereka juga yang kelak akan menuai hasilnya.

Jadi, kalau kembali pada seruan kemudharatan yang paling ringan, justru kemudharan itu paling besar terletak pada sistem demokrasi itu sendiri. Sistem politik ini menjadi ajang rasuah besar-besaran, lalu menghasilkan para pemimpin yang oligarkis. Bukan berpihak pada rakyat, tapi pada kepentingan bisnis para bohir politik. []

Sumber: https://www.iwanjanuar.com/kepala-daerah-dalam-kuasa-koalisi-parpol-dan-bohir-politik/

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi