Kegagalan Kapitalisme Global

Dunia hari ini adalah dunia yang tidak stabil. Manusia hidup pada masa-masa sulit. Mereka bicara kedamaian. Yang terjadi justru peperangan. Mereka bicara kesejahteraan. Yang terjadi justru penderitaan. Mereka bicara pemerataan. Yang terjadi justru ketimpangan. Mereka bicara kesamaan hak. Yang terjadi justru diskriminasi dan persekusi. Mereka bicara ketenteraman hidup. Yang terjadi justru kerawanan sosial kronis.

Dunia saat ini sedang berada dalam kebingungan. Mereka bicara banyak resep sebagai solusi. Kenyataannya, itu adalah racun mematikan yang menimbulkan banyak persoalan yang lebih mengerikan. Modernitas yang mereka banggakan hanya menghasilkan kematian akibat kelaparan maupun peperangan. Hanya pada zaman modern ini ratusan juta manusia di dunia menjadi begitu kesulitan mengakses pangan. Bahkan banyak yang mati kelaparan.  Kebebasan yang mereka sembah telah menjatuhkan martabat manusia menjadi lebih buruk dari hewan. Semua resep yang mereka jajakan seperti demokrasi, HAM, emansipasi, individualisme juga sudah terbukti bangkrut, tanpa bisa diharapkan.

Instabilitas kondisi dunia saat ini tidak terlepas dari kepemimpinan Amerika Serikat (AS) yang amoral dan arogan. Berbagai macam cara dilakukan AS untuk menghegemoni dan mengeksploitasi negara lain. AS dengan ideologi kapitalis paganismenya senantiasa berusaha mempertahankan status quo sebagai satu-satunya negara yang mengendalikan percaturan politik global.

 

Babak Baru Politik Global

Kondisi percaturan politik global terkini memasuki babak baru. Sebelumnya mata dunia tertuju ke Timur Tengah sebagai pusaran konflik. Mulai dari Irak, Palestina, Suriah, Yaman, Arab Spring, dst. Meski konflik di Timur Tengah ini akan tetap dipertahankan, ke depan konflik internasional akan diarahkan ke kawasan Timur Jauh. Melibatkan Rusia di Utara, Jepang, Cina hingga Australia di Selatan.

Tekanan politik, media, psikologi dan provokasi di kawasan ini terus meningkat. Ke depan, kawasan Timur Jauh, termasuk Indopasifik, akan mengalami gejolak. Di kawasan ini ada dua kekuatan yang tidak disukai AS, yakni Rusia dan Cina. Dua kekuatan ini berpotensi menganggu kedigdayaan AS dalam kancah percaturan politik dunia. AS menginginkan kekuasaannya atas dunia tanpa pesaing dari negara manapun. Karena itu dua kekuatan itu harus dilenyapkan atau minimal dilemahkan.

Sebagai pemain yang sangat berpengalaman dalam kancah global, AS paham betul cara yang paling efektif untuk melemahkan suatu negara adalah perlombaan militer! Saat ini AS sedang menggiring dunia menuju perlombaan militer babak baru.

Menurut publikasi Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), pada tahun 2022 total budget militer global tembus rekor 2,1 Triliun U$ Dolar. Sebesar 62% dari total anggaran tersebut didominasi oleh AS, Cina, India, Inggris dan Russia.

Khusus AS, pada tahun 2022 Anggaran Militernya sudah mencapai US$ 801 Miliar. Pada tahun 2023, direncanakan sebesar US$ 850 miliar. Angka fantastis ini sama dengan 50% APBN AS tahun 2023 yang mencapai US$ 1,7 Triliun. Hal itu dilakukan karena perlombaan militer memiliki arti yang sangat penting untuk keberlanjutan AS sebagai negara adikuasa dunia tanpa pesaing. Perlombaan militer pernah secara efektif digunakan AS untuk menyingkirkan pesaing utamanya pada masa Perang Dingin, yakni Uni Sovyet, untuk dimasukkan ke dalam tong sampah sejarah.

Saat ini, strategi yang sama sedang berjalan dengan target utama adalah Rusia dan Cina. AS sukses memprovokasi Rusia sehingga terjadi Perang Rusia-Ukraina. Putin tidak belajar dari bagaimana Uni Sovyet runtuh akibat perlombaan militer yang digelar AS. Malah merasa diri bak megaloman dengan mengancam akan mengebom nuklir negara-negara Eropa. Padahal perang nuklir sangat kecil kemungkinan akan terjadi. Sebabnya, senjata nuklir bukan saja mengerikan untuk negara sasaran, tetapi juga membahayakan untuk negara pemakai. Minimal akan kena dampak radiasi. Karena itu perang nuklir merupakan perang tanpa pemenang. Kalaupun suatu saat terjadi Perang Dunia Ketiga, masih kecil kemungkinan senjata nuklir digunakan.

Putin tampak sama bodohnya dengan para pendahulunya yang memimpin Uni Sovyet. Jika dia tidak bodoh bagaimana mungkin dia dikadali berkali-kali. Sebelumnya Rusia juga sudah dijadikan sebagai senjata AS dalam Perang Suriah, tanpa ada keuntungan di pihak Rusia. Saat ini Rusia kembali dimasukkan ke dalam lumpur yang bernama Ukraina hanya dengan sedikit provokasi AS.

Siapakah pihak yang paling diuntungkan dengan Perang Rusia-Ukraina? Jawabannya jelas, bukan Rusia, melainkan AS! AS mendapatkan untung baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi AS mendapatkan untung dari penjualan senjata ke Ukraina. Sejak terjadi perang, supply senjata AS ke Ukraina terus mengalir. Data terbaru mengungkap nilai senjata negara-negara Barat yang dijual ke Ukraina mencapai $42,3 miliar, atau setara dengan Rp 667,7 triliun. Dari jumlah tersebut, $28,3 miliar (Rp 442,1 triliun) berasal dari AS. Selain penjualan senjata, AS juga mendapatkan untung dari penjualan gas ke Eropa. Akibat pemutusan gas alam dari Rusia terhadap negara-negara Eropa, maka AS segera memaksa negara Eropa untuk membeli gas dari AS. Tentu dengan harga yang lebih mahal.

Adapun keuntungan politik didapatkan AS dengan melemahkan pengaruh Rusia akibat perang. Dengan kekuatan medianya, AS bisa menempatkan Rusia sebagai pesakitan sasaran opini dunia karena menyerang Ukraina sebagai negara berdaulat. Sebelumnya, AS sudah menyudutkan Moskow dengan menyebutnya ikut campur dalam pemilihan raya di AS. Di satu sisi AS terus memprovokasi Rusia. Di sisi lain, AS juga mendorong perlawanan Ukraina. Jadi, AS menginginkan Perang Rusia-Ukraina menjadi perang tanpa akhir. Nyata sekali, Rusia masuk ke dalam perangkap AS tanpa dia tahu jalan keluar untuk mengakhiri perang.

Operasi yang sama juga dilakukan untuk Cina. Saat ini terlihat jelas bahwa Cina sudah mulai masuk ke dalam jebakan AS. Cina menjadi negara produsen senjata terbesar kedua di dunia setelah AS. Cina juga mulai tergoda untuk mengklaim Kawasan Laut Cina Selatan, selanjutnya mengambil langkah-langkah untuk aneksasi Taiwan. Tentu saja sikap tersebut menimbulkan reaksi keras negara-negara kawasan yang ada di bawah pengaruh AS.

Jepang, misalnya, tahun 2023 berencana menggelontorkan anggaran militer sebesar 320 miliar dolar AS setara dengan Rp 4.997 triliun. Ini merupakan anggaran terbesar sejak Perang Dunia Kedua. Anggaran sebesar itu menjadikan Jepang sebagai negara dengan anggaran belanja militer terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Padahal Tokyo sejak Perang Dunia II merupakan negara pasif dalam urusan militer.

Taiwan yang bersitegang dengan Cina sudah lebih dulu memperkuat persenjataan dengan membeli persenjataan senilai lebih dari 1 miliar dolar atau Rp 14,6 triliun dari AS. Korsel mengalokasikan anggaran militer sebesar US$46 miliar atau sekitar Rp 723 triliun. India menganggarkan belanja pertahanan sebesar US$ 72,6 miliar (Rp 1.081 triliun) untuk tahun anggaran 2023/2024, naik sekitar 13% dari periode sebelumnya.

Australia, sejak perjanjian keamanan AUKUS dengan AS dan Inggris, juga mulai meningkatkan anggaran militer. Pemerintah Australia berencana menggelontorkan anggaran militernya sebesar US$ 270 miliar, meningkat dari US$ 186 miliar dalam waktu satu dekade mendatang. Tahun ini alokasi anggaran militer mencapai $ 48,7 miliar. AUKUS juga akan menjadi modal bagi AS untuk melibatkan Inggris di Timur Jauh jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Penguatan militer juga dilakukan dengan kontak-kontak militer dan latihan perang bersama, antara militer AS dengan militer negara kawasan, seperti Jepang, Korsel, Filipina, Indonesia, Australia, dll.

Kondisi ini diperparah dengan realitas sejarah yang menunjukkan bahwa kawasan ini memang terdiri dari negara-negara rawan berkonflik. Setidaknya dalam sejarah pernah terjadi konflik Rusia versus Jepang. Rusia menduduki kepulauan Kuril yang merupakan pulau-pulau Jepang yang diduduki oleh Rusia selama Perang Dunia II dan Jepang masih terus menuntut Kawasan tersebut. Antara Jepang dan Rusia tidak pernah ada perjanjian damai. Begitu juga antara Cina vs India; Cina vs Jepang; ditambah dengan Korut vs Korsel. Jika di kawasan Timur Tengah, AS mampu menimbulkan kekisruhan, padahal terdiri dari negara-negara yang memiliki akar sejarah yang kuat dengan persaudaraan, maka menyulut perang di kawasan ini tentu jauh lebih mudah.

Oleh karena itu, cepat atau lambat kawasan ini akan menjadi kawasan huru-hara global selain Timur Tengah. Kondisi perdamaian di kawasan ini sangat ditentukan bagaimana langkah politik luar negeri Cina. Jika Cina sedikit saja salah melangkah, bisa dipastikan akan mempercepat terjadinya kekisruhan. Jika kisruh tersebut terjadi, sekali lagi yang akan menjadi pemenang adalah AS. Sebaliknya, Cina akan dimakamkan di dasar Samudera Pasifik tanpa dibiarkan sedikitpun ekor sang Naga menyembul ke permukaan.

Andai semua ini nantinya berjalan sesuai skenario AS, yakni Rusia dan Cina berhasil disingkirkan atau minimial dilemahkan, apakah sudah cukup? Tentu tidak cukup. Keserakahan kapitalis akan menuntun AS meluncurkan program Marshall Plan Global jilid dua, yakni membangun kembali negara-negara pasca perang seperti yang dia lakukan pasca Perang Dunia Kedua. Ini akan menjadi keuntungan bisnis berikutnya untuk AS. Begitulah cara kapitalis mengatur dunia. Perang diciptakan. Jutaan manusia menjadi korban semata-mata untuk perputaran bisnis.

 

PBB Alat Politik Imperialisme AS

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukanlah institisi yang berguna untuk menjaga perdamaian dunia dan mencegah peperangan. PBB tidak lebih dari sekadar alat imperialisme AS untuk melancarkan berbagai agenda politik di seluruh dunia. Bahkan AS sering menjalankan agendanya sendiri tanpa persetujuan PBB.

Tidak ada satu negara pemegang hak veto di PBB yang punya nyali untuk mencegah agenda AS. Jika tidak berjalan bersama AS maka minimal tidak menunjukkan sikap menentang. Itu yang terjadi dengan serangan AS ke Irak dan Afganistan. Dunia berteriak: AS telah melanggar hukum internasional. Namun, tidak ada satu kekuatan pun yang sanggup mencegah apalagi menghukum AS.

AS hanya akan menggunakan PBB jika butuh, misalnya terkait dengan konflik Semenanjung Korea. PBB sangat keras memojokkan Korut. Termasuk isu pelanggaran HAM di Suriah dan Isu terorisme diberbagai negeri Muslim. Apakah PBB berteriak terkait pelanggaran HAM di Guantanamo? Atau pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat di negeri-negeri Muslim seperti penghilangan enam nyawa Laskar FPI di KM 50? PBB tidak akan bersikap apapun selama tidak ada arahan dari AS!

PBB tampak semakin tak berfungsi ketika menghadapi negeri zionis Israel yang sudah menjajah negeri Muslim Palestina. Israel sering menistakan resolusi PBB dengan melanggar teretorial negara lain. Selain Palestina, Libanon sering menjadi objek pelanggaran teretorialnya. Namun,  seperti biasa tidak ada suara dari PBB. Jika ada pun, itu hanya sebuah retorika kosong.

Dimana pula PBB ketika terjadi pembantaian di negeri Muslim Irak?! Dimana PBB ketika terjadi pembantaian atas kaum Muslim di Rohingnya?! PBB juga tidak bersikap apapun ketika terjadi pembantaian terhadap Muslim Uigyur oleh rezim Komunis Cina!

 

Kegagalan Ideologi Barat

Memang, AS sejauh ini terlihat masih tangguh dalam pengaturan politik Global. Namun, AS tidak akan sanggup berdiri lebih lama lantaran ideologi kapitalis demokrasi yang terlihat semakin keropos. Banyak pakar yang mengkritik betapa ideologi Barat kapitalis demokrasi merupakan ideologi gagal, bahkan cacat sejak lahir.

Sistem ekonomi Kapitalisme melahirkan ekploitasi dan alienasi manusia. Bahkan terbukti ia tidak berpijak pada fondasi yang benar. Komitmennya pada moral dan

kemanusiaan sangat lemah. Kapitalisme tidak mengenal persaudaraan, saling tolong-menolong, cinta, kemurahan dan amanah. Semuanya berganti menjadi mementingkan diri sendiri,

tak berperasaan, kebencian, kebohongan dan saling tidak percaya. Itulah mengapa AS sebagai jantung kapitalis dunia menjadi tempat yang paling tidak menghormati kehormatan dan nyawa manusia. Negeri yang paling digdaya terhadap negara lain ini tidak berdaya menghadapi angka kriminalitas, pembunuhan, pemerkosaan, perampokan yang sangat tinggi di dalam negerinya.

Saat ini Barat dengan ideologi Kapitalismenya sedang benar-benar berada di tepi jurang keruntuhan. Ideologi ini hanya berjuang sekadar untuk memperpanjang nafasnya saja. Berbagai gejolak politik akibat ketimpangan ekonomi maupun ras yang terjadi di dalam negerinya telah semakin mengikis kepercayaan terhadap ideologi ini.

Tidak sedikit ilmuwan Barat sendiri yang memprediksi keruntuhan peradaban Barat. Antara lain Oswald Spengler. Ia menganggap peradaban Barat sudah tua dan akan segera mati. Bahkan Patrick Buchanan, yang merupakan penasihat tiga orang presiden AS (Richard Nixon, Gerald Ford dan Ronald Reagan), juga memprediksi kejatuhan AS dan Barat karena faktor kerusakan moral dan minimnya pertumbuhan demografi. Mengenai kapan waktu Amerika akan runtuh. Pada tahun 2017 Profesor Peter Turchin secara spesifik memprediksi dalam satu dekade ke depan akan terjadi masa-masa suram untuk AS. Turchin merupakan seorang profesor dari departemen ekologi dan biologi evolusioner di University of Connecticut.

 

Dunia ke Depan: AS vs Cina atau Kapitalisme vs Islam?

Persaingan yang menguat di kawasan Timur Jauh terutama melibatkan AS vs Cina merupakan konflik kepentingan, biadab dan kolonialis dan bukan perjuangan ideologis. Mereka tidak menghitung nyawa manusia yang akan menjadi korban akibat konflik semata untuk berebut cuan dan dolar. Dunia seperti tidak memiliki jalan keselamatan atas derita yang ditimbulkan. Sebaliknya, ada lebih banyak tragedi dan eksploitasi.

AS berusaha mendapatkan simpati dari negeri Muslim dengan menetapkan tanggal 15 Maret 2022 sebagai Hari Anti Islamophobia. Hari Anti Islamophobia tidak lain untuk melancarkan agenda AS menghadapi Cina.

AS memanfaatkan isu ini untuk secara pragmatis mendapatkan hati kaum Muslim sehingga lebih mudah menjadikan Cina sebagai musuh bersama. Cara yang mirip pernah dilakukan AS dengan menjalin koalisi dengan para mujahid Afganistan untuk melawan Uni Sovyet. Setelah Uni Sovyet berhasil dikalahkan, kaum Muslim kembali menjadi pesakitan AS. Karena itu dalam hal mendapatkan dukungan dunia, Cina belum sekelas dengan AS. Kebijakan global Cina seperti BRI justru mendatangkan resistensi dari negara-negara mitra.

Kaum Muslim tidak akan lupa bahwa perang melawan Islam dengan label teroris atau radikal merupakan perang yang dikomandani AS dengan biaya tinggi. Tentu saja Hari Anti Islamphobia bermanfaat bagi kaum Muslim untuk menepis opini negatif terhadap Islam. Namun, bukan berarti bahwa kaum Muslim akan memberikan hatinya kepada AS.

Kaum Muslim tetap menjadikan AS sebagai musuh nomor satu, sebagaimana AS menempatkan Islam sebagai musuh nomor satu pasca keruntuhan Uni Sovyet. AS punya kesadaran penuh bahwa kekuatan yang mampu menggusur kedigdayaan AS hanya kekuatan Islam ideologis. Karena itu hal yang paling tidak diinginkan oleh AS adalah transformasi Islam menjadi ideologi negara karena jelas itu akan menjadi malaikat maut yang akan segera meruntuhkan kepongahan AS.

WalLaahu a’lam. [Dr. Erwin Permana (Koordinator Pakta)]

Dibaca

 130 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi