Babak Baru Invasi Rusia-Ukraina; di Manakah Posisi Umat Muslim?

Oleh. Rufaida Aslamiy

Pasca satu bulan invasi Rusia ke Ukraina, maka banyak kerugian yang didapatkan oleh kedua belah pihak. Kerugian ini dirasakan baik moril maupun materil. Kedua belah pihak telah banyak kehilangan pasukan militer yang gugur mencapai puluhan ribu, korban sipil, rusak dan habisnya ratusan senjata alutsista, rusaknya infrastruktur khususnya untuk Ukraina sendiri, dan juga pemboikotan untuk ekonomi Rusia. Disamping itu pula, Ukraina telah kehilangan PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) terbesarnya setelah diduduki Rusia. Sementara lebih dari 3,5 juta orang Ukraina meninggalkan negaranya setelah invasi Rusia, kata PBB, dan lebih dari 10 juta telah mengungsi dari rumahnya (liputan6.com, 25/03/2022).

Invasi yang dilakukan Rusia ini tak pelak membuat banyak negara ikut bereaksi, dari yang pro hingga yang kontra, ada yang bersikap netral, ada yang hanya sekadar memberikan kecaman, ataupun ada yang langsung mendukung, baik dengan mengirimkan senjata dan ada juga yang membantu mengirim pasukan bala tentaranya seperti yang dilakukan Checnya. Sementara, negara-negara Eropa dan AS adalah yang paling aktif melakukan penentangan. Mereka menghentikan kerjasama ekonomi ataupun kerjasama bentuk lainnya dengan Rusia.

Hal yang wajar memang, karena AS jelas tidak mau kalau Rusia menjadi ancaman kedepannya, baik secara regional, ataupun secara konstelasi politik internasional. Tapi melihat sepak terjang Eropa, mereka pun masih menahan diri untuk ikut terlibat perang lebih jauh. Karena setidaknya secara historis mereka banyak dirugikan saat dahulu terlibat perang dunia ke satu, dan ini setidaknya jadi pengalaman yang berharga untuk tidak diulanginya di masa kini. Sehingga saat ini AS hampir tidak ada pesaing menjadi negara adidaya. Tapi, justru saat ini yang jadi bayang-bayang AS adalah negeri tirai bambu (Tiongkok/China). Kenapa? Karena menurut pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana, dia mengatakan kalau lebih jauh invasi Rusia ke Ukraina ini terus berkembang, maka yang ikut dirugikan adalah termasuk Eropa. Sementara yang paling diuntungkan adalah China (Tayang dalam kanal you tube, 20/03/2022).

Babak Baru Invasi Rusia ke Ukraina

Secara khusus kedekatan Rusia dan China memang tidak bisa ditampik. Namun secara bahasa diplomatis, China nampaknya memilih untuk menjalankan politik dua sisi. Secara Bahasa argumentative, seringkali China menyatakan ketidaksetujuannya terhadap invasi Rusia kepada Ukraina. Namun di belakang layar, China adalah satu-satunya yang memungkinkan memberikan bantuan pada Rusia. Relasi kuat Rusia-China ini mendapat perhatian besar AS, karena AS jelas tidak mau kedudukannya sebagai negara adidaya diambil alih oleh keduanya. Maka, AS mengancam China akan memberikan sanksi perdagangan berupa menghentikan kerjasama di bidang teknologidengan China jika bersikeras membantu Rusia (Pikiran-rakyat.com, 14/03/2022).

Adapun kondisi Ukraina, PLTN (pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) Zaporizhzhia miliknya telah berhasil direbut oleh pasukan Rusia dan sempat terbakar pada Jumat (4/3/2022). Begitupun dengan PLTN Chernobyl, sama-sama sudah dikuasai oleh Rusia. Adanya penggunaan rudal jelajah dan hipersonik telah menjadi tanda bahwa invasi Rusia di Ukraina sudah memasuki babak baru, dan dianggap fase paling berbahaya (sindonews.com, 21/03/2022).

Militer Ukraina pun mendapatkan bantuan logistik perang dari Inggris dan Jerman sebagai sekutunya. Inggris memasok 6.000 rudal pertahanan baru dan mengucurkan 29,1 juta pound (Rp 551,31 miliar), menyediakan 4,1 juta pound untuk BBC World Service. Sementara itu, Jerman akan mengirim 2.000 senjata anti-tank tambahan. Dimana sebelumnya Ukraina telah menerima 1.000 senjata anti-tank dan 500 peluncur rudal permukaan-ke-udara tipe Stinger dari Bundeswehr, tentara Jerman. Jerman pun telah memasok sekitar 500 rudal darat-ke-udara Strela. Negara-negara yang tercatat memberikan bantuan kepada Ukraina diantaranya; Belanda, Kroasia, Canada, Finlandia, Belgia, Portugal, Yunani, Romania, dll (Tempo.com, 03/03/2022).

Adapun sikap AS dan sekutunya Eropa ini dinilai beberapa pihak sebagai standar ganda yang mengindikasikan sikap yang berbeda, antara sikap kepada Rusia dengan sikap mereka kepada Israel. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas kepada Menteri luar negeri Amerika Serikat Antony Blinken, bahwa dirinya dibuat kesal dengan “standar ganda” barat terkait invasi Rusia ke Ukrania. Barat menghukum Rusia namun mengabaikan “kejahatan” Israel ke Palestina. Abbas mengatakan, dalam situasi Palestina, dirinya tidak menemukan adanya pihak yang menganggap Israel bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi. Abbas ungkapkan kepada Menlu (Menteri luar negeri) Amerika Serikat Antony Blinken. (AFP, 28/03/2022)

Lantas, Bagaimana Langkah Umat Muslim?

Sejauh ini, suara negeri-negeri muslim yang menghendaki adanya gencatan senjata Rusia dan Ukraina tidak didengar oleh kedua pihak yang berseteru. Karena dilihat dari sisi kekuatan, umat muslim diposisikan sebagai negara berkembang saja bukan negara adidaya. Hal yang disayangkan adalah adanya sebagian negeri muslim yang justru ikut melibatkan diri dalam kecamuk perang invasi Rusia-Ukraina. Bukankah ini adalah kesia-siaan?

Adapun Indonesia, dalam hal ini sebagai ketua KTT G20 yang akan dilaksanakan di Bali November mendatang, menyatakan sikap netralnya perihal adanya desakan untuk mengeluarkan Rusia dari anggota KTT G20. Indonesia sebagai negara dengan politik luar negerinya bebas aktif. “Bebas” disini artinya tidak memihak blok mana pun, sedangkan “aktif” berarti ikut aktif dalam menjaga perdamaian dunia. Selain G20, saat ini Indonesia juga tergabung dalam perkumpulan beberapa negara, seperti OKI, APEC, ASEAN, termasuk juga juga PBB. Akankah Indonesia mampu menjadi juru damai Rusia-Ukraina? Ataukah tetap saja sikapnya hanya dipandang sebelah mata?

Butuh Kekuatan Mabda

AS saat ini adalah negara adidaya yang menguasai dunia. Keputusannya akan memberikan pengaruh besar bagi konstelasi politik internasional. AS menjadikan mabda kapitalisme sebagai landasan negaranya dan sekularisme sebagai akidahnya. Dengan kekuatannya, AS hampir tidak ada yang menandingi untuk beberapa dekade ini, terlebih hak feto yang dimilikinya di dewan keamanan PBB.

Dengan kekuatan mabda kapitalismenya (fikrah dan thariqah/metode penerapan yang jelas), membuat AS selangkah lebih maju dibanding negara lainnya. Adapun relasi Rusia-China yang secara historis mereka pernah menerapkan mabda sosialis dibawah Uni Soviet, nampaknya jadi bayang-bayang AS saat ini. Tapi saat ini, Rusia kalau dipandang sebagai satu negara, jelas kalah pamor dan hanya dianggap sebagai negara yang keberadaannya tidak lebih dari negara dengan kekuatan regional saja. Tapi kedepan China adalah batu sandungan AS, jika perang Rusia-Ukraina ini ters berlanjut.

Maka dari itu, untuk menyelesaikan pertikaian antara Ukraina dan Rusia, butuh kekuatan negara adidaya dengan kekuatan mabdanya. Berharap pada AS jelas sebuah kekeliruan, karena selama ini negeri ini pula yang menjadi sumber kekacauan di dunia. Bahkan kehadirannya di negeri-negeri muslim menjadi sumber petaka dan juga teror, seperti yang terjadi di Iraq, Afghanistan, ataupun di Palestina. AS hanya membuktikan jikalau kapitalisme selalu menebar ketakutan bagi umat manusia. Sebetulnya AS dapat saja menyelesaikan pertikaian Ukraina dan Rusia sejak awal, tetapi hal itu tidak dilakukan lantaran AS pun memiliki kepentingan atas pertikaian itu.

Bagi AS, sangat penting untuk menjaga posisinya dihadapan Eropa. Salah satu upayanya guna memelihara kedudukannya adalah dengan keberadaan NATO. Nampaknya konflik Ukraina dan Rusia berkepanjangan akan menjadi alasan AS dengan NATO-nya untuk tetap berada di Eropa. Inilah alasan yang menguntungkan AS guna mencegah rival abadinya Rusia (mantan Uni Soviet dulu) untuk kembali menjadi negara adidaya dengan mabda sosialismenya.

Umat Islam Harus Punya Agenda Besar

Satu-satunya harapan dunia saat ini adalah terhadap Islam. Islam bukan hanya sekedar agama, tetapi sekaligus mabda (ideologi), yang saat ini keberadaannya belum diemban oleh satu negara mana pun di dunia. Islam memiliki fikrah dan metode penerapan yang khas sebagaimana mabda kapitalis ataupun sosialis. Fikrahnya lahir dari akidah Islam, sedangkan thariqah (metode penerapannya) adalah penerapan hukum Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam naungan negara Islam (Khilafah).

Maka dengan kekuatan mabdalah sejatinya umat muslim di dunia ini bisa berperan sebagai negara adidaya sehingga mampu mendamaikan pihak-pihak yang berseteru dalam peperangan seperti yang terjadi terhadap Rusia dan Ukraina ini. Umat muslim harus memiliki agenda besar dalam konstelasi politik internasional dengan menerapkan dan mengemban mabda Islamnya, sebagaimana dahulu peradaban Islam pernah menjadi mercusuarnya dunia.

Umat muslim harus memiliki keyakinan mengambil Islam sebagai satu-satunya mabda sekaligus diterapkan secara praktis di tengah-tengah kehidupan. Dalam Al-qur’an, Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk menjalankan Islam secara menyeluruh: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Dalam ayat lain Allah Swt. mengingatkan kita: “Berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (pada masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan nikmat-Nyalah kamu menjadi orang-orang yang bersaudara. Padahal, kamu telah berada di tepi jurang neraka (akibat perpecahan itu), lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikinalah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-Imran :103)

Ayat ini menjelaskan secara gamblang bagaimana dahulu umat muslim sebelum mereka memeluk Islam hidup pada zaman jahiliyah, penuh perpecahan, peperangan, dan saling membanggakan kejahiliyahannya. Namun, setelah mereka memeluk Islam dan menjadikan Islam sebagai mabda, kondisinya berubah seratus delapan puluh derajat. Mereka bersatu padu satu sama lain, semuanya dipersaudarakan atas landasan akidah. Mereka tidak lagi melihat ras, suku, bangsa, kelas, jenis kelamin, dan usia. Satu-satunya yang mereka lihat hanyah keimanan dan ketaqwaan saja. Kebanggaan jahiliyah mampu mereka rontokkan, dan persatuan lebih mereka kedepankan. Mereka bersatu atas landasan akidah semata. Mereka senantiasa memiliki negara yang senantiasa menjaga persatuan yakni negara Khilafah, satu negara untuk umat di seluruh dunia. Inilah yang semestinya jadi agenda besar umat muslim saat ini, yakni bersatu dalam naungan Khilafah ‘ala-minhajin nubuwah. Inilah satu-satunya jalan yang bisa membawa pada perdamaian di seluruh dunia dan menjadikannya sejajar dengan negara-negara adidaya lainnya.

Wallahu a’lam

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi