Oleh. H. M Ali Moeslim
Dalam ilmu jiwa, delusi tidak saja menimpa orang yang sakit, akan tetapi menimpa juga orang sehat. Delusi adalah kondisi tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak. Orang yang mengalami delusi sering kali akan menganggap apa yang dialami, dilihat, atau didengarnya benar-benar terjadi dan meyakinkan orang lain bahwa hal tersebut adalah fakta.
Sihir demokrasi itu masih sering kita dengar, terutama dalam momentum “tahun politik.” Kepada para aktivis organisasi dikatakan, “Kalau ingin mengubah sebuah bangsa, terjunlah dalam politik praktis, rebutlah kursi parlemen, gubernur atau walikota/bupati hingga presiden!”
Muncullah khurafat kepada masyarakat awam, dikatakan kalau ingin bangsa ini berubah, harus berpartisipasi dalam Pilpres/pemilu.
Demokrasi lahir dari sejarah kelam Barat yang sekuler. Sebagian muslim meyakini demokrasi sejalan dengan Islam. Walau terbukti hanya menyejahterakan sedikit saja dari elite, sayangnya demokrasi masih dipercaya mampu menyejahterakan rakyat banyak. Walaupun tak pernah terbukti menjadi jalan perubahan yang hakiki, tidak pernah terbukti menjadi jalan penerapan syariat Islam kaffah. Bahaya demokrasi telah menjadi ancaman serius kepada rakyat yang mayoritas muslim di negeri ini, di antaranya;
Pertama, demokrasi mengancam aqidah umat. Pasalnya, sistem politik ini bukan berasal dari Islam, melainkan dari peradaban Barat sekuler yang jelas bertentangan dengan akidah Islam. Salah satu prinsip penting demokrasi adalah “kedaulatan di tangan rakyat.” Inti dari prinsip ini adalah memberi rakyat (baca: manusia) hak untuk membuat hukum dan perundangan.
Prinsip ini jelas bertentangan dengan Islam. Menurut Islam, kedaulatan ada di tangan syariah. Yang memiliki kewenangan membuat hukum (Al-Hakim) di dalam Islam adalah Allah SWT, bukan manusia. Manusia adalah pengadopsi dan pelaksana hukum Islam.
Kedua, demokrasi menciptakan distorsi ideologi dan mengancam konsistensi. Sikap yang hampir pasti akan menghinggapi para aktivis demokrasi adalah pragmatisme. Pragmatisme ini tidak bisa dihindari karena di dalam sistem demokrasi pasti terjadi kompromi, baik dengan partai politik sekular atau bahkan dengan rezim zalim. Karena itu idealisme para aktivis di dalam sistem demokrasi hanya akan menjadi cita-cita karena akan berbenturan dengan berbagai ide yang sering bertentangan dengan Islam.
Ketiga, demokrasi hanya menawarkan sirkulasi elit di lingkaran kekuasaan, bukan perubahan sistem. Setiap sistem pasti memiliki mekanisme untuk mempertahankan dan mengokohkan sistemnya. Tak terkecuali sistem demokrasi. Mekanisme pertahanan dan pengokohan sistem demokrasi dibingkai dengan aturan main yang wajib disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat, dalam hal ini oleh elit dan partai politik.
Belum lagi dengan problem mahar politik dalam demokrasi yang tidak bisa dihindari, bahkan dianggap sesuatu yang lumrah. Mahar politik tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi yang membutuhkan biaya mahal.
Anggota Divisi Korupsi Politik ICW Almas Sjrafina mengatakan, setidaknya ada lima tahapan Pemilu yang dianggap membutuhkan modal besar.
Pertama, masa kampanye untuk menarik perhatian public. Partai atau bakal calon yang akan berlaga dalam Pemilu membuat baliho hingga melakukan survei.
Kedua, calon tersebut juga harus menarik perhatian partai politik dengan menyerahkan “mahar”. Partai politik mematok harga masing-masing.
Ketiga, meski politik uang dilarang, masing-masing calon boleh membagi-bagikan barang ke masyarakat dengan nilai tidak lebih dari Rp25.000,00. Ini yang membuat kandidat berlomba-lomba mengumpulkan dana kampanye yang tinggi.
Keempat, tahapan yang juga menguras kantong adalah pendanaan saksi saat pemungutan suara. Di Jawa Barat, kata Almas, ada calon yang butuh dana Rp20 miliar hanya untuk dana saksi.
Modal politik yang mahal ini tentu membuka celah untuk praktik KKN berkembang. Pemenang Pilkada tentu berpikir keras bagaimana mengembalikan modal politik tersebut, apalagi kalau berupa pinjaman dari pihak lain. Padahal gaji maupun tunjungan resmi diperkirakan tidak cukup.
Dalam sistem politik mahal seperti ini, hampir bisa dipastikan, yang berkuasa adalah para pemilik modal. Mereka bisa mencalonkan langsung atau menjadi penyokong dana konstestan pemilu. Tentu bukan tanpa kepentingan. Bagi para pemilik modal, no free lunch, tidak ada makan siang gratis. Merekalah yang kemudian mengontrol para politisi, bukan hanya menjadi mitra dalam berbagai proyek, termasuk dalam membuat rancangan UU yang menguntungkan pemilik modal.
Dalam sistem politik Islam, biaya politik yang mahal bisa dipangkas. Khalifah (kepala negara), misalnya, dipilih dalam waktu yang singkat (paling lama 3 hari 3 malam); jadi tidak dalam waktu yang lama seperti dalam sistem demokrasi. Pemilihan khalifah pun tidak bersifat regular seperti lima tahun sekali, yang menyedot biaya sangat mahal. Khalifah tetap sebagai kepala negara selama tidak melanggar syariah Islam. Kepala daerah pun atau wali dipilih oleh khalifah kapan saja dan boleh diberhentikan kapan saja. Jadi negara tidak disibukkan oleh Pilkada rutin yang menguras energi dan tentu saja uang.
Sudah semestinya umat Islam tidak menggantungkan asa perubahan pada sistem demokrasi atau berharap perubahan hanya pada penggantian orang tanpa penggantian sistem, mari kita pelajari perubahan ala Rasulullah Saw:
Pertama, Rasulullah Saw. melakukan dakwah secara berjamaah atau berkelompok, saat itu disebut “qutlah atau hizb Muhammad.” Ketika Rasulullah Saw. melihat kondisi masyarakat jahiliah yang rusak, aktivitas utama yang beliau lakukan tiada lain dakwah. Dakwah politik dan pemikiran, membangun kesadaran untuk hidup terikat dengan syariat Islam.
Kedua, dakwah Rasulullah Saw. tidak mengenal kompromi. Rasulullah Saw. berdakwah dengan ajakan yang lugas, tidak bermanis muka dan tanpa tedeng aling-aling di hadapan pimpinan Quraisy. Hal tersebut dilakukan agar tidak bercampur yang haq dengan yang batil.
Ketiga, orientasi perubahan yang dilakukan Rasulullah Saw. adalah perubahan rezim dan sistem. Jika kita menelaah orientasi dakwah Rasulullah Saw. akan terlihat dengan jelas, bahwa beliau melakukan dakwah bukan sekadar mengajak orang kafir memeluk agama Islam, melainkan untuk mewujudkan masyarakat Islam, yakni dengan mengganti sistem jahiliah dengan sistem Islam.
Wallahu a’lam bishawab.